Ketika kutuliskan puisi asmara tentang sulitnya jatuh cinta, aku tersedu sampai kertas basah air mata. Misalkan, aku menulis, "ratapku putus-putus bagai mau mati. Cinta mencekikku melalui tatapanmu."
Puisi tetap puisi. Sedih tetap sedih. Yang melampauinya cuma deklamator.
Suatu hari, ia membaca puisi jatuh cinta yang kupunya. Ia naik panggung dengan gagah bergaya penyair pengungkap kebenaran. Aku tahu itu pura-pura. Ia hanya seorang sarjana 3. Atau, S3. ia buka dengan suara terbata-bata bagai bocah merengek minta jajan. Jari tangannya terbuka di udara seperti penari memuakkan. Ia putar-putar tangan sebelah laksana pembuat canai.
Puisi dideklamasi hingga ke tengahnya. Orang diam pura-pura paham. Panggung bak gempa menerjang.
Suaranya meninggi seperti marahnya seorang pensiunan