Saudara kira, hidup di negeri yang ber otonomi khusus itu mudah,belum tentu. Pernahkah saudara melewati jalan penuh lubang bagai rawa? Pernah kah saudara memanen hasil kebun tapi tidak sesuai pengeluaran? Mungkin tak pernah sama sekali, saudara tergolong bahagia walaupun tak hidup di wilayah yanng kaya sumber alamnnya.
Sore itu, 23 juli 2019. Tiba- tiba Fikar, kawan saya yang tinggal di Bayu menhbungi saya. "Assalamualaikum Wan, patkeh?"(Aceh-red) tanya Fikar. Lalu saya menjawab. "Na dikawasan nyo" ujar saya. "Singeh tamita jengkol beh bah lampoh Yasin" (yasin, kawan saya juga tinggal di Cot Girek, Kandang). Saya mengaminkan "ok"
Itulah percakapan sekilas sebelum besoknya berangkat.
Keesokannya tepat pukul 8.00 WIB kami berempat langsung berangkat dari kandang menuju paya bakong dimana letak kebun itu berada. Kami haru melewati tiga kecamatan plus untuk bisa sampai ke sana.
Saya sendiri memboncengi Yasin, si pemilik kebun. Fikar bareng dengan Riski menggunakan mogenya.
Melewati karieng, salah satu jalan pintas biar bisa memngkas waktu kesana. Tentu tidak mudah.melewati Kede karing, kami tidak mengelak dari jalan yang penuh lubang.
Setelah melewati beberapa kecamatan. Kami tiba di Bendungan Krueng Pasee, ini pertanda beberapa kilometer lagi akan sampai ke kebun tujuan.
Jalam dari krueng pasee menuju lokasi lebih ekstrim karena melewati jalan bebatuan penuh debu, yang jika kita kalah balap dengan yang maka kita lah yang paling banyak makan debu.
Sesampainya di kebun, kami berempat Fikar, Riski,Yasin dan saya segera membuka ikatan kopi tubruk yang telah kami beli tadi di kampung terdekat untuk segera di sruput biar semangat memetik jengkol.
Setelah minum kopi, kami bergegas untuk memetik jengkol yang sekian meter dari tempat kami duduk. Sebagian dari kami memetik, sebagian lagi memungut untuk dimasukkan ke karung biar mudah diangkut nantinya.
Namun ada hal yang tidak mengenakkan selama kami memetik jengkol. Pohon berada pas di posisi tebing yang curam plus penuh dengan pohon sawit dibawahnya. Jadi saat jengkol jatuh, tidak jarang tersangkut di pelepah sawit yang melebar. Lengkap sudah penderitaan.
Tidak hanya itu, setelah 50 persen buahnya dipetik. Tiba- tiba saya disengat Jangat (Jangat : binatang kecil semacam lebah. Aceh-red) 3 kali disengat sakitnya luar biasa. Sehingga saya harus istirahat beberapa menit sembari menunggu reda sakit dari sengatan tadi.
Setelah selesai dipetik dan dipungut. Kami berhasil mendapati 4 karung. 2 karung besar dan 2 karung kecil penuh jengkol.kami segera bergegas pulang.
Berhubung kami hanya menggunakan 2 motor, sangat sulit untuk bawa karung jengkol tersebut. Tapi terpaksa juga harus dipulangkan semua. Karena tak mungkin ditinggalkan dengan jarak berpuluh kilometer ini.
Turun bukit, naik bukit. Tentu ini tidak mudah. Karena jalannya dipenuhi bebetuan yang sudah tidak rapi. Tidak jarang jengkol jatuh ditengah jalan kemudian kami atur posisi lagi, begitulah sampai seterusnya.
Beberapa kilometer kami jalan, tiba-tiba turun hujan yang sangat lebat. Jengkkol yang awalnya 4 kilo bisa jadi 50 akibat endapan air. Lengkap sudah penderitaan.
Kami basah semua. Charger dan lainnya tak bisa diselamatkan.
Keesokannya kami menjual depan rumah Fikar di pinggir jalan medan banda Aceh di Bayu. Dengan harga 10 ribu perkilo.jika ambil 2 kilo kami diskon jadi 18 ribu.
Ini pun tidak mudah, dari pagi sampai sore yang terjual kurang dari 30 kg. Diperparah dengan penawaran yang sengit oleh orang- orang yang beli. Dari harga 10 ribu diminta diskon 50 persen oleh emak-emak yang beli. Hadeuh, begitu sulitnya jadi petani disini ternyata.
25 July 2019
By : Muhammad Irwan
The Creative Crypto is all about art on the blockchain and learning from creatives like you. Looking forward to crossing paths again soon. Steem on!Hello @irwankomunikasi, thank you for sharing this creative work! We just stopped by to say that you've been upvoted by the @creativecrypto magazine.