Dalam postingan kali ini, saya tertarik untuk mengupas salah satu artikel terbaru Henry A. Kissinger yang berjudul “How the Enlightenment Ends.” Artikel ini baru saja terbit pada 15 Mei 2018 oleh The Antlantic Daily.
Artikel ini juga dapat dibaca pada link berikut ini:
http://www.yerepouni-news.com/archives/398293
Bagi saya, artikel Kissinger ini menarik, sebab seorang penasihat pemerintah Amerika Serikat yang banyak berkiprah dalam bidang politik dan ekonomi, mengomentari kemajuan teknologi yang sedang terjadi di negaranya. Artikel ini dimulai dengan pendapat utama penulisnya yaitu: secara filosofis dan intelektual, manusia tidak sanggup menghadap kemajuan dalam dunia Artificial Intelligence.
Pada prinsipnya, beberapa postingan saya terakhir memang mengupas bagaimana perubahan di dalam dunia AI telah memberikan dampak yang tidak begitu baik bagi manusia itu sendiri. Budaya baru yang muncul akibat dari kemajuan internet, terlebih lagi dalam hal AI, telah membuat manusia seperti yang ditegaskan oleh Kissinger, yakni " human society is unprepared for the rise of artificial intelligence." Tentu saja, ini agak mengejutkan bagi saya, terlebih lagi setelah saya mengupas buku Henry A. Kissinger dan pandangannya terhadap perkembangan Tatanan Dunia (World Order).
Maksudnya, mengapa Kissinger begitu prihatin dengan kemajuan AI yang sedang dinikmati oleh negaranya? Ketika mengomentari perubahan di dalam dunia cetak, Kissinger menulis:
Heretofore, the technological advance that most altered the course of modern history was the invention of the printing press in the 15th century, which allowed the search for empirical knowledge to supplant liturgical doctrine, and the Age of Reason to gradually supersede the Age of Religion. Individual insight and scientific knowledge replaced faith as the principal criterion of human consciousness. Information was stored and systematized in expanding libraries. The Age of Reason originated the thoughts and actions that shaped the contemporary world order.
But that order is now in upheaval amid a new, even more sweeping technological revolution whose consequences we have failed to fully reckon with, and whose culmination may be a world relying on machines powered by data and algorithms and ungoverned by ethical or philosophical norms.
Pernyataan di atas menyiratkan bahwa kemajuan di dalam revolusi teknologi yang lebih bergantung pada mesin yang berisi data dan algoritma, serta isu-isu etika dan norma-norma dalam kehidupan manusia. Gejala ini memang sedang terjadi di dunia, dimana data manusia telah diubah menjadi produk, komoditas, bahan analisa dalam kajian intelijen, privasi manusia tidak ada lagi batasnya, data dapat dikelola menjadi suatu kekuatan dalam politik dan ekonomi. Bahkan, dalam tulisan saya yang berjudul Etika Global Dalam Peradaban Planetari, saya menyebutkan bagaimana dampak teknologi di dalam kehidupan manusia, khususnya dalam bidang etika.
Karena itu, secara kebetulan artikel Kissinger semakin mempertegas kegusaran saya terhadap kemajuan teknologi saat ini.
Selanjutnya, Kissinger mengungkapkan tentang bagaimana dampak internet pada manusia:
The Enlightenment sought to submit traditional verities to a liberated, analytic human reason. The internet’s purpose is to ratify knowledge through the accumulation and manipulation of ever expanding data. Human cognition loses its personal character. Individuals turn into data, and data become regnant.
Saat ini, semua data begitu penting. Informasi dapat dijadikan apa pun. Sekali lagi, apa pun. Era Pencerahan pada awalnya memberikan kekuatan akal pikiran pada diri manusia. Namun, seiring dengan kemajuan internet, khususnya AI, telah membuat daya analisa manusia semakin berkurang. Hal ini, disebabkan beberapa keputusan mereka dilakukan melalui data yang bertebaran di alam maya. Pekerjaan mereka lebih banyak dieksekusikan oleh mesin, ketimbang oleh akal pikiran manusia itu sendiri.
Sistem algoritma telah mampu memprediksi kebiasaan pengguna internet. Kebiasaan inilah yang kemudian menjadi komoditas atau produk yang dapat dijadikan sebagai penghasilan. Tentu saja, olahan dari algoritma tanpa memperhatikan etika atau norma, khususnya ketika tidak ada lagi izin , ketika seseorang atau perusahaan lain ingin menggunakan data seseorang dari kebiasaannya berinternet ria.
Selanjutnya, Kissinger juga menaruh harapan yang tidak begitu positif pada kemajuan AI. Dia menulis:
Heretofore confined to specific fields of activity, AI research now seeks to bring about a “generally intelligent” AI capable of executing tasks in multiple fields. A growing percentage of human activity will, within a measurable time period, be driven by AI algorithms. But these algorithms, being mathematical interpretations of observed data, do not explain the underlying reality that produces them. Paradoxically, as the world becomes more transparent, it will also become increasingly mysterious. What will distinguish that new world from the one we have known? How will we live in it? How will we manage AI, improve it, or at the very least prevent it from doing harm, culminating in the most ominous concern: that AI, by mastering certain competencies more rapidly and definitively than humans, could over time diminish human competence and the human condition itself as it turns it into data.
Saya ingin menandaskan bahwa dunia AI akan memangsa manusia itu sendiri pada satu saat, jika melihat komen dari Kissinger di atas. Sebab, ketika kemampuan manusia sedikit demi sedikit hilang, karena adanya AI, maka kreatifitas manusia secara perlahan pula akan berkurang. Demikian pula, kalau segala sesuatu dijadikan sebagai data, maka siraman data ini juga akan menimbun semua daya intelektual manusia, khususnya ketika dia berpikir sesuatu yang tidak sesuai dengan sistem AI. Saat ini, kondisi ini memang belum begitu terjadi, namun di masa depan, saya memprediksi, jika generasi sekarang tidak diajarkan filsafat atau ilmu-ilmu kemanusiaan secara simultan, maka diprediksi, mereka akan menjadi "Generasi Zombie." Mereka bergerak seperti Zombi. Mata ke arah android. Kemudian menatap orang sesekali. Lalu hidup dengan penuh otomatik.
Kissinger tentu tidak membicarakan tentang "Generasi Zombie." Namun, kegusaran dia dapat dimengerti, karena dia bukanlah seorang pakar teknologi, melainkan ilmuwan sosial dan humaniora juga sebagai seorang negarawan dan politisi. Dia telah menyaksikan bagaimana generasi setiap generasi tumbuh di dalam kancah perpolitikan di Amerika Serikat. Karena itu, dia juga prihatin ketika AI akan masuk pada rekayasa sistem perpolitikan di negaranya.
Kissinger menyebutkan ada tiga kegusarannya terhadap kemajuan AI:
First, that AI may achieve unintended results. Science fiction has imagined scenarios of AI turning on its creators. More likely is the danger that AI will misinterpret human instructions due to its inherent lack of context.
Second, that in achieving intended goals, AI may change human thought processes and human values.
Third, that AI may reach intended goals, but be unable to explain the rationale for its conclusions. In certain fields—pattern recognition, big-data analysis, gaming—AI’s capacities already may exceed those of humans.
Konteks, nilai, dan rasional adalah tiga hal yang tidak dapat ditembus oleh AI. Demikian menurut Kissinger. Dewasa ini, ketiga hal ini pun sudah berubah seiring dengan kemajuan AI di dalam menciptakan nilai, konteks, dan proses berpikir manusia. Dengan kata lain, bukan AI yang diubah sesuai dengan ketiga hal tersebut, melainkan ketiga hal tersebut dipengaruhi oleh AI. Dengan kata lain, AI telah memberikan pengaruh bagi kehidupan manusia di dalam memahami konteks, nilai, dan proses berpikir.
Di sini Kissinger menuturkan bahwa di dalam kemajuan AI ini, pada ilmuwan sosial dan filosof jarang sekali dilibatkan. Seolah-olah kemajuan AI saat ini adalah murni karena keahlian dari para saintis. Padahal, akibat dari AI tersebut lebih berdampak pada nilai-nilai kemanusiaan yang semakin tercerabut dari akarnya. Dalam bahasa Kissinger:
Philosophers and others in the field of the humanities who helped shape previous concepts of world order tend to be disadvantaged, lacking knowledge of AI’s mechanisms or being overawed by its capacities. In contrast, the scientific world is impelled to explore the technical possibilities of its achievements, and the technological world is preoccupied with commercial vistas of fabulous scale.
Dalam beberapa postingan terakhir, saya pun telah mencoba mengupas bagaimana dampak pemikiran filosofis tersebut terhadap nilai-nilai manusia. Beberapa seri tokoh, khususnya Isaiah Berlin, telah menunjukkan bagaimana sejarah ide-ide sangat penting dipahami dalam lintasan sejarah manusia. Jika manusia tidak memahami hal tersebut dan digantikan oleh AI, maka diprediksi nanti Internet akan menjadi "RAJA BARU" bagi manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Di akhir tulisannya, Kissinger menulis:
The Enlightenment started with essentially philosophical insights spread by a new technology. Our period is moving in the opposite direction. It has generated a potentially dominating technology in search of a guiding philosophy. Other countries have made AI a major national project. The United States has not yet, as a nation, systematically explored its full scope, studied its implications, or begun the process of ultimate learning. This should be given a high national priority, above all, from the point of view of relating AI to humanistic traditions.
AI developers, as inexperienced in politics and philosophy as I am in technology, should ask themselves some of the questions I have raised here in order to build answers into their engineering efforts. The U.S. government should consider a presidential commission of eminent thinkers to help develop a national vision. This much is certain: If we do not start this effort soon, before long we shall discover that we started too late.
Dua paragrap ini memberikan kesan bahwa sejarah panjang Amerika Serikat di masa yang akan datang, tampaknya sudah mulai berbelok, dari apa yang diinginkan oleh tokoh sekaliber Kissinger. Karena itu, dia menginginkan adanya sinergi antara sains dan ilmu sosial di dalam menanggapi persoalan kemanusiaan ini secara komprehensif. Agaknya, dia ingin membunyikan "lonceng" untuk membangunkan kita bahwa apa yang kita rasakan dalam era AI ini pada saatnya nanti akan merugikan manusia itu sendiri.
K. Bustamam-Ahmad
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://www.yerepouni-news.com/archives/398293
Congratulations @kba13! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
Award for the number of posts published
Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
Saya memprediksi, jika generasi sekarang tidak diajarkan filsafat atau ilmu-ilmu kemanusiaan secara simultan, maka diprediksi, mereka akan menjadi "Generasi Zombie." Mereka bergerak seperti Zombi. Mata ke arah android. Kemudian menatap orang sesekali. Lalu hidup dengan penuh otomatik.
---Nasihat yang baik
Makasih Abu Sayid. Orang maju telah berpikir tentang hidup serba otomatis. Kita malah belum habis masa menikmati kemajuan tsb.