Siapa yang tidak kenal dengan kata ‘comment’ atau ‘reply.” Dalam dunia maya, memberikan jawaban terhadap suatu status atau komentar adalah seolah-olah menjadi tren yang tidak dapat diabaikan. Bayangkan, orang selalu menanti komentar orang terhadap respon atau status di media sosial. Terkadang, komentar bisa melanjutkan persahabatan atau bahkan memutuskan tali silaturrahmi di media sosial.
Gejala ini seolah-olah menjadi hal yang lumrah. Saya selalu memperhatikan bagaimana sibuk berbicara, tetapi tidak matanya ke android. Dia sedang merespon dalam percakapan di media sosial. Tidak hanya itu,terkadang jarinya sudah hapal betul dimana posisi angka dan huruf. Adapun yang paling sakit adalah kita menunggu respon ketika kita telah merepon status orang di WAG. Sering kita merasakan tidak dihargai, walaupun respon yang kita lihat nantinya adalah cuma gambar jempol. Tidak sedikit mereka yang ahli di dalam memberikan respon terhadap status orang lain di WAG.
Saya mengamati, ada juga orang baru merespon kalau namanya disebut secara khusus. Dia merasa dihargai dari puluhan nama yang ada di WAG. Ada juga yang merespon seperti merapel gaji bulanan. Dia mencari waktu khusus untuk menjawab setiap respon terhadap statusnya. Ketika booming informasi di WAG tidak dapat terkendali, maka mata menjadi perih, karena sibuk menggeser ke atas screen untuk membaca isi WAG.
Bahkan, ada gejala untuk membenamkan satu respon atau komentar, ada yang menimbun dengan copy paste informasi yang bertubi-tubi. Hal ini yang saya rasakan ketika melihat booming informasi yang memakai angka sampai puluhan hingga ratusan. Sehingga WAG bukan lagi media saling berkomunikasi, tetapi menjadi sejenin resepsionis online. Terkadang, satu orang dapat berada di belasan group media sosial. Sehingga ketika dia copy paste informasi, maka kita akan menjadi lubang hitam dari informasi.
Etika sosial di media sosial memang belum begitu tersusun rapi. Sehingga dalam 24 jam kita akan membaca “resepsi online” bertubi-tubi. Satu lagi gejala yang menarik adalah ketika orang-orang hebat memberikan komentar. Maka dibawah komentarnya akan banyak sekali respon balik. Sebaliknya, jika orang yang memberikan/menuliskan komen, bukan orang hebat atau “kepala suku” di media sosial, maka sepi komentar. Dia seperti berteriak di padang pasir atau di gua. Dia hanya mendengar echo suaranya sendiri, tetapi ada respon sama sekali.
Saya memiliki hampir 30 group WAG. Kebanyakan orangnya tidak saya kenal secara pribadi. Demikian pula, saya tidak kenal dan tahu secara pribadi di dalam group tersebut. Sehingga, saya harus menyesuaikan dengan selera “kepala suku” di masing-masing WAG. Memberikan komentar serius, terkadang menarik untuk didiskusikan. Tetapi, diskusi serius di WAG juga kadang sulit dilakukan. Berdiskusi santai juga tidak akan terjadi, mana kala kawan diskusi, sama sekali tidak kenal secara pribadi. Akhirnya, saya membaca setiap group itu hanya orang-orang itu-itu saja yang berkomentar. Selain itu, hanya menjadi penyimak secara pasif. Padahal, penyimak pasif ini adalah komentator aktif di group yang dia kenali secara pribadi.
Inilah salah satu dampak dari media sosial. Kita kenal seseorang, tetapi tidak tahu akan watak dan karakternya. Sehingga, WAG menjadi semacam pasar obrolan yang sepi komentar. Begini contohnya, seseorang akan cenderung memberikan komentar, jika dia yang mengendalikan WAG tersebut. Seseorang akan menjadi penyimak pasif, karena khawatir komentarnya tidak akan sama sekali dibalas. Beberapa WAG yang saya hadiri, “kepala suku” terkadang harus bijak menyikapi group yang dia inisiasikan. Beberapa orang mengaku, tidak berani keluar WAG karena segan dengan “kepala suku.” Ada juga yang masuk ke WAG hanya untuk mengumpulkan isi pembicaraan untuk kepentingannya sendiri.
Gejala daripada “Sosiologi Komentar” ini jauh berbeda dengan gejala di dalam kehidupan nyata. Misalnya, di warung kopi, kita cenderung akan tetap berbicara dengan kawan semeja, walaupun kita berkawan dengan orang lain di sekitar meja kita. Dia hanya melambaikan tangan, jika ada yang menyapa. Meja warung kopi akan memberikan wilayah teritori percakapan. Di situ, fokus dan tertawa bebas dengan teman yang semeja.
Di WAG kita tidak akan bersikap seperti itu. Dalam satu waktu, kita akan merespon sekian pembicaraan di WAG. Respon itu dilakukan dengan mata dan ketikan. Kalau ada orang hebat yang komen, kita akan atur tatabahasa yang bagus dan baik. Terlebih lagi, jika ada berita kematian, maka wajib menulis kalimat innalillahi wainna ilayhi rajiun. Demikian pula, jika ada permintaan sumbangan, menjadi tidak enak kalau tidak menyumbang, walaupun pada saat yang sama, kita telah menyumbang di tempat lain. Berita kebahagiaan, sang pengirim berita akan mengecek siapa saja yang merespon berita bahagianya. Saya pernah harus menghentikan kendaraan untuk mengucapkan selamat atas kebahagiaan seseorang. Saya khawatir, jika besok saya ucapkan, maka ucapan saya tidak akan lagi berasa di perasaan pengirim.
