Saya membeli rencong di pasar Aceh tahun 2013 lalu. Ukurannya sekira 30 cm. Harganya kalau saya tak salah ingat 70 ribu. Karena belinya bukan di toko souvenir Aceh, saya anggap saja ini bukan barang pajangan. Setidaknya, bisa saya pakai untuk mengupas mangga atau buah berkulit lainnya.
Sesampai di rumah, ketika saya keluarkan dari sarungnya, di mata rencong, diukir tulisan bismillah. Urunglah saya pakai untuk ngupas buah. Karena ada nama Allah di sana. Saya bertanya-tanya sendiri maksud dari ukiran bismillah itu. Sekedar untuk unik, magis atau sakral. Sampai sekarang saya tidak mengerti maksud dan tujuan ukiran itu.
Akhirnya, saya menyimpan dalam lemari bersama baju yang baru saya ambil dari laundry yang tentu saja wangi. Rentjong itu saya yakin sangat sepi. Bersama baju seorang diri.
Bagi orang Aceh, nama Allah tak bisa ditatah di sembarang tempat. Karena, atas alasan apa pun, nama Tuhan tidak bisa dibuat untuk main-main dan dijadikan merchandise juga diperjualbelikan. Kan, siapa tahu dibeli orang non muslim, kemudian karena ketaktahuannya, ini rentjong dibawa ke tempat-tempat bernajis. Kita saja bisa saja lupa dan membawa itu rentjong ke dalam toilet.
Atau, katakanlah digunakan untuk mengancam atau membunuh orang dengan rentjong bertuliskan nama Allah. Siapa yang disalahkan? Tuhan? Perajin? Pengukir? Mumang teuh.
Suatu waktu, saya pernah buat karya rupa berobjekkan rentjong. Ada beberapa seri gambar yang saya beri judul, "Rencong, Runcing:Rancu". Karya ini bicara tentang penggunaan rencong yang salah kaprah dan ikut-ikutan. Misalnya logo tim sepakbola, ada rencong. Logo kabupaten, ada rencong. Kurasa logo paguyuban mahasiswa kecamatan seluruhnya menggunakan rencong. Selain kurang penggalian ide dan malas mikir, penggunaan rencong yang meuroron itu, bentuk matinya alat imajinasi.
Kembali ke rentjong saya. Tadi, saya kembali mengambil rencong itu. Saya bolak balik perhatikan, desainer awal rencong ini pastinya punya pengalaman seni yang tak terjangkau orang-orang awam. Dan jangan pikir saya akan menjelaskannya dari sudut pandang filosofis. Saya tak mampu untuk itu. Tingkat ada ukiran bismillah saja, saya gak habis-habis mikir. Hingga saya poating saja di @steemit. Daripada pikiran itu kaluet saja dalam otak. Ya disalurkan.
Copyright @marxause - All Rights Reserved
Lisensi Creative Commons Atribusi-NonKomersial-TanpaTurunan 4.0 Internasional.
Sayang juga kalo dilemarikan. Di pajang aja pak di tembok
Bah wangi lam mari