Fikih Kebangsaan
Hubungan persoalan-persoalan kebangsaan dengan Islam, dalam hal ini doktrin-doktrin fikih, dapat dilacak sejak islam baru memiliki kekuatan politik di Madinah, yakni saat Nabi Muhammad SAW menjadi pemimpin spiritual dan politik penduduk Madinah dan berlangsungnya Piagam Madinah. Semenjak itu, hukum-hukum fikih yang menyangkut dengan membela negara (dalam artian yang lebih umum dari pemerintahan negara bangsa), perekonomian, swasembada, pendidikan, dan kesejahteraan rakyat sudah menjadi bahasan wajib dalam karangan-karangan para ulama fukaha. Bahkan perihal kebangsaan, khususnya tentang pemerintahan, kekuasaan, dan kesejahteraan rakyat, diangkat oleh Imam Mawardi (w. 450H) dan Qadhi Abu Ya’la (w. 458H) dalam satu karangan khusus.
Menarik untuk diketahui bahwa Taqiyyu al-Din Ibnu Taymiyah (w. 728H), salah seorang ulama besar abad ke-8 hijriah yang sering dijadikan rujukan oleh kelompok yang menetang nasionalisme dan ideologi kebangsaan, pernah mengeluarkan fatwa yang menjawab permasalahan kebangsaan warga muslim yang menempati wilayah Mardin yang saat itu dikuasai oleh non-muslim. Dalam fatwanya, Ibnu Taymiyah memberikan arahan agar warga Mardin yang muslim untuk tetap menempati wilayah tersebut, bermuamalah dengan warga lain, dan mematuhi penguasa selama bukan dalam hal yang bertentangan dengan syariat. Fatwa tersebut di kemudian hari dikenal dengan Fatwa Mardiniah.
Gagasan demi gagasan yang berlatarbelakang diktum fikih muncul dari banyak ulama dari zaman ke zaman permasalahan kebangsaan. Di Indonesia sendiri, sejak masa kolonialisme, keikutsertaan para ulama, baik dengan pena atau dengan pedang, sudah terang benderang sejarahnya. Fatwa yang mewajibkan jihad melawan penjajahan, mempertahankan bangsa dan tanah air, sudah jamak dikeluarkan oleh para ulama nusantara saat itu. Pasca-kolonialisme, dalam masa peralihan tampuk kekuasaan dan setelah kemerdekaan, andil para ulama nusantara yang rata-rata adalah pakar fikih pun makin banyak dalam menangani isu-isu kebangsaan yang makin banyak bermunculan saat bangsa ini baru menikmati kemerdekaan yang masih seumur jagung.
Begitulah adanya. Masalah-masalah kebangsaan di negeri ini masih terus menjadi perhatian para pakar fikih dan ulama dari masa ke masa. Bahkan semenjak orba hingga sekarang, masalah kebangsaan masih mengambil posisi vital dalam tinjauan para ulama di Indonesia. Pribumisasi Islam, misalnya, yang digalakkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), merupakan satu gagasan untuk menjawab isu kebangsaan yang paling kontroversial di kalangan ualama, yakni nasionalisme dan degradasi identitas bangsa. Fikih Mazhab Indonesia, contoh lain, yang diketengahkan oleh Prof. Dr. Hasbi Assiddiqy yang mencoba untuk menutup celah antara diskursus-diskursus fikih dengan keadaan masyarakat Indonesia.
Gagasan-gagasan tersebut dan yang baru-baru ini diangkat oleh ormas NU (Nahdhatul Ulama), Islam Nusantara, atau yang dijadikan tema muktamar oleh Muhammaddiah, yaitu Islam Berkemajuan, tak lain adalah bentuk penekanan bahwa Islam, dalam artian tata hukumnya, dapat berharmonisasi dengan beraneka bangsa, khususnya bangsa Indonesia yang majemuk dan sangat berbeda dengan bangsa tempat Islam muncul, sekaligus mampu menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan yang terus menerus muncul ke permukaan.
Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by Meutuah93 from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, theprophet0, someguy123, neoxian, followbtcnews, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows. Please find us at the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.
If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP.
Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.