Ungkapan Filosofis dalam Bahasa Aceh

in #indonesia7 years ago (edited)

image
google.com

Hadih Maja yang dikumpulkan Budayawan Aceh Hasyim KS, mantan Redaktur Budaya Harian Serambi Indonesia cum sastrawan Aceh asal Aceh Selatan, dalam buku Apit Awe sebenarnya dapat dikatakan sebagai ungkapan-ungkapan multi makna. Dalam satu klausa, kalimat, atau beberapa kalimat, suatu konteks dapat dipahami dengan baik.

Di kampung saya, Sulaiman Adam atau biasa disapa Man B (tentang nama panggilan ini izinkan saya menulis di postingan lainnya), termasuk seorang tetua di kampung yang kerap menyelipkan ungkapan filosofis dalam pembicaraan. Sekali waktu, karena tak disibukkan dengan kegiatan lain, beliau bersedia menjelaskan makna ungkapan kayem tajak geujok situek, jareueng taduek geupeutaba tika.

image
google.com

Jika di-Indonesia-kan ungkapan tersebut kurang lebih berarti sering bertamu dikasih pelepah pinang (maksudnya untuk duduk), jarang singgah ditawarkan tikar. Kata kayem dalam bahasa Aceh berarti sering, tapi kata tajak dalam ungkapan di atas berarti singgah atau bertamu. Namun, jika diartikan secara morfologis, melihat bentuk kata tajak, secara kamus kata tersebut bukan berarti singgah atau bertamu tapi pergi, karena kata jak berarti pergi. Penambahan suku kata ta pada kata tajak hanya untuk memperhalus.

(Entahlah, bahasa Aceh terkadang mengikuti pola bahasa Inggris. Beberapa kata tertentu jika ditempatkan pada suatu konteks, akan berubah maknanya).

Kembali ke ungkapan di atas, menurut Sulaiman Adam dalam pembicaraan yang agak lama tersebut, kata kunci ungkapan tersebut terdapat pada dua kata. Kata pertama situek (pelepah pinang), sementara kata kedua tika (tikar). Nah, coba dibayangkan jaman dahulu ketika ungkapan itu lahir. Harapan saya, Anda tak perlu membayangkan persisnya tahun berapa. Atau bayangan apakah di jaman awal kemerdekaan, jaman Jepang, jaman Belanda, atau kerajaan Aceh? Tidak. Cukup dibayangkan saja suatu masa saat di sebuah rumah di Aceh, si pemilik rumah hanya menyediakan tempat duduk dari tikar ketika hari khusus saja. Di mana saat itu, hanya orang-orang kaya ataupun para bangsawan yang menyimpan tikar di sudut rumahnya.

image
google.com

Pada masa itulah kemungkinan ungkapan di atas lahir. Pada frasa pertama kayem tajak geujok situek menunjukkan tingkat kemuliaan yang diperlihatkan si pemilik rumah. Jika sering berkunjung atau kunjungan biasa atau tetangga berkunjung ke tetangga lain saat itu, si pemilik rumah menyodorinya situek (pelapah pinah) sebagai alas untuk duduk. Namun, jika berkunjung di hari khusus, Hari Raya misalnya, tuan rumah sudah menyiapkan alas duduk para tamu dengan tikar. Dari sinilah orang Aceh menilai pola tingkatan pemberian kemuliaan untuk menghargai orang lain.

Sulaiman Adam mencontohkan konteks lain kepada saya hari itu untuk lebih menguatkan pemahaman saya. Ada rumah saudara atau famili di Tangse. Saya dari Meureudu seringkali ke tempat famili tersebut setiap musim durian. Sementara itu, saya juga tahu bahwa si famili hanya memiliki beberapa pohon durian. Dalam konteks hadih maja* atau ungkapan yang sedang kita bicarakan ini, si famili tentu saja akan lain memperlakukan saya jika tak setiap musim durian saya berkunjung. Jika jarang bertamu, mungkin durian yang rencananya mau dijual pun kemungkinan akan dihadiahkan untuk saya, saudaranya. Tapi karena kerap singgah, maka yang dihadiahkan hanya durian kecil atau durian yang kualitasnya tidak terlalu baik atau bahkan ia langsung berkata, "Rencana mau saya jual semua."

image
google.com

Begitulah. Sulaiman Adam terus menyampaikan segala sesuatunya dengan ungkapan filosofis di kampung saya. Saya tidak janji akan menuliskan semuanya. Tapi saya punya rencana, biarpun sudah diulas Hasyim KS, seorang keturunan India, beberapa hadih maja seperti gadoh peutupat iku mie (selalu ingin meluruskan ekor kucing yang takkan pernah lurus), lagee miriek hawa peunajoh nggang (seperti burung manyar menginginkan makanan bangau), dan lainnya. Tapi saya tidak janji, ya.

Rungkom, 26 Januari 2018

Note: Sayangnya foto sang maestro kampung saya Sulaiman Adam yang sudah saya dokumentasi hilang dalam proses postingan tulisan ini

Sort:  

sebaiknya jangan terlalu sering bertamu, begitukah bang Miswar? hehehe

Nyoe jak lakee ileumeu jeut. Han ret martabat geutanyoe. Selaen ileume sang meunan. Bek kayem that jak melakee he he

tatanan sosial masyarakat yang luar biasa

Saleum meuturi ngen awak Kedai Patarana he he

Bereh @gabrielmiswar, kalheuh ku vote dan ku restem beh...hehe

sengkiu beh.

Jangan terlalu sering dan terlalu lama bertamu. Ini yang diajarkan sama saya. Hehe

Itu salah satunya.

Tikar sulam benang di gayo juga menarik untuk dikupas, mr @gabrielmiswar

Iya. Biarlah Mbak aja yang ulas. Pasti lebih menarik :-)

Tajak sige2 manteng bang, si thon sigee. Mangat spesial sabee. Hehehhe

Nyan kop spesial. Balang-balang geuyu peu-abeh ha ha

Kah pakon groon that lee. Can kulaboh sang. Mantong teubayang bg Man B dan becaknya dari meureudu menuju pasi rawa sigli hanya untuk mengantar ikan laut kepda kami sekeluarga.

Man B is the legend. Taloe tanyoe Bob. Inong mantong dua he he