Bungkus Kopi Para Wali

in #indonesia5 years ago

IMG_20200418_214507_719.jpg

Di Meureudu nenek saya dulu tidak menyebut bungkoh untuk kopi yang dibawa pulang. Tapi, "punjot". Dalam masa tanpa darurat sipil/militer dan PSBB, mereka dulu, orang tua Meureudu itu, apalagi yang nenek-nenek, setiap pulang berbelanja di kide, seperti berkewajiban membawa sepunjot kupi toko.

Di Meureudu, era 90-an yang paling saya ingat kedai kopi terkenal adalah warkop Samudera. Bulukat teucet, ruti puteh dengan selai untuk bulukat adalah andalan mereka sembari menyeruput kupi boh manok. Dan, menu ini hanya bertahan dari selepas subuh sampai jam sepuluh pagi lewat bacut. Itu pun kalau beruntung dapat meja kosong. Para nelayan yang menyandarkan boatnya di pasai Meureudu, sebagian besar ngopi di Samudera sekalian bagi upah melaut.
Nenek saya sering membeli kopi di sana. Kopi kental dengan gula yang lumayan banyak, kopi itu di simpan kadang dari pagi hingga jam pulang sekolah kami di pukul 14 sekian-sekian.

Foto bungkusan kopi ini mungkin karena pasal pembatasan sosial sedang berlaku hingga membawa kopi ke rumah menjadi trend kembali. Tapi saya yakin, sahabat saya @bookrak atau Reza ini, tradisi memunjot kopi sudah mengalir deras dalam jiwanya. Jiwa pengopi paling teguh iman kafeinnya. Bayangkan, dari masa menyeduh 2 kopimix sasetan dalam setengah gelas kopi pancong, ia sudah menguji diri. Bahwa minum kopi, adalah warisan. Walau dalam keadaan lambung perih akibat yang tak perlu disebutkan di sini.

Kasta tertinggi dalam tradisi memunjot kopi hanya diisi tak lebih berapa puluh orang. Level itu karena pergi memunjot kopi di warung terenak dan jauh dari kantor, komunitas dan tempat tongkrongan, tapi tak diminum sendiri; ada umat lain yang butuh kafein dari hasil jerih payah para pemunjot.

Betul-betul lelaku para wali.