Senja baru saja tenggelam dilipat malam, kala aku tiba di batas kota, tempat yang kau janjikan. Ini pertemuan pertama, setelah berbilang tahun kita tak melihat purnama bersama. Katamu, malam ini di sudut café temaram itu, di bawah payung langit dan kedip bintang, ada yang akan kau ceritakan kembali, entah tentang apa. Tapi, aku sudah di sini untuk mendengarkannya. Aku harap bukan luka, karena tak kuasa kulihat mata basah, apa lagi matamu yang pernah kupuja.
Aku masih saja di sini. Detik telah jadi menit, dan kini menjadi hitungan jam, tapi hidung mancung dan lesung pipimu belum juga kulihat. Hanya karena kamu memintaku untuk menunggu, demi sebuah kisah aku bertahan dalam hayalan yang terus saja mengembara ke masa silam, mencoba mencarimu dalam ingatan, mengisi sepi dengan kekosongan.
Pada seruput terakhir kopi tanpa gula, kau datang juga akhirnya. Katamu, rindu telah menuntunmu padaku. Rindu yang kembali menemukan jalannya, setelah sekian lama tersandera, terpasung hati yang retak. Tapi jalan mana yang harus kita lalui kini? Tebing terjal antara kita tak mungkin terjembatani. Biarlah rindu ini menjadi rindu yang menyayat hati. Tapi, jangan menangis! Aku tak sanggup melihat air matamu.
Lalu kau bertanya. Siapa diantara kita yang telah rela menjadi pendusta, yang dulu memberi harapan, tapi kemudian menghancurkan impian, menciptakan badai, hingga tirai-tirai rindu terkoyak? Aku tak perlu menjawab. Kau tahu jawabannya. Tapi, tetap saja kau bertanya tentang luka sambil tertawa.
Aku hanya berkata, bukankah dengan itu kita punya alasan untuk menutup hati yang gulana? Mematikan rindu yang sedang mekar, menguburkan cinta dalam relung hati terdalam. Lalu malam mini untuk apa kita berjumpa?
ilustrasi Goresan kerinduan
Kau tetap saja terseyum, mengira semua telah termaafkan, tapi aku tak melupkannya. Dulu kubawa secangkir cinta, kita menyeruput rindu bersama di dalamnya, tapi kemudian kau patahkan tangkainya. Sadarlah kita kini bahwa, cinta dan rindu kini bagai senar yang membentang pada gitar yang sama, dipetik pada nada yang sama, untuk lagu yang sama, tapi ujungnya tak pernah menyatu. Begitulah beban rindu yang sekian lama tertahan, bagai dua sisi rel yang digilas kereta, kedua ujungnya juga tak pernah menyatu.
Lalu dengan senyum kau kembali berkata, biarlah rindu tetap bernyanyi dalam irama kecapi, lupakan dua rel yang terlindas, karena kita akan berdendang di bawah purnama, sambil membayar hutang cerita yang tertunda, memikul luka bersama yang masih menga-nga.
Ketika kumenagih ceritamu, kau membisu. Laku kau berkata “Cukup melihat wajahmu saja, untuk cerita mala mini. Akan kubawa sebagai gelora ke ranjang tidurku. Aku ingin melihatmu dalam mimpi seperti dulu.”
Aku tertipu. Tak kudapat ceritamu malam ini. Mengapa kita tidak pernah bisa untuk saling membenci, padahal luka sudah terlalu dalam. Kalau kembali berdalih, karena luka juga butuh kerinduan, rindu yang menuntunmu padaku. Padahal, hatimu dan hatiku tekah terisi dengan nama lain.
Malam ini rindu telah dijinakkan dalam luka, ia rebah dalam kerelaan. Angan-angan telah kembali ke tahun-tahun persemaian. Lalu saat kabut pagi membuka pintu di sana rindu menuai rasa. Tirai-tirai jendela tersingkap, terbelalak melihat rindu berpeluh yang semakin menanjak saja. Dan ketika puncak siang rebah diganti keheningan malam, desah yang basah kembali membara.
Rindu yang dulu pergi membara di atas angin, kini menggesekan punggungnya di bukit cinta. Para pecinta tak akan lengah untuk mengabaikannya. Rindu yang melaju tanpa bantuan angin, kembali untuk menjenguk cinta yang pernah ada. Dan ia hanya bisa ditangkap oleh hati yang merekah, seperti yang membalut jiwa kami malam ini.
Di cafe ini angin rindu membelai rambutmu, seperti dulu saat kau rebah di bahuku. Cinta adalah hembusan angin yang menyelinap ke hati, seperti kecupan di kegelapan dalam rintik dan bulir yang basah membasuh dahaga. Di sini angin masih terus mengobati rindu, membelai rambutmu, dalam dekapanku.
Untukmu yang masih merindu, malam ini cinta akan pulang, pastikan saja hatimu kosong, karena ia tak mau kembali pada hati berpenghuni kecemburuan. Banyak pecinta hanya sekedar mencintai, ia tak paham wujud rindu yang kasmaran, hingga tak tahu memenuhinya, ia akan tetap kerdil dalam rasa yang itu-itu saja.
Banyak diantara pecinta hanya sekedar mencintai, belum menjadi cinta, seperti kamu yang mengharapku kembali dengan sepotong hati yang retak. Cinta bukan perban untuk hatimu yang luka, tapi obat bagi rindu yang malang di ujung malam. Kau tidak akan mampu memaknai rindu sampai benar-benar merasa kesepian. Rindu akan terus datang dan pergi, tapi cinta tetap abadi.
Cinta tidak datang dari pusaran kebencian untuk membunuh kerinduan, tapi rindulah yang membangun mahligai tempat cinta kembali. Ia membujuk rasa untuk tidak ingkar akan janji, kemudian rindu itu sendiri membungkuk takjub dengan kerelaan pada kaki cinta, memagari hati menjadi taman tempat bersemi, hingga cinta tersesat di dalamnya, tak tahu jalan untuk pergi. Saat itu kamu hanya perlu setia, agar cinta betah bersemanyam di dalamnya.
Kini untaian rindu bergulir di atap malam, bersenggama dengan angin lalu, membuat sebuah cinta merenungi rindu, yang bergelantungan di pucuk kenangan. Tapi, yang kutemukan hanyalah bayangan silam, hampa dibalut mimpi. Dan, mata rebah juga akhirnya dalam selimut penuh bunga di bilik hayalan.