In the Field: Mengarungi Samudera ke Pulau Banyak

in #indonesia7 years ago (edited)

image

Salah satu kawasan yang paling sering saya kunjungi adalah Kabupaten Singkil. Dalam beberapa tahun terakhir, saya selalu menyempatkan diri ke Singkil. Dari Singkil saya pernah ke Barus, sampai ke Papan Tinggi. Dalam satu perjalanan untuk kepentingan penelitian, saya mendapat tawaran dari sahabat saya di Singkil untuk ke Pulau Banyak. Saya pernah dengan pulau ini karena beberapa mahasiswa dari Singkil menceritakan tentang pulau ini.

image

Katanya harus naik boat sampai 5 jam untuk sampai ke Pulau Banyak. Biasanya, mereka berangkat sekitar jam 11 pagi sampai sore di Pulau Banyak. Belum lagi berbagai cerita tentang kecelakaan di tengah-tengah samudera. Kecil harapan untuk bisa selamat. Cerita ini membuat saya penasaran, karena kota Singkil yang baru dimekarkan memang tidak semeriah Kota Rimo dan Kota Subulussalam.

image

Kali ini kami bepergian ke Pulau Banyak secara berombongan. Rasa penasaran saya mengalahkan ketakutan saya akan cerita badai di tengah laut, ombak yang kadang menampark dinding boat, serta kemungkinan tidak bisa kembali karena cuaca. Pengalaman tidak bisa kembali karena cuaca pernah saya alami ketika saya ke Simeulue. 5 Hari saya sangkut di Simeulue, karena pesawat tidak bisa mendarat di Bandara Lasikin, akibat dari cuaca yang tidak bersahabat.

Setelah semua persiapan selesai, kami pun keluar dari Pelabuhan Laut di Kota Singkil. Boat pun menysir di atas desiran ombak-ombak bibir kuala. Oleh teman dari Singkil diceritakan akan kampung Kuala Baru yang bisa disaksikan dari boat. Konon, katanya madu Kuala Baru adalah madu yang sangat lazazit. Beberapa kali saya dihadiahi madu dari Kuala Baru. Perjalanan menyisir ombak di pagi hari memang sangat menyenangkan. Cuacanya sangat bersahabat. Nakhoda menceritakan kepada saya bagaimana dia mengetahui arah Pulau Banyak melalui kompas. Saya tanya berbagai hal mengenai suka duka menjadi nahkoda. Ombak, arah angin, perubahan cuaca tiba-tiba, seperti hujan adalah cerita yang menegangkan. Mereka sering membantu nelayan yang kecelakaan di tengah samudera. Salah satu penumpang menceritakan kalau ada yang musibah, mereka diminta untuk tidak mematika sinyal hape. Dari koordinat sinyal HP, mereka bisa mendeteksi posisi kecelakaan. Kalau tidak sinyal, maka agak susah diselamatkan.

Saya membayangkan samudera ini yang amat luas. Bagi saya, perjalanan menggunakan laut memang bukan pertama kali. Dulu, ketika tiket pesawat agak berat bagi kantong kami, perjalanan laut adalah pilihannya. Ke Pulau Pinang, kami tempuh melalui laut dari Pelabuhan Belawan. Dalam masa 5 jam speed boat sudah merapat di Pelabuhan di Kota Pulau Pinang. Demikian pula, pernah naik kapal Kelud dari Medan ke Jakarta, ketika masih menjadi mahasiswa.
Aroma pelabuhan, mulai calo, preman, petugas yang menjual tempat di dalam kapal, penjaja makanan, copet, toilet yang tidak bersahabat, segala sesuatu harus saling berebut. Itulah kenangan naik kapal laut. Setiap saat mata harus awas dengan orang di sekeliling kita. Pengalaman naik kapal penumpang juga pernah saya alami dari Singapura ke Batam, setelah itu ke Jambi juga menggunakan boat penumpang. Preman yang merebut tas penumpang, berbagai penipuan di pelabuhan adalah pemandangan yang tidak bisa dilupakan. Uang receh harus disiapkan secara cepat dalam kondisi apapun.

Perjalanan kami tidak langsung ke Pulau Banyak, melainkan kami ke suatu pulau di sekitar Pulau Banyak, yaitu kampung Suka Makmur. Kampung ini dibangun oleh mantan Bupati Singkil. Penduduknya tidak banyak. Mereka menggunakan robin untuk belanja ke Pulau Banyak. Setelah itu, kami singgah di suatu pulau yang sama sekali tidak ada nuansa Aceh disitu, karena dihuni oleh pendatang dari Nias yang sudah turun temurun. Penduduknya agak ramai. Mereka tinggal saling berdekatan antara satu sama lain. Setelah dari pulau tersebut, kami ke Haloban. Saya selalu salah menyebutkan, karena saya ingat Balohan yang ada di Pulau Sabang.

image

Di Haloban juga terdapat penduduk. Mereka hanya menggunakan satu jalan saja. Di situ ada penginapan. Keadaan masyarakatnya sangat beragam, berbeda dengan pulau sebelumnya. Haloban memang sering dikunjungi oleh wisatawan. Setelah makan siang, kami di ajak ke pulau yang sempat viral di alam maya, yaitu Pulau Palambak. Pulau ini sangat indah sekali. Tidak ada pulau seindah ini, yang pernah saya tapaki.
Kalau hari Jum’at dan Sabtu banyak wisatawan lokal yang bermalam di situ. Salah satu peringatan penting dari kawan kami adalah nyamuk di Palambak adalah nyamuk yang paling dahsyat. Katanya, Rambo sekalipun akan kalah dengan nyamuk di Pulau Palambak. Saat itu, ada turis asing yang sedang menikmati liburan. Listrik tidak ada. Penduduknya sedikit. Penjaga penginapan menceritakan bahwa pemerintah sama sekali tidak “kenal” dengan Pulau Palambak.

image

Kami menikmati keindahan sore hari di Pulau Palambak. Kelapa muda tinggal dipetik. Mie adalah menu favorit. Pasir putih menghiasi di depan mata. Pulau ini merupakan pulau kedua terluar, setelah Pulau Bengkaru. Dikatakan bahwa di Pulau Bengkaru sering disinggahi kapal pesiar. Setelah pulau itu, maka mata kita akan tertuju pada Samudera Hindia. Begitulah luasnya negeri Aceh ini.

image

Sore hari kami sampai ke Pulau Banyak. Rasa penasaran terpuaskan. Kami sampai ditunggu dengan makanan khas Pulau Banyak. Malam hari kami bersilaturrahmi dengan masyarakat setempat. Masjidnya bersih. Pasarnya persis di depan masjid. Pulau ini bisa dikelilingi menggunakan sepeda motor. Saya sempat keliling, waktu tempuhnya hanya 15 menit. Karena penasaran, saya pun keliling pulau banyak berkali-kali. Penduduknya sangat bersahaja. Harga barang tidak jauh beda dengan di Singkil.
Sekali lagi, wisatawan asing pun terlintas di depan penginapan kami. Masyarakat agaknya sudah terbiasa dengan pemandangan baju-baju wisatawati. Pagi hari saya keliling di tepi pelabuhan. Kami menikmati Lobster yang dihasilkan oleh pemburu Lobster. Mereka adalah yang menggantungkan nasibnya pada tangkapan Lobster. Jam 3-4 pagi mereka sudah memburu Lobster. Tidak ada perangkat yang canggih. Semua karena kebiasaan. Ada juga yang tidak kembali-kembali. Hasil tangkapan kemudian dijual ke seorang pengusaha setempat. Saya lihat tangkapan nelayan tersebut hari itu dijumlahi seharga 150 ribu rupiah. Sambil menghisap rokok, nelayan menceritakan suka duka memburu Lobster. Kalau tangkapan lagi bagus, mereka bisa tersenyum, kalau sebaliknya, maka pengehasilan sehari sebelumnya, diandalkan untuk hari ketika mereka tidak berhasil.

image

Perjalanan ke Pulau Banyak memang pertama kali saya lakukan. Keesokan harinya kami kembali ke Singkil. Sebelum kami pulang, kami diajak keliling pulau via tempat laut. Ketika speed boat mulai menyisir kembali di atas air laut. Awan mulai menghitam. Petir mulai bersuar. Ombak mulai bergelombang. Penumpang mulai tegang. Kami saling berpegangan pada apapun. Semua saling menatap mata antara satu sama lain. Air ombak mulai masuk ke dalam speed boat.

Nakhoda yang sudah berpengalaman pun sibuk menyeka air laut dengan handuk. Dia tetap fokus, walaupun ombak sudah mulai menampar sisi speed boat. Ketegangan mulai memuncak ketika hujan tidak berhenti. Hanya doa yang kami panjat. Selama perjalanan pulang, tidak ada yang berceloteh. Semua pasrah. Namun, kami mulai lega ketika melihat areal pepohonan dari samudera di Kuala Baru. Setelah itu, rombongan mulai tersenyum. Sang nakhoda menceritakan bahwa kalau pulang di sore hari, apa yang dialami di tengah-tengah samudera adalah hal yang lazim.

Selamat Tinggal Pulau Banyak!

K. Bustamam-Ahmad

Sort:  

Senang sekali membaca Prof KBA sudah ke Pulau Banyak. Saya asli orang Rimo, tapi sudah berdomisili di Aceh Besar. Pulau Palambak memang indah, juga Tailana... Beruntung sekali Prof sempat berkeliling di Haloban. Kalau dikelola lebih serius lagi, Pulau Banyak bisa jadi destinasi wisata nomor satu di Aceh.

Saya merasakan ada magnet ilmu, perdagangan, dan hutan yang melimpah ruah. Sayang....

Benar sekali, Prof... butuh seorang pemimpin visioner untuk Aceh Singkil. Kami sangat merindukan hal tersebut.

Masih niat ke p banyak