Ini cerita tetang tawa yang berlebihan. Tawa terpingkal-pingkal, sampai keluar air mata, lalu pingsan. Kisah ini kemudian terkenal dengan sebutan mati ketawa ala Aceh. meski orangnya hanya pingsan, bukan mati.
Kisah ini saya dengar masa kecil dulu. Ketika libur sekolah, kami anak-anak pesisir diizinkan orang tua untuk begadang di pantai mencari telur penyu. Karena penyu hanya bertelur pada masa-masa tertentu, maka ramailah orang di pantai pada masa itu.
Kami duduk di bawah pohon kelapa, menikmati desir angin laut sambil melihat orang-orang lalu lalang dengan senter. Bagi kami yang malas mencari lobang penyu, cukup menunggu saja di muka jalan setapak pulang ke kampung. Karena, siapa pun yang menemukan telur penyu, wajib membaginya untuk siapa saja yang dijumpai di wilayah pantai, meski hanya beberapa telur saja.
Makanya, ketika ada rezeki yang dibagi untuk bersama, orang Aceh menyebutnya raseuki pinyié alias rezeki penyu. Nah, karena kewajiban membagi rezeki penyu di wilayah pantai ini pula awal kisah mati ketawa ala Aceh ini terjadi.
Tersebutlah nama Pang Lah dan Lem Brahim. Ini nama yang sering disebut dalam kisah klasik tersebut. Keduanya terkenal kikir bin kedekut. Kalau mereka menemukan satu lobang telur penyu, mereka akan bawa pulang ke kampung lewat jalan semak-semak yang tak dilalui orang. Tujuannya, agar telur penyu yang didapat tidak dibagi ke orang lain.
Suatu ketika, di penghujung musim penyu, jumlah penyu yang naik ke pantai untuk bertelur sudah sangat berkurang. Tapi Pang Lah dan Lem Brahim tetap ronda sepanjang pantai hingga subuh, karena belum mendapat satu pun lobang telur penyu. Hingga masa jelang subuh, kami menyebutnya masa puteh timu alias ngabo, seekor penyu besar naik ke pantai.
Penyu abeung ini bentuknya hampir seukuran daun pintu, tapi telurnya sedikit, paling hanya 60 sampai 80 telur saja. Pang Lah dan Lem Brahim buru-buru menghampiri penyu yang sedang menggali pasir untuk bertelur. Tapi ya dasar kikir, keduanya ingin cepat-cepat mengambil telur penyu itu sebelum hari terang. Mereka tak ingin membaginya.
Pang Lah menggali pasir di dekat ekor penyu, satu telur jatuh, satu diambilnya. Sementara Lem Brahim mengawasi mulut lorong, mengamati kalau-kalau ada orang yang datang. Nah, karena tak sabar, Pang Lah kemudian meletakkan tangannya di dubur penyu, ia ingin mengambil langsung telur sebelum jatuh ke lobang.
Penyu yang tak biasa mendapat perlakukan seperti itu, langsung menutup duburnya, sehingga tangan Pang Lah terjepit. Pang Lah meronta kesakitan, sementara penyu yang besar itu bergegas kembali ke laut. Maka terseretlah tubuh Pang Lah ke air.
Melihat kejadian yang tak biasa itu, Lem Brahim tertawa terpingkal-pingkal. Ia sampai guling-guling di pasir ketika melihat rekannya itu diseret penyu ke laut dengan tangan masih terjepit di dubur penyu. Semakin jauh tubuh Pang Lah terseret, semakin besar tawa Lem Brahim. Hingga kemudian ketika penyu menyelam ke dasar laut tubuh Pang Lah ikut tenggelam.
Lem Brahim masih terus tertawa sambil guling-guling memegang perut dan menendang-nendang pasir, matanya sampai berair. Dengan susah payah Pang Lah akhirnya berhasil melepaskan diri dari jepitan penyu. Dengan sisa tenaga ia merangkak ke darah. Dilihatnya Lem Brahim sudah pingsan. Ia juga ikut pingsan karena kelelahan melepaskan diri dari penyu di dasar laut.
Beberapa saat kemudian, ketika hari sudah terang, beberapa orang datang memungut telur-telur penyu yang berserakan di pasir. Mereka membagi-bagikan rezeki penyu itu. Sementara Pang Lah dan Lem Brahim masih tergeletak di pasir. Begitulah kisah orang-orang kikir yang tak ingin membagi rezeki di pantai. Wallahualam.
Bereh tulesan, nyan bue lagak loem uekue
shengkiyu kaneubaca, asai na tupong pasti lagak tamuwot. Saleum
hehehe. Beereh...bak sang jino mantong mana perangui lage pang lah dan lem brahim lam cerita nyo...tapi jino ka modern bacut...
Peurangui lagee nyan @ansaridaily beurangkapan dan beurangkajan na, cuma tanyoe nyang bek lagee nyan, he he he he.