Pilkada serentak jilid II sudah berlangsung pada februari 2017. Dimana Aceh merupakan provinsi yang paling banyak melaksanakan pemilihan kepala daerah, yaitu di 20 kabupaten/kota yang ada di Aceh. Apabila kita mereview kembali pada pilkada serentak jilid I 2015, fenomena yang terjadi di beberapa daerah yaitu krisisnya calon kepemimpinan atau yang sering disebut dengan calon tunggal. Akan tetapi hal ini tidak terjadi di Aceh, mengingat Aceh banyak sekali para cendikiawan yang ingin merubah ketertinggalan Aceh dalam berbagai sektor pasca konflik dan tsunami. Sehingga Aceh muncul enam pasang calon waktu itu.
Semangat pilkada di Aceh juga dirasakan oleh seluruh rakyat Aceh mulai dari kalangan orang tua, kaum muda bahkan sampai anak-anak “syiek putik tuha muda” lebih-lebih mereka yang kehilangan orang-orang yang disayangi pada masa konflik dan tsunami. Semua masyarakat Aceh tentu sangat mengharapkan pemimpin yang terpilih hari bisa diandalkan dalam hal mewujudkan kesejahteraan dan pendidikan yang maju demi lahirnya sumber daya manusia yang berkualitas di Aceh untuk mampu bersaing dalam kancah internasional di era globalisasi sekarang ini.
Sampai saat ini kita belum melihat perubahan yang signifikan di aceh, baik di sektor pendidikan, pembangunan, dan lain sebagainya. Padahal publik semua tau berapa angka rupiah yang digelontarkan untuk 2 sektor tersebut. Untuk pendidikan itu itu berada di angka 20% dari APBA Aceh, tapi apakah hari ini pendidikan sudah cukup maju di Aceh dan sudah siap untuk melawan kompetisi dunia? Tanayakan pada rumput yang bergoyang.-_-. Kemudian berbicara pembangunan khususnya infrastruktur, apakah Aceh punya gedung 20 Lantai? Paling tinggi hanya 5 lantai itupun atapnya tak siap. Jadi apa yang mau kita banggakan di Aceh hari ini???
Ditambah lagi dengan persoalan rumitnya pengesahan APBA tahun 2018 yang tidak ada ada kata sepakat antara Legislatif dan Eksekutif. Padahal pemimpin Aceh hari ini bukanlah pemimpin yang baru, beliau sudah pernah memimpin Aceh, dan banyak kalangan elit mengatakan beliau adalah pemimpin yang sudah pernah “gagal”. Dan apakah kegagalan tersebut akan terulang kembali?
Kalau kegagalan tersebut terulang kembali “selamat” kepada bangsa Aceh yang telah ditipu oleh bangsanya sendiri. Bukan sedikit orang-orang pintar di Aceh, tapi apakah orang pintar tersebut dapat merubah Aceh dalam keterpurukan? Untuk menjawab pertanyaan ini saya jadi “kangen” sama mantan gubernur DKI pak Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Dia mengatakan “saya tidak perlu orang yang pintar, tapi yang saya butuhkan adalah orang yang jujur”.
Semua kegagalan ini sebenarnya masih bisa diperbaiki, tapi bukan perbaiki menggunakan mulut hanya teriak-teriak saat kampanye akan mensejahterakan masyarakat. Cara yang pertama adalah hapuskan premanisme birokrasi di aceh, ini sudah zaman now bukan lagi masa perang. Yang kedua pemerintah aceh harus mampu meningkatkan pendapatan Aceh dari sektor pajak, karena masih banyak sekali masyarakat aceh yang masih membayar pajak ke daerah lain akan tetapi objek pajak itu digunakan di Aceh. Yang ketiga berantaskan benar-benar nepotisme di Aceh, kita sangat miris melihat tenaga bakti, honorer dan sebagainya di Aceh, mereka bekerja tidak mendapatkan gaji. Apa sebenarnya penyebab faktor tersebut???? Silakan Tanya saja pada rumput yang bergoyang!!!
Sort: Trending