Hampir semua #seritokoh dikupas tentang sosok lelaki. Kali ini tokoh yang saya sajikan adalah Prof. Eka Sri Mulyani (ESM). Biasanya saya panggil Bu Eka atau Bu Haji. Sosok ini saya kenal sejak tahu 2006, saat saya mulai studi doktoral di La Trobe University. Nama ESM memang sudah sering terdengar di Aceh, Jakarta, dan juga di beberapa negara, khususnya di Belanda. Ketika itu, saya sempat berchating via YM dengan ESM. Salah satu kalimat awal yang saya tulis saat chatting adalah “Ibu Eka Jenius!” Inilah kalimat yang saya ulang-ulang saat itu, hingga pada akhirnya kami bertemu di Banda Aceh, persis ketika ESM sudah mendapatkan gelar doktor di umur yang masih sangat muda. Kisahnya sebagai murid yang pernah loncat kelas selalu terdengar di kalangan akademisi di Darussalam, Banda Aceh.
Kerja keras. Pantang menyerah. Membangun relasi. Menghargai pendapat orang. Menahan diri. Tidak terlalu cepat mengambil keputusan. Selalu mencari celah. Berusaha maksimal dalam setiap presentasi. Hal tersebut adalah gambaran yang saya dapatkan dari sosok ESM. Agaknya, Aceh beruntung memiliki sosok ESM sebagai sarjana wanita yang amat luar biasa. Gaya bicaranya tenang. Prestasi yang amat luar biasa ini mengantar ESM menjadi Guru Besar pada dalam usia 37 tahun. Suatu prestasi yang amat membanggakan bagi Aceh.
Harus diakui bahwa saya segan dengan nama besar ESM. Kemana-mana orang menyebut sosok ESM. Masa studinya yang amat singkat. Kisahnya berangkat ke Leiden yang banyak mengundang decak kagum. Kiprahnya di dunia akademik di level internasional. Karyanya terbit di jurnal-jurnal internasional juga. Sangat menguasai forum. Emosi sangat terkendali. Pandai mengatur tata bicara saat berbicara dengan siapapun. Tidak pandang bulu ketika berdiskusi, siapapun ESM layani. Kesempatan apapun tidak pernah disia-siakan oleh ESM, asalkan sesuai dengan visi dan misi intelektualnya.
Dalam setiap forum atau acara apapun, saya berusaha untuk tidak berada sebaris dengan ESM. Karena itu, saya selalu menghindar jika diajak satu forum dengan ESM. Selama beberapa kali saya sempat berhasil menghindar untuk bersama satu forum dengan ESM, hingga kami pada satu kesempatan terpilih sebagai Young Muslim Intellectual in Southeast Asia. Program ini didanai oleh pemerintah Jepang, dimana dipilih sebanyak 6 intelektual muda dari Asia Tenggara untuk diberangkatkan ke Jepang.
Dalam perjalanan hampir dua minggu ini, saya kemudian banyak mendengar kisah perjuangan ESM dalam dunia akademik. Kegelisahannya dengan dunia akademik di Darussalam, Banda Aceh. Visinya membangun jaringan akademisi muda di Aceh. Semua harapan tersebut saya simpan dalam memori. Bagi saya, sosok ESM adalah sarjana yang sudah selesai dengan diri sendiri pada usia yang sangat muda.
Karena itu, kesibukannya sebagai istri, ibu, dosen, aktifis, dan ulama perempuan terus menjadi bagian dari rutinitas kesehariannya. Kadang dia ingin menjadi akademisi murni, tanpa jabatan. Namun, selalu saya katakan umat menanti sosok ESM. Sosok ESM adalah milik rakyat Aceh. Jadi, tidak boleh ditolak setiap permintaan atas nama umat. Diskusi kami sering terjadi, manakala ada keputusan-keputusan yang sulit hendak diambil oleh ESM. Saya hanya memberikan second opinion. Deringan telpon dari ESM selalu saya jawab dan kadang diskusi kami bisa 20 hingga 30 menit.
Di samping kesibukan sebagai salah satu pimpinan fakultas di UIN Ar-Raniry, ESM masih sempat meneliti, menulis, dan hadir di dalam berbagai forum sebagai narasumber. Puluhan negara sudah dijelajahinya. Kemunculan nama ESM pun semakin banyak di search engine. Kiprah ini memang menepis anggapan bahwa perempuan Aceh tidak punya nama di pentas nasional dan internasional. ESM telah memberikan satu spirit intelektual bagi wanita-wanita lain di Aceh. Tidak ada yang tidak mungkin.
Dewasa ini, beberapa doktor wanita di Aceh semakin meningkat naik. Mereka hadir dengan berbagai disiplin keilmuan. Adapun yang menjadi Guru Besar pun sudah mulai antri. Sosok ESM sudah menjadi catatan kaki di kalangan akademisi, khususnya di UIN Ar-Raniry. Fenomena ini menepis anggapan bahwa sarjana di Aceh hanya didominasi oleh lelaki saja. Sejauh yang saya tahu, di UIN Ar-Raniry, jumlah doktor wanita mencapai puluhan. Mereka terdistribusi di setiap fakultas. Bahkan di antara mereka ada yang menjabat dekan dan pusat studi. Hal ini sangat menggembirakan tentu saja bagi pengembangan keilmuan di Darussalam, Banda Aceh. Besar harapan saya, di beberapa tahun ke depan, akan banyak doktor-doktor tersebut yang berhasil mencapai gelar Guru Besar.
Sosok ESM adalah salah seorang peneliti sosiologi dan antropologi. Kajian etnografinya sangat mendalam. ESM terjun ke lapangan melakukan penelitian etnografi di salah satu pesantren di Pulau Jawa. Baru-baru ini, ESM juga melakukan kajian etnografi di Korea Selatan. Bahkan, ESM juga terlibat dalam penelitian di salah satu kawasan perbatasan di Aceh. Nama ESM pun meroket seiring dengan kesuksesannya bersama kawan-kawan di UIN melalui dana dari salah satu funding di Jakarta, melakukan program pendampingan terhadap satu kampung di salah satu kabupaten di Aceh. Program tersebut dikenal sebagai Universitas Masuk Desa. Menurut salah seorang sahib di Banda Aceh, program ini sukses di dalam mengangkat perekonomian masyarakat salah satu desa. Di bawah kepemimpinan ESM program ini berhasil mendapatkan beberapa HAKI dari Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Demikianlah ESM di dalam mewujudkan visinya membangun masyarakat tertinggal.
Karena itu, saya menginginkan mahasiswa untuk dapat menjadikan sosok ESM sebagai tokoh inspirasi dalam kepemimpinan, personal development, dunia akademik, dan persoalan relijiusitas. ESM juga berangkat dari kawasan Aceh Barat Selatan. Dia telah melanglang buana ke berbagai negara. Banyak onak yang dia hadapai selama ini. Namun, asanya untuk menjadi wanita mandiri tetap terlihat dari sosok ESM.
Sebagai sesama antropolog, saya ingin mengatakan bahwa ESM adalah Antropolog Wanita Aceh Pertama. Inilah satu satu kebangkitan dunia ilmu sosial di Aceh saat ini. Tidak sedikit yang ingin menceburkan diri dalam ilmu sosial. Terlebih lagi, ketika para peneliti Aceh tidak hanya mampu berbicara, tetapi juga mampu meneliti dan menulis, serta mempublikasikannya di berbagai tempat. Saya menduga spirit kebangkitan intelektual ini tetap terjaga. Dalam hal ini, akan banyak sosok semisal ESM yang muncul di Aceh di masa yang akan datang.
Postingan menarik. Saya mohon ijin prof @kba13 utk share link post ini ke group WA aktivis perempuan. Mudah-mudahan menjadi spirit baru mereka.
Silahkan Pak. Smg ada manfaatnya...
Makasih pak prof @kba13. Sudah saya share
Makasih Pak.
Nice post
Thanks. All the best. Please have a good weekend.
Postingan yang sangat inspiratif. Semoga kelak akan bertambah sosok yang sangat luar biasa seperti Ibu ESM, termasuk saya amin.... Agar Aceh lebih maju dan terus maju dalam segala bidang.
Hidup wanita! Para penerus Ibu ESM😂
Iya. Aceh perlu banyak sosok seperti ESM. Semoga ada yg mengikuti jejak ESM.
Amin....
Saya pernah bertemu Eka saat KKN di Nagan sekitar 1991, jika tidak salah
Saya dengar Bu Haji Eka pernah loncat kelas. Mungkin saat itu, Bu Haji masih di Tsanawiyah ya Pak?
👍