Bahkan tidak menutup kemungkinan saya harus mencari lagi keatas, siapa yang memberikan kabar duka dan kabar suka. Walaupun secara fisik, saya sudah pergi ke tempat yang sedang mengalami suka atau duka. Demikianlah kekuatan suatu komentar di alam maya. Kalau anda tidak komen, maka itu akan mengurangi reputasi anda sebagai warga netizen. Bahkan, tidak jarang orang meminta diberikan komentar atas karyanya. Karena komentar itu akan menaikkan penghasilan dan reputasi seseorang.
Sebagai peneliti etnografi virtual, memahami perilaku orang bermedsos adalah hal yang menyenangkan. Terkadang kita melihat orang tertawa sendiri saat membaca komentar. Ada yang sedih dan ada pula yang merinding. Saya selalu mempelajari bagaimana kekuatan dan kecepatan seseorang mengetik komentar, jika komentar tersebut tertuju kepadanya. Merespon dengan semangat adalah yang baik.
Sekali lagi, ini adalah hasil kajian virtual etnografi, dimana saya mungkin sebagai pelaku di dalamnya. Saya sering menghitung dan bertanya, berapa menit untuk dua hingga tiga paragrap dia ketika saat memberikan komentar di WAG. Saat ini, group di media sosial semakin bertambah. Pola pengondisian komentar pun semakin banyak dilakukan untuk kampanye atau propaganda. Jadi, agenda etnografi virtual ini akan semakin menantang, manakala orang semakin banyak yang dia buat dan dia undang untuk bergabung di dalamnya.
Group media sosial telah menjadi ruang publik baru di dalam persahabatan sesama manusia. Ruang baru ini terus akan dibenahi di kemudian hari. Semoga WAG itu bukan memperbanyak kawan dalam bentuk kanal yang berbeda, tetapi kawan kita tetap sama. Demikian pula, saya memprediksi akan muncul etika baru di dalam dunia media sosial, termasuk dalam tatacara berkomunikasi. Jangan sampai kita bercakap di media sosial, saat ketemu untuk bercakap di realitas sosial, kita malah tidak saling kenal. Demikian pula, semakin banyak kanal persabatan bukan membuat kita harus stand by untuk terus merespon setiap kabar dari orang lain.
K. Bustamam-Ahmad
assalamualaikum pak ,,saya jadi bersemangat di steemit karena baru tau kalau bapak juga main di steemit..saya salah satu mahasiswa bapak di hukum pidana islam ..
Semoga ada manfaatnya. Beberapa teman juga sudah punya akun steemit...
Ya sangat luar biasa prof @kba saya resteem sekli. Ya
Makacih bang @irwandi.
Memang butuh kajian khusus. Karena ada orang yang sangat aktif di dunia maya, tapi tidak di dunia nyata. Ada juga yang sebaliknya.
Orang memang beda-beda. Hehe...
Justru karena berbeda, itu menarik utk dikaji. Kalau sama semua malah gak asyik.
Saya sangat setuju dengan hasil pengamatan Bapak. Sebuah komentar memang sangat berpengaruh di dunia maya. Saya tidak ingin mengatakan bahwa mereka menanti-nanti komentar dari berbagai pihak. Saya sendiri juga merasakan hal yang sama, namun...hanya di akun Steemit. Sebelumnya saya jarang menggunggah status, mengomentari, maupun menggunggah status.
Gak apa apa. Kadang komentar itu perlu utk memberikan semangat bagi yang menulis....
Menarik sekali pak, kalau Baudrillard melihat fenomena ini sebagai hiperealitas virtual. Sang-sang yang bak media virtual ka nyata that. Sehingga seseorang wajib bin harus menanggapinya dengan sesungguh-sungguhnya. 👍
Benar adanya. Makanya komentar itu mjd keharusan....
Ketika membaca postingan ini, saya sempat bingung dengan akronim WAG. Saya baca terus, berharap ada penjelasan. Mungkin ini akronim yang sudah sangat umum. Tapi sungguh tidak familiar buat saya. Lebih familiar akronim WAGs alias wife and girlfriend pemain bola, hehehehehe....
Akhirnya, dapat juga maknanay setelah @kba13 mengakui punya sekitar 30 WAG. Saya juga sama. Ada sekitar 30 WAG (mulai familiar neh), di gadget, tetapi tidak ada yang aktif 100 persen. Sebenarnya, tidak ingin dan tidak perlu bergabung dengan grup sebanyak itu. Tapi ada kalanya juga menjaga perasaan teman yang sudah memasukkan ke grup.
Alasan laiin tidak terlalu aktif di WAG adalah kesehatan mata. Karena sedang kena radang kornea, saya memilih tidak terlalu aktif membaca WA. Lebih baik menulis dan membalas komentar di Steemit saja.
Saleum Pak @kba13.
WAG itu pun saya dapatkan dari kawan. Mungkin nanti akan berkurang secara perlahan lahan model pertemanan ini ya Pak?
Menjaga perasaan pemilik akun nomor Wahid, menjaga perasaan kawan sendiri nomor Tsani.
Ttp WA telah berjasa memperlancar hubungan manusia saat ini. Banyak juga manfaat yg kita rasakan saat WA mjd tren 3 tahun terakhir....
Tanx Pak @ayijufridar