Malam ini, Rabu 4 April 2018, di sebuah kamar di antara seratusan kamar lain di gedung asrama Desa Rukoh, Kopelma Darussalam, Banda Aceh, suasana nyaris senyap. Dari kejauhan, melalui celah jendela, sayup-sayup terdengar lantunan syair Aceh. Dari suaranya, aku bisa menebak pria yang melantunkan lantunan beragam hikayat dalam bahasa Aceh, itu sudah tua.
Sejak tinggal di Banda Aceh, aku tidak pernah lagi mendengar bacaan hikayat. Dulu, saat masih di kampung di Keumala, Pidie, aku sering mendengar bacaan hikayat Aceh di sebuah warung kopi tua dari seorang pria yang lumayan tua. Rambutnya sudah memutih, wajah mulai keriput, dan giginya tidak banyak tersisa.
Saat memesan kopi di warung, pria itu tidak mengatakan seperti biasanya. Namun, dia berusaha melantunkan hikayat panjang dan berirama. Terdengar syahdu. Seisi warung akan senyap jika hikayat sudah mulai dibacakan. Pria renta itu tidak pernah melihat contekan hikayatnya di kertas. Semua berasal dari dalam kepala. Meski sudah menua, ingatannya masih tajam.
Jika pengunjung warung ramai, dia akan memegang selembar koran. Dengan kedua tangannya yang tidak berisi dan hanya kelihatan tulang, dia memegang koran secara terbalik. Matanya yang sesekali berkedip, melihat tajam ke arah koran. Dari mulutnya, hikayat keluar demikian cepat. Seolah membacanya dari koran.
Dalam hikayatnya, dia pernah bercerita tentang dirinya semasa Jepang dan Belanda di Aceh. Dia bercerita banyak, tentang agama, budaya, dan kerajaan Aceh pada zaman dulu. Syairnya panjang, berirama, dan lebih cepat dari sekadar ngobrol menggunakan bahasa Aceh.
Belakangan, aku tahu dia berasal dari Keumala Dalam, Pidie. Sebuah wilayah bekas ibukota Kesultanan Aceh Darussalam terakhir, sebelum ditaklukkan oleh Belanda. Berjarak sekitar lima kilometer dari Jijiem, sebuah desa tempat Kantor Camat Keumala berada. Saban sore, dia tetap menyempatkan minum kopi di sebuah warung kopi tua di Jijiem. Di warung itu juga, aku pernah beberapa tahun membantu Bapak berjualan di rak kaki lima.
Dari rumah, dia mengayuh sepeda mininya ke Desa Jijiem. Perjalanan yang setiap hari dilakukannya itu ditempuh selama 20 menit. Baginya tidak terasa lelah, dan sudah terbiasa. Pernah, suatu kali dia ditawarkan naik motor oleh warga sekampungnya. Namun dia tetap menolak. Diusia senjanya, dia tidak memakai kacamata. Matanya sepertinya masih bagus melihat.
Pernah suatu hari, aku menanyakan tentang dia kepada orang sekampung. Bukan jawaban yang aku dapat, tapi orang itu malah mengatakan bahwa pria hikayat itu orang yang kurang waras. Dan seisi warung selalu menertawakan dia, jika hikayat akan terdengar dari mulutnya.
Dua bulan lalu, aku kembali teringat dengan dia, saat aku hendak menulis sejarah nama Keumala. Rencananya, aku ingin mendengar kisah dan sejarah Keumala dari setiap bait hikayatnya. "Dia sudah meninggal sekitar tiga bulan lalu," kata seseorang memberitahuku.
Di Banda Aceh, aku tertunduk lesu. Saksi sejarah yang sudah tua renta itu memang sudah pergi. Bahkan, aku tidak tahu namanya. Hingga kini, tidak ada seorang pun yang meneruskan bacaan hikayat seperti dia.
Dari celah jendela, suara hikayat masih terdengar. Hanya irama saja yang jelas. Syair-syairnya samasekali tidak dapat ditangkap. Kecuali "Allah Allah.." yang bersahutan di akhir bait hikayat. Entah sampai kapan, hikayat akan bergema menceritakan Aceh yang gagah, berani, dan jaya di Tanah Rencong ini. Bukan seperti bait cinta yang saling membenci.
Nice post adun
Jroh that. Krue seumangat.
Weuh watee taingat
Soe na Apa nyan?
Apa sen