LELAKI berbaju hitam itu tertidur di atas sebuah bangku. Tiba-tiba terdengar suara tawa melengking. Semakin lama tawa itu semakin melengking, memecah kegelapan. Dari suaranya, tawa itu milik seorang perempuan.
"Siapa kamu? Tunjukkan dirimu! Aku tidak taku," ujar si lelaki tadi dengan suara bergetar. Dalam hitungan detik, si lelaki sudah berdiri dari tidurnya. Lutut lelaki itu gemetar.
"Aku di sini Bang," sahut seorang perempuan yang tiba-tiba sudah duduk di atas bangku tempat lelaki itu tidur. Si perempuan berpakaian serba putih itu kembali tertawa dengan melengking. Rambutnya yang panjang sampai tersibak dari wajahnya.
Begitulah bagian awal pementasan teater "Tersadar" yang dimainkan oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di auditorium FKIP tempo hari. Pementasan ini merupakan rangkaian ujian akhir semester mahasiswa semester lima yang memprogram mata kuliah Drama.
Dalam pementasan tersebut dikisahkan perdebatan para setan aneka wujud tentang manusia. Di antara para setan itu ada yang berwujud kuntilanak, ada yang berupa tuyul, hantu ngesot, dan genderuwo. Mereka semua mendebat keberadaan manusia yang penuh ketakutan dan kemunafikan.
"Kita tidak bisa mempercayai manusia, karena sesama mereka saja saling hasut," ujar salah seorang setan itu agar kuntilanak tidak membela si lelaki yang sedang mereka adili.
Dari dialog yang muncul, para setan sepakat bahwa sumber kehancuran di muka bumi ini bukan ulah setan, melainkan karena sifat manusia itu sendiri. Tentu saja apa yang dipaparkan oleh para setan tersebut bentuk satir terhadap realita kehidupan manusia. Secara tidak langsung, penulis naskah ini ingin menyindir perilaku manusia yang sering membuat kehancuran dan kerusakan di atas bumi. Namun, sindiran tersebut disampaikan melalui dialog para setan untuk melegitimasi bahwa setan pun muak melihat tingkah manusia yang gemar saling menyalahkan.
Pementasan yang seharusnya penuh ketegangan tersebut karena setiap tokoh setan benar-benar berpenampilan seperti layaknya setan aneka wujud itu tidak terlalu menegangkan, karena setiap tokoh selalu punya dialog lucu yang diucapkannya. Sesekali terdengar gelak tawa dari barisan penonton.
Hingga pertunjukan berakhir, adegan kocak tetap masih muncul. Kali ini dari tokoh manusia, yakni si lelaki berbaju hitam yang menjadi objek masalah dalam cerita. Dalam keadaan gemetar penuh gigil, si lelaki selalu berujar "Aku tidak takut." Namun, di saat yang sama, kakinya gemetar tiada henti.
Begitulah kreativitas mahasiswa PBSI yang tergabung dalam Gelanggang Mahasiswa Sastra Indonesia (Gemasastrin) menggelar pementasan teater. Selalu berusaha menghadirkan sesuatu yang kocak di antara satir yang mereka suguhkan. Selamat berkarya!
Herman RN
Luar biasa kreativitas mahasiswa Herman. Salut!
hehehe... mereka belajar dan terus belajar lalu mempraktikkannya.
Nice post friend good luck
Thanks, friend.
Kreativitas yang luar biasa. Kirain tadi cerita hantu rupanya berisikan kritikan terhadap watak manusia saat ini.
Iya Bang @albertjester. Kami juga sewaktu menonton pertama mengira cerita angker hehe
Bagus sangat alur ceritanya, mengena namun tak mengundang emosi lantaran sindiran tak secara langsung dan dibungkus dengan komedi., semoga kedepan semakin ok dan sukses buat kang @hermanrn. salam kenal dan sampai jumpa di post selanjutnya, insya Allah
Terima kasih @coretanperak. Senang bisa berjumpa di ruang ini. Ditunggu komentar berikutnya.
Mantap. Follow and vote juga @apilopoly karena aku satu lagi di @pilopoly lupas password.
Sudah...
Final drama ya Pak Herman? Buatnya di mana, Auditorium?
Kayaknya setan jadi topik turun-temurun he he
betul. Setan jadi tema menggenerasi hehe