Tidak sedikit yang mengatakan bahwa kemajuan Aceh masih jauh dari harapan. Keadaan ekonomi terpuruk. Situasi pendidikan tersungkur. Gejala sosial membara dengan lautan shabu-shabu di kampung-kampung. Angka kemiskinan selalu diproklamirkan sebagai provinsi yang paling miskin. Apapun tentang Aceh, tampaknya tidak ada yang membahagiakan. Bahkan angka korupsi tidak dapat diragukan kalau terus menanjak.
Pada saat yang sama, ribuan anak muda Aceh tersebar di seluruh dunia. Dalam beberapa olimpiade sains, jarang anak Aceh yang tidak menang. Beberapa pemuda Aceh telah mencatat prestasi di level nasional dan internasional. Dunia literasi pun sudah mulai bangkit. Tali solidaritas orang Aceh terhadap isu-isu kemanusiaan selalu berada pada nomor wahid. Intinya, keadaan terkini masyarakat Aceh dalam hal-hal positif pun selalu membuat merinding, ketika kita menyimak berita-berita positif.
Ketika menoleh ke arah lain, maka situasi masyarakat Aceh yang kerap teradu domba pun tidak dapat dipungkiri. Konflik kepentingan antara legislatif dan eksekutif, selalu mewarnai berita tentang Aceh. Konflik atas nama pemahaman agama pun selalu memisahkan persaudaraan sesama orang Aceh yang juga beragama Islam. Perselisihan muncul karena persoalan ritual dan spiritual, yang kerap mencitrakan orang Aceh seolah-olah tidak dapat berdamai antara satu sama lain.
Ketika menoleh ke jendela lainnya, tampak anak-anak Aceh sudah banyak yang hapal Alquran. Tidak sedikit dayah yang membuka perguruan tinggi. Kampus mulai menciptakan suasana kedayahan di dalam membina mental keagamaan mahasiswa. Aceh pun memiliki kampus negeri yang tidak kalah dengan provinsi lainnya. Tidak sedikit warga dayah yang sudah mencapai derajat doktoral dari berbagai perguruan tinggi.
Di Aceh,setiap beda harus dikonflikkan. Setiap yang tinggi harus direndahkan. Setiap aib harus didedahkan. Setiap salah harus dikalahkan. Setiap yang pintar harus dibodohkan. Setiap yang maju harus dimundurkan. Setiap yang strategis, harus dibuat ditangiskan. Setiap yang bijak harus dibajak. Setiap kebaikan harus ditaikkan. Setiap kemajuan harus dipertanyakan.
Sebaliknya, di Aceh setiap yang subur harus digadaikan. Isi minyak mentah diambil orang. Isi tambang disikat perusahaan. Hutan diratakan. Tanah dan air jauh dari kata kekuasaan oleh orang Aceh. Sawah telah ditokokan. SK PNS pun disekolahkan. Akhirnya, orang Aceh jadi penonton di negeri sendiri. Minyak goreng dan telor didatangkan. Namun minyak bumi dieksporkan oleh orang.
Tetapi orang Aceh tidak sengsara. Ke Tanah Seberang mereka berobat. Ke provinsi tetangga menghamburkan uang. Makan selalu di restoran. Walaupun tertekan oleh keadaan, makan harus berselera. Pakaian harus bermerek. Kata hemat jauh dari pikiran. Kendaraan mewah selalu menjadi tontonan. Gaya bicara selalu seolah-olah terdepan.
Gaya hidup petani berubah hedonis. Jual hasil kebun beli kendaraan. Beli jabatan untuk kekuatan. Sogok sana sini untuk menunjukkan berani. Korupsi sudah mentradisi. Masuk bui cuma sekali, ahli famili yang akan subsidi. Patologi sosial sudah menunjukkan diri. Akhirnya, salahkan diri, ketika derita menghampiri.
Kalau kalah lihat sejarah. Kalau marah lupa akar masalah. Kalau parah tidak tahu arah. Kalau buang sampah harus diserapah. Kalau kerja cepat lelah. Kalau minta upah sambil menyumpah. Kalau salah selalu cari helah. Kalau cari rezeki lupa dengan berkah. Kalau sudah bermasalah cari celah. Kalau sudah musibah, baru muncul kata Allah.
Begitulah narasi Aceh masa kini. Damai jadi kata sakti. Pemerintah harus selalu memberi. Dewan harus selalu mencaci. Anggaran menjadi kata kunci. Sanak famili diberi hati. Masuk kerja lewat jalur mandiri. Kekuatan alumni untuk mengkooptasi. Kekuatan etnik tidak bisa diatasi. Kekuatan hati tidak pernah diberi fungsi. Ketika salah dalam memberi, cari dukungan untuk memaki.
Budaya untuk resepsi. Simbol untuk atraksi. Makna dan substansi jauh dari hakiki. Tarian untuk unjuk kecantikan. Pagelaran untuk habiskan anggaran. Ilmuwan jadi sandaran. Agamawan jadi rujukan. Politikus cari kesempatan. Rakyat berada dalam kesempitan. Dialog dengan masyarakat untuk basa basi. Membantu hanya untuk cari sensasi. Begitu negeri tumbang, baru cari Rabbi.
Celotehan di atas adalah simpulan di dalam melihat Aceh dalam konteks kekinian. Ada harapan di sana. Namun begitu menjadi kekuatan, selalu dibenamkan kembali. Konsep-konsep masih diletakkan di lemari. Kantor pemerintahan kerap sepi. Terminal bus menjadi teman main sapi. Di kampus ditambah dengan penjiplakan skripsi. Di warung kopi, orang Aceh bermimpi.
Menyalahkan Jakarta sudah purna. Memuji peran luar negeri tidak lagi berguna. Kembali ke masa lalu pun telah sirna. Melukis masa depan dianggap hana (tiada). Karena itu, menjadi orang Aceh harus jalan di tempat melalui filosofi menggaris bubur kanji pakai sendok. Garis terbuat, namun dia akan kembali ke keadaan semula. Demikian pula, pola berjalan berkemajuan memakai filofosif bunyi tampi beras yaitu ata ata set (itu-itu saja).
Inilah kesan selama 10 tahun sudah menjadi penonton di Tanah Rencong. Harapan untuk memajukan generasi muda selalu ada. Harapan untuk membuka jalan bagi generasi tua pun tetap terbuka. Saya meliha orang Aceh saat ini mau belajar dan belajar. Tetapi, ketika ada di ujung, selalu tersungkur. Konsep digali. Ketika diuji tinggal di dalam arsip. Hasrat membangun berlandaskan angka. Sedangkan membangun jiwa selalu absen.
Saya selalu mencari titik masalah, dari diri sendiri sampai orang lain. Masjid selalu penuh. Orang di kantor sangat patuh. Pemimpin sulit dijadikan tempat berteduh. Agama sebenarnya tidak runtuh. Kepada ulama, rakyat patuh. Namun, mencari orang yang berkharisma sangatlah luruh. Mencari orang bijak apalagi, selalu luluh. Mencari orang baik selalu melakukan teluh. Akhirnya, negeri menjadi rapuh.
Akhirnya, sebagai pengkaji Aceh dari dekat, mewajibkan saya untuk netral. Ketika ke negeri orang, saya baru sadar, Aceh saya belum melayang. Aceh belum hilang. Namun yang absen di dalam kehidupan orang Aceh adalah kecerdasan sosial, solidaritas untuk berjuang dalam pembangunan, menghilangkan filosofi “terlambat kaya,” dan selalu melihat masalah hanya dengan hitam dan putih.
Akibatnya, apapun yang direncanakan melalui materi, selalu menghamba diri pada posisi. Apapun yang direncanakan dengan nafsu, selalu mengakibatkan negeri tidak berpandu. Apapun yang direncanakan tanpa agama, selalu mengakibatkan negeri dalam dilema. Apapun yang direncanakan tanpa budaya, selalu menjadikan generasi dalam posisi bahaya.
Karena itu, gurauan ini jangan dianggap serius. Takut terbius, nanti pikiran tidak lurus. Saya hanya musafir ilmu, yang galau dengan negeri endatu. Bangkit dikatakan salah. Maju diingatkan akan cepat lelah. Jadi, tidak apa-apalah kalau saya menulis di Steemitiyyah, karena disini saya tidak terlihat memakai kopiah. Ceramah pun tidak pandai. Hanya menulis untuk memindai. Masa depan yang terus saya andai-andai.
Gurih banget tulisannya Pak, berima kalimatnya. Lantas apa yg harus kita perbuat saat ini selaku masyarakat Aceh?
Gak banyak Bu. Berusaha untuk lebih baik saja.
Nyan keuh nyan Aceh geutanyoe uroe nyoe Pak!
Sedih ta kalon. Karena generasi baru hana le U-Turn.
Sangat tercerahkan Prof.
Terimakasih. Ini hanya belajar nulis.
Izin share gure
Silahkan Abu. Syukran...
Aceh Lon sayang... Mulai melayang... 😂😂😂