Usia Nurmasyitah masih tiga tahun. Setiap kali kami ke kebun, Syitah-panggillannya-selalu merengek minta ikut. Jika tak dituruti, ia menangis sejadi-jadinya. Dia adik perempuan kami satu-satunya dari empat bersudara. Tapi Ibu tak pernah memanjakan kami satu pun, termasuk Syitah.
Jarak antara rumah dengan kebun sekitar lima kilometer. Waktu itu di kampung kami belum banyak yang memiliki motor, sepeda pun masih terbatas. Kami merupakan anak-anak petani yang tinggal di sebuah desa nan jauh dari perkotaan. Sehari-hari kami pulang sekolah membantu orang tua di kebun dan sawah.
Kami sudah terbiasa hidup dengan alam. Ingin makan ikan, tinggal semeuseut (mengeringkan payau untuk diambil ikan) atau memancing di kali yang ada di belakang rumah. Begitu juga ketika ingin makan sayur-sayuran tinggal petik saja atau minta ke kebun tetangga.
Nilai-nilai sosial kehidupan di desa itu masih tinggi. Apalagi belum bersentuhan dengan teknologi seperti hari ini. Memasak nasi saja masih pakai kayu bakar. Sesama masyarakat masih saling gotong royong.
Hari itu, kami sekeluarga sepakat ke kebun bersama-sama untuk memanen kacang kuning yang sudah ditanam. Untuk mengakses ke sana, kami harus berjalan kaki. Kami tak merasa lelah lagi, karena itu sudah menjadi kebiasaan kami setiap hari.
Abu (panggilan untuk ayah) kami menggendong Syitah, Ibu membawa bekal-bekal untuk kami seharia di sana, sedangkan saya dan abang disuruh bawa tikar dan karung yang sudah digulung sebagai tempat jemuran batang kacang pascadipotong nanti.
Kami semua berangkat pagi. Tiba di kebun sekitar pukul 07.30 WIB. Di sana ada sebuah rangkang (sejenis gubuk) dengan ketinggian alas sekitar dua meter. Abu sengaja membuat lebih tinggi agar aman dari binatang buas.
Kami semua mulai bekerja memotong satu per satu batang kacang yang sudah tua berwarna agak kecoklatan. Sedangkan Syitah dia suruh Ibu duduk di atas rangkang karena di luar mulai kepanasan. Kami terus bekerja.
Tiba-tiba Ibu mengeluh, seekor lebah masuk ke dalam sanggulnya. Tanpa sengaja, seekor lebah itu pun mati dipukul Ibu. Lalu, tiba-tiba datang dua ekor lagi menghampiri Ibu, dipukul lagi. Kemudian datanglah sekumpulan besar lebah menyerang kami semua.
Lalu terdengar jeritan Syitah menangis. Rupanya pasukan lebah tadi sudah sampai ke rangkang. Saya bersama abang mencari galian tempat mau ditanam kelapa sawit, ukurannya muat kami berdua. Kami bersembunyi di sana. Kami lihat ke atas, lebah-lebah itu mondar-mandir menunggu kami bangun dari lubang itu.
Saya masih bisa melihat ibu melindungi Syitah walaupun dirinya juga sedang kena serangan. Ibu membalut Syitah dengan kain sarung agar tak terkena sengatan lebah. Saya menangis, Ibu menangi, dan semua menangis. Karena tak berani cuma berdua sama abang di sana, kami pun bangun, langsung saja patokan lebah mengenai kepala kami.
Rasanya seperti dilempar dengan batu-batu kecil ke kepala kami. Tak ada yang bisa menolong. Tak ada orang lain di sana. Dalam keadaan kesakitan, kami semua berlari menuju kebun tetangga. Dalam perjalanan kami menemukan sumur berair yang tak begitu dalam. Kami semua masuk ke sana. Lebah masih mengikuti kami.
Tiba-tiba datang Abdullah, kami memanggilnya Bang Lah Boco, pemilik kebun tetangga. Ia memahami bahwa lebah adalah binatang yang patuh. Lebah merupakan binatang yang memiliki khasiat obat dan Allah abadikan dalam Quran.
Bang Lah dengan percaya diri menyeru, “Kajeut jak woe keudeh, bek peukaru le kamoe (Pulanglah, jangan ganggu kami lagi),” ia mencoba berkomunikasi dengan Lebah.
Seperti memahami pesan yang disampaikan Bang Lah. Para lebah itu pun langsung meninggalkan kami. Suasana menjadi stabil kembali. Yang tersisa hanya kesakitan karena sengatannya menimbulkan iritasi, bengkak, memerah, rasa panas di seluruh tubuh kami.
Usai menyengat, lebah yang bersangkutan akan mati karena jarum sengat pada ekornya dan kantong kelenjar lebah terlepas dari badannya dan tertancap pada bagian tubuh manusia yang terkena sengatan.
Seluruh tubuh kami bengkah, bibir, telinga, mata, dan beberapa anggota tubuh lainnya perih. Walaupun demikian, kami tak pernah dendam. Karena kami akui kesalahan dari pihak kami. Andai Ibu kami tidak memukul mereka, mungkin kejadian tersebut tidak pernah terjadi. Ibu pun tak salah, karena beliau terkejut lalu membela diri.
Dari kejadian tersebut, kami belajar satu hal dari lebah. Ketika yang satu disakiti, yang lainnya ikut tersakiti. Mereka kompak membela kaumnya. Mereka tidak mau diganggu, tetapi ketika diganggu, tunggulah pembalasan mereka.
Sebenarnya tidak hanya lebah saja, binatang apapun jika mereka terancam, juga akan mengancam. Lihat saja bagaimana gajah yang sangat baik, tapi bisa menjadi binatang bringas ketika habitat mereka terganggu. Semut saja yang kecil, kalau ia sudah terinjak, juga akan mengigit.
Syitah yang waktu itu masih berusia tiga tahun, kini sudah berusia 25 tahun. Pada tahun 2017 kemarin ia diwisuda kuliah di Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Malikussaleh, Lhokseumawe. Entah masih ingat pun ia pada peristiwa itu!
Saya pernah kesengat lebah di waktu kecil. Waktu itu mamak-mamak tetangga arisan di rumah kami. Kami anak-anak bermain kejar-kejaran sampai saya yang sedang kurang beruntung "ditabrak" lebah. Waktu itu seingat saya balsem lah obatnya. Pernah juga kena ulat bulu beberapa kali saat di rumah ataupun di sekolah yg banyak dikelilingi sawah. Biasanya nenek kasih abu gosok. Kalau orang sekarang biasanya nasehatin mandi pakai sabun biar hilang gatalnya.
Iya Azhar, kasus kami itu parah kali, banyak mereka, kami jadi demam sekeluarga..