Mengapa saya di sini? Mengapa saya menderita? Mengapa saya pasti akan mati? Semua pertanyaan saya bernada serupa, karena tak satupun di antaranya bisa dijawab dengan cara yang biasa dipakai untuk memahami bagaimana dunia bergerak. Semua menuntut jawaban.
Agama terus bertahan karena ada gunanya, agama memang memuaskan serangkaian keinginan atau dikira memang seperti itu; tapi agama terus bertahan Karena punya akar-akar penyebab. Itulah pengharapan akan terpuaskannya rangkaian keinginan ini. Masing-masing, guna atau sebab, tidaklah cukup membuat agama bertahan. Hanya jika bergabung, dua-duanya memenuhi syarat-syarat yang cukup. Akar-akar penyebab agama harus dilihat dalam rangkaian keinginan yang memotivasinya. Dan kegunaan agama adalah kepuasan dengan terpenuhinya keinginan yang memotivasi itu.
Membaca tulisan saudara Irvan mulyadie yang diterbitkan di Koran Radar; sabtu minggu pertama bulan februari. Saya merasa begitu peduli terhadap judulnya yang menekankan pada sebuah ikon bernama kado cinta untuk sahabat; tentu ini ditujukan kepada objek relasi yang menjadkan tulisan itu berharga sebagai bentuk otokritik paling urgen dalam tataran kreativitas insan.
Ada sebuah kidung Navayo yang begitu tegas:
Pegunungan, aku menjadi bagiannya
Rerumputan, pohon fir, aku menjadi bagiannya
Kabut pagi, awan gemawan, air mengalir
Aku menjadi bagiannya
Gurun, tetes embun, kuncup bunga. Aku menjadi bagiannya
Kemungkinan terbesar, ketika irvan mengkaji konsep garap spiritual rekan teater dongkrak dengan TWK nya, adalah karena irvan merupakan bagian tersendiri yang menjadi korelasi penting untuk sebuah eksistensi. Pohon dan rumput sama saja, sama sama tumbuh dengan raga dengan rasa, jika kamu merasa perih, pening, linu. Berarti ada yang membunuh pohon atau rumput. Lambat laun, sedikti demi sedikit, kita makin lemah karena sekarat.
-Tidak bisa disangkal, bahwa agama merupakan penghiburan bagi yang sengsara, penyejuk bagi yang sakit, dan terkadang penghalang bagi yang jahat; karena itu, barang siapa hendak menggugat atau meremehkannya tanpa memberi pengganti yang sedikit banyak sepadan, patut diperlakukan sebagai musuh bersama-
Jikapun ini ada penyangkalan. Cukuplah kita berserah diri pada sang khalik, habis perkara karena ini memang selera. Namun tidaklah kita menjadi manusia pemikir jika kehendak untuk berefleksi dibatasi oleh kurangnya pemahaman kita. Apalagi melebar ke arah yang bukan pegangan kita.
Jawaban itu di mana?
Memasyarakatkan pengalaman ektase dan pencerahan hanyalah salah satu cara agama mempengaruhi kehidupan rakyat, pun seni. Yang lebih penting pada kebanyakan budaya modern adalah kemampuan agama menjawab serba pertanyaan muskil tentang tujuan hidup di dunia dan akhirat. Agama memberi jawaban, tapi jawaban itu tidak dapat dikukuhkan atau ditolak dengan pengamatan. Percaya adalah tindakan iman yang meti berasal dari sikap hidup yang sudah kita capai. Agama menyandarkan ketangguhannya ( resilence) pada serba kebutuhan yang dicoba dipenuhinya.
Kesimpulan dari refleki saya terhadap tulisan irvan yang sangat menarik ini, juga terhdap konsep garap spiritualnya TWK; apakah akan bertahan dalam jangka panjang? sebagai suatu daya hidup dalam masyarakat.? Bagai dongeng raksasa Alaihim yang mendapat tenaga dari air susu ibunya yaitu earth (bumi) agama tidak bisa dikalahkan oleh mereka yang membuangnya. Kelemahan spiritual naturalism seni adalah akibat tiadanya sumberdaya perdana yang sama kadar spiritualnya. Kendati mampu menjabarkan sumber-sumber rujukan biologis kekuatan emosional agama, seni dalam tahap perkembangannya sekarang ini tidak bisa memanfaatkan sumber-sumber terebut, karena teori keseimbangan menolak kreativitas orang-perorang. Seni mengisaratkan makna eksistensi kreativ bagi manusia; sejujurnya seniman tidak bisa berfungsi sebagai ulama. Tetapi setiap insan kesenian haruslah mampu bermakrifat dengan keseniannya dalam kegiatan imajinatif dan expreif yang menuju haq-haq ilahiah.
Seni pastilah sudah memberi sumbangan terhadap berhasilnya proses evolusi, tetapi bagaimana caranya? Kita pasti tidak punya jawaban pasti, tapi dugaan dalam masyarakat, seni pastilah bersentuhan dengan agama sedemikian rupa, sehingga keduanya sulit dipisahkan. Musik dan tarian prasejarah adalah seni yang dibuat untuk menghasilkan perburuan iman ( ini yang saya tangkap dari TWK) di dalam sana, saya melihat tapi tidak mendapatkan pengalaman kosmos, hanya sebatas konsep-konsep yang penting secara budaya dan makna-makna yang berdaya rangsang emosi.
Seni memang tidak bisa dipisahkan dari agama. Maka peran spiritual seni harus sama dengan peran spiritual agama. Peran itu harus sama, karena kendati mungkin telah mengembangkan kehidupan sendiri yang terpisah dari agama, seni masih tetap merupakan daya penyatu buat budaya dan sub budaya.
Seni seperti cinta, lebih mudah dialami daripada diberi definisi. Kebalikan dari agama, lebih mudah diberi definisi daripada dialami. Padahal harus sama.