google.com
Bagian I
Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang sultan yang bodoh di Kerajaan Makonda. Di masa menjadi pangeran mahkota, saat sang ayah masih hidup dan menjadi sultan penuh strategi memakmurkan negeri, sang pangeran dikabarkan lebih senang bergurau dengan langit.
Rakyat tentu saja mengerti maksud bergurau dengan langit. Sebab masa itu bergurau dengan langit, istilah lain untuk menyebut seseorang yang dekat dengan Allah Subhana Wata'ala. Namun sebaliknya, sang ayah saat masih hidupnya, sangat khawatir dengan kondisi emosional putra mahkota.
Saat itu, terkadang pikirannya yang cerdas, yang selalu memikirkan rakyat, mulai terpikir untuk menyingkirkan putra mahkota. Ia bisa meminta putra mahkota berkelana ke negeri-negeri jauh untuk meluaskan pemahamannya tentang dunia. Akan tetapi, pikiran itu ditolak mentah-mentah oleh permaisuri.
"Kakanda, adinda tahu apa yang sedang Kakanda rencanakan. Putra mahkota memang tidak secerdas putra kedua, ketiga, dan keempat. Tapi saya yakin di antara semuanya, dialah yang barangkali secabang bunga pun tidak ingin ia rusak," kata permaisuri.
Sultan tua melihat ke dalam bola mata perempuan itu yang bagai permukaan danau berair jernih. Kemudian ke hidungnya yang bangir. Lalu sejenak tersemat ke bentuk bibir yang terbaik yang pernah ia saksikan.
Permaisurinya juga cerdas seperti dirinya, batinnya. Tapi kenapa Tuhan uji dirinya dengan memiliki putra mahkota sebodoh itu. Teringat olehnya saat putra mahkota masih berusia kanak-kanak. Sampai berumur empat tahun, anak kesayangan permaisuri itu belum juga pandai menlafalkan alif ba ta tsa. Kesempurnaan mengucapkan bunyi-bunyi huruf hijayyah demikian sulit ia pahami.
"Kha...," ucapnya saat itu untuk ke sekian kali. Lalu sambungnya, "Baru benar maghrijal hurufnya ketika bunyi 'kha' itu seakan-akan langit-langit mulut tergesek angin yang keluar dari kerongkongan," terang Sultan Tua.
Sang permaisuri tersenyum menyalahkan. Sambil dibelainya rambut putra mahkota kecil, perempuan itu berkata, "Kakanda membuat adinda tertawa. Kenapa? Karena cara menyampaikan sesuatu ke anak seusia ini dengan menyampaikan sesuatu ke orang seusia perdana menteri tentu beda.
Sejenak sultan tua membelalak. Lantas tertawalah ia sampai harus memegangi perutnya. Saking konyol hal tadi menurutnya, di ceruk bola mata, terbit juga air mata.
Selanjutnya sultan tua terpana dengan cara permaisuri mengajarkan putra mahkota mengenal huruf-huruf hijayyah. Dan sejak malam itu ia belajar satu hal yang baru bahwa tidak semua orang dapat menerima dengan tepat apa yang disampaikan orang lain. Karena setiap orang punya cara yang khas untuk dapat memahami sesuatu ihwal dari seorang pengabar.
Tatkala putra mahkota cukup umur dan hendak dinikahkan dengan salah seorang putri dari adik sultan tua sendiri, putra mahkota jatuh sakit. Permaisuri tahu putra mahkota menyimpan rindu untuk putri menteri pelabuhan. Oleh karena itu, walau bagaimana pun mereka berdua ibarat garam dan gula. Keduanya mungkin saja bisa bersama, tapi kehidupan mereka akan hancur karena tabiat kedua benda tersebut tak sama.
Pikiran permaisuri demikian. Tapi pikiran sultan tua malah beranggapan betapa lemah jiwa yang ada dalam diri putranya itu. Ia kecewa. Karena baginya, seorang pemimpin yang bijaksana, senantiasa tidak menganggap penting tentang cinta.
Beruntung ia dapat membujuk menteri pelabuhan. Sehingga setelah dua tahun berlalu maka putra mahkota dapat meminang anaknya untuk menjadi istri kedua.
Bersambung . . .
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://kabarpidiejaya.com/2017/11/sultan-bodoh/
Ditunggu bagian selanjutnya @gabrielmiswar
Bagian I itu sudah pernah tayang memang. Tapi kemudian sudah diretas yang punya media online itu. Anehnya, ketika saya tayangkan di Steemit, ternyata juga bisa dilacak robot cheetah (si malaikat pengingat di Steemit bahwa Anda bersalah telah menayangkan apa yang sudah ditayangkan), padahal postingan tersebut tidak ada lagi di link tersebut.
Biarkan si Putra Mahkota itu terus bergurau, Bang
Iya he he