Pada pertengahan 2005, beberapa bulan setelah tsunami meluluhlantakkan Aceh, Anita mendengar berita tentang ribuan guru di Aceh meninggal dunia dalam bencana. Tanah kelahirannya kekurangan banyak guru. Anita terpanggil. Dia ingin pulang. Akhirnya mengambil keputusan penting; mengundurkan diri dari perusahaan besar itu.
“Waktu itu, yang ada di pikiran saya cuma satu, menjadi guru,” ujar Anita. Maka, ia tak berpikir panjang ketika seseorang menawarkannya untuk menjadi guru di SMA Lampanah, Seulimeum. Ia setuju menjadi guru honorer. Gajinya ratusan ribu rupiah per bulan.
“Saya mengajar di SMA Lampanah cuma tiga bulan. Setelah itu, Kepala SMA Lamteuba mendatangi saya dan berharap saya mau pindah ke sekolahnya, karena benar-benar kekurangan guru,” kenangnya.
SMA Lamteuba terletak di kaki Seulawah, hampir 70 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh. Sekolah ini dibangun tahun 2003 silam, ketika sudah semakin banyak lulusan SMP satu-satunya di sana mengeluh tak ada sekolah lanjutan. Pada Juni 2008, status sekolah ini menjadi sekolah negeri dan dua bulan setelah itu diresmikan pemerintah.
Cuma ada 16 guru di sana; lima Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan 11 honorer. Lebih setengah guru di sekolah ini datang dari jauh, di antaranya Banda Aceh, Lhoknga, Sibreh dan Montasik, Aceh Besar. Sisanya, penduduk Lamteuba.
Guru yang datang dari jauh mengajar tiga hari dalam sepekan. Senin, Selasa dan Rabu, atau seperti Anita Fauziah Fairuz, dijatahi Rabu, Kamis dan Jumat. Guru-guru jauh ini tidak pulang pergi saban hari. Mereka akan menginap di mess sekolah dan akan pulang ke rumah masing-masing di hari terakhir mengajar.
“Guru-guru yang rumahnya jauh ini membawa bekal beras dan lauk-pauk ke sekolah. Mereka tinggal di mess. Kalau setiap pagi pulang pergi, akan sangat melelahkan,” kata Musnidar, salah satu guru muda di sekolah itu.
Sebagai pelengkap, sekolah itu merekrut tiga tenaga tata usaha; dua honorer dan seorang PNS.
MASIH ada tantangan besar bagi Anita setelah sampai ke Krueng Raya. Salah satunya, cara menyusur rimba untuk menggapai sekolah. Tidak ada transportasi umum dari kawasan pelabuhan itu menuju Lamteuba. Jalan memang sudah teraspal.
Tapi, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar sampai sekarang belum punya inisiatif membebaskan kawasan pedalaman itu dari belenggu isolasi. Lamteuba, dengan kesederhanaannya, terus tersekat.
Anita harus menunggu truk pengangkut kayu. Truk pun tak banyak. Sehari cuma ada dua, masuk pagi keluar sore. “Belakangan ini truk pengangkut kayu semakin jarang, karena pemerintah sudah memberlakukan jeda tebang. Cuma ada satu dua truk yang nekat,” kata Anita.
nice
tq