Asam keueng engkot muloeh. Bagi orang Aceh, tidak lengkap rasanya menikmati hidangan tanpa menu ikan banding. Bandeng panggang, misalnya, sudah menjadi tradisi masyarakat Aceh dalam menyajikan menu baik di rumah makan ataupun di acara kenduri.
Karena itu, ikan bandeng bukan ikan yang asing bagi masyarakat Aceh. Bahkan di hari meugang puasa atau hari raya ikan, bandeng pasti ada di setiap rumah masyarakat.
Ikan yang hidup di air asin dengan salinitas (keasinan) 21 – 32 persen dan pH 7,8 – 8,5 itu kian digandrungi untuk budi daya tambak para petani di pesisir timur Aceh. Selama ini budi daya masih dengan sistem alami (tradisional) yang tidak memberi pakan buatan pabrik.
Pembudidayaan secara alami ini bukan pekerjaan baru seperti yang dilakoni banyak petani tambak di Desa Teupin Pukat Bagok, Aceh Timur.
Mereka telah membudidayakan bandeng selama bertahun-tahun dengan sistem tradisional. Pola ini dilakukan turun-temurun sebelum petani tambak mengenal budi daya udang windu.
Mereka mengambil nener bandeng secara alami dengan menyaring di pinggir pantai dengan menggunakan saringan kain kasa (sawok).
Sekarang ini untuk memperoleh bibit bandeng tidak lagi melakukan pencarian di pinggir pantai, walaupun di Aceh belum ada tempat pembibitan.
“Kami memperoleh nener kecil dari Bali, kemudian nener halus itu kami pelihara di dalam tambak ukuran kecil yaitu 40 x 35 meter untuk masa pembesaran pertama selama 1,5 bulan. Setelah nener mencapai 4 sampai 5 cm baru kami jual ke petani tambak,” kata Nusyah (42 tahun) warga Desa Teupin Pukat Bagok, Kecamatan Nurussalam, Aceh Timur, seorang pengusaha nener ikan bandeng.
Katanya, nener kecil itu diambil petani dari para pengusaha nener dengan harga Rp250 per ekor. Kemudian nener tersebut dilepaskan ke tambak yang lebih lebar hingga 1 hektar atau lebih, untuk masa pembesaran selama 3,5 bulan.
Bandeng dipanen umumnya setelah mencapai ukuran 3 sampai 4 ekor per 2 kilogram dengan harga Rp16.000 per kilogram. Mengingat pasar ikan bandeng di Aceh sangat menguntungkan dan bisa mengangkat ekonomi petambak.
Apalagi sebelumnya para petani sempat shock dengan kegagalan beruntun budi daya udang windu. “Saya waktu itu sempat kehabisan modal, tapi Alhamdulillah selama saya pelihara ikan bandeng dan pembesaran nener saya bangkit kembali dari rugi-rugi pelihara udang dulu,” ujar Nusyah lagi, seraya mengatakan tidak mau lagi membudidayakan udang.
Dia mengaku trauma berbudi daya udang windu. Walaupun budi daya ikan bandeng tidak banyak untung tapi dirinya tetap enggan untuk kembali ke udang. “Lebih baik untung sedikit, asal tidak rugi,” katanya.
Budi Daya ikan bandeng kalau areal tambak luas juga bisa dapat meraih keuntungan hingga jutaan rupiah. Masalahnya, menurut Nusyah, di daerah itu terkendala tambak dangkal. Para petani terbatas modal untuk mengeruknya.
Karenanya satu hektare tambak hanya muat untuk budi daya seribu nener. Padahal kalau tambak tidak dangkal, bisa muat hingga 2.000 nener.
“Akibat kedangkalan areal tambak pakan alami yang tumbuh dalam tambak tidak mencukupi, sedangkan untuk pemberian pakan pabrik harganya sangat tinggi mencapai Rp8.000 per kg,” ungkap Nusyah.
Mengatasi hal itu, petani tambak biasanya menaburi pupuk kandang ke dalam tambak sebelum melepas nener. Hal itu untuk membuat pakan alami yang tumbuh bagai lumut di dasar tambak.
Menurut ayah empat anak itu, air tambak di saat pasang besar harus selalu diganti. Hal ini untuk mempercepat pertumbuhan ikan. Kalau air tidak pernah diganti ikan pun tidak enak rasanya.
Pemasaran ikan bandeng bukan hal yang sulit, karena harga ikan ini tidak pernah turun. Sebelum panen biasanya sudah ada agen yang memesan untuk dibawa ke Takengon, Bireuen dan daerah lainnya.
“Apalagi saat hari meugang tidak cukup ikan, puluhan ton ikan dipanen habis. Pokoknya tidak pernah petani tambak daerah sini yang mengeluh karena tidak tahu menjual hasil panennya,” ujar Nusyah.
Dia sangat mengharapkan pemerintah melalui pihak terkait untuk membantu petani tambak melalu kelompok tani untuk mengeruk tambak-tambak dangkal di kawasan itu.
Selama ini petani di sini belum pernah mendapat perhatian dari pemerintah setempat. “Padahal pemberdayaan petani tambak bisa menjadi income per kapita daerah di bidang perikanan,” kata Nusyah lagi.
it's good
thanks
People who liked this post also liked:
Photo Macro, Flea and Ants on a Flower (INA-ENG) by @zainalbakri