Sosiologi Aceh

in #indonesia6 years ago

Pada kesempatan kali ini saya akan kembali mereview buku Acehnologi Volume 3 karya Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Ph.D bab 17 mengenai Sosiologi Aceh.
Mengkaji mengenai penjelasan ke-Aceh-an harus diakui lebih banyak ditonjolkan melalui perspektif Sejarah dan Antropologi. Maka, untuk menemukan bagaimana konsep Sosiologi Aceh penstudinya harus paham mengenai bagaimana arus modernisasi yang melanda suatu kawasan, karena ranah sosiologi banyak melihat apa yang terjadi di kawasan urban, yang sudah banyak mengalami proses modernisasi.
Sosiologi lahir ketika ada beberapa peristiwa yang saling berkaitan, yaitu pertama dampak Revolusi Perancis pada tahun 1789, dimana munculnya para teoritikus terkenal yaitu Auguste Comte dan Emile Durkheim, untuk merumuskan pengaruh-pengaruh dari peristiwa tersebut.
Kemudian revolusi industri dan kemunculan kapitalisme, tokoh yang muncul di sini adalah Max Weber, Karl Marx, Emile Durkheim, dan George Simmel. Selanjutnya yang ketiga adalah kemunculan sosialisme. Meskipun ini melahirkan pemikiran komunis, namun yang dimunculkan adalah sosialisme. Keempat, masyarakat beramai-ramai menyerbu kota untuk mendapatkan pengidupan yang lebih baik yang terjadi akibat revolusi industri. Terakhir, proses yang telah disebutkan di atas tersebut telah memiliki pengaruh pada religiusitas masyarakat Barat. Jadi, dari proses tersebut dapat diketahui bahwa ada gerakan dari masyarakat Barat, terutama dalam hal mencari penghidupan yang lebih baik.
Maka yang menjadi pertanyaannya adalah apakah kita akan menemukan model studi sosiologi Aceh dan apakah perlu memahami tradisi ilmu sosiologi dari Barat untuk menopang berdirinya Sosiologi Aceh.
Sosiolog di Aceh belum melahirkan paradigma untuk menopang teori-teori sosiologi. Karya sosiolog Aceh akan sama seperti pengalaman di Arab yaitu menyandarkan diri mereka pada teori-teori dari Barat. Tetapi pada abad ke-16 dan 17 M, para pemikir Aceh sudah melahirkan pemikiran-pemikiran yang menyebabkan adanya kesadaran diri pada diri orang Aceh.
Salah satu hal yang paling mendasar untuk mencari akar Sosiologi Aceh adalah menemukan konsep-konsep yang memunculkan kesadaran akal dari diri sebagai pemicu untuk membangun masyarakat. Maka tahapan yang akan dilalui adalah mencari pondasi berpikir mengenai spirit, bagaimana bentuk kesadaran dari pemahaman tersebut, pembentukan individu Aceh, dan bagaimana dijadikan sebagai falsafah kebijakan di dalam masyarakat berdaulat dan bernegara.
Syeikh Hamzah Fansuri sebagai “Bapak Sastra Modern”, Syeikh Nurdin Ar-Raniry sebagai “Bapak Mujaddid dan Bapak perbandingan Agama”, Syeikh ‘Abdur Rauf as-Singkili sebagai “Bapak Tafsir Melayu”, Syeikh Abbas Kutarang sebagai “Penyair Perang” dan Prof.T.M.Hasbi Ash-shiddieqy sebagai “Pembaru Islam dan Penggagas Fiqh Indonesia” adalah pemikir yang dianggap memiliki reputasi di tingkat nasional dan internasional. Meskipun mereka bukan para sosiolog, tetapi mampu menggerakkan alam pikir dan alam tindakan manusia baik di Aceh maupun di luar Aceh, sampai ke Semenenjung Tanah Melayu.
Akhirnya, ketika kita ingin memunculkan Sosiologi Aceh, maka yang harus digali adalah menemukan kembali ruang imajinasi sosial yang bersifat ke-Aceh-an. Kemudian menemukan kembali ruang yang aktif dan progresif dalam ruang kesadaran masyarakat Aceh, dan terakhir pelu juga dicari bagaimana format ruang kebatinan masyarakat Aceh yang memberikan pengaruh pada dua ruang sebelumnya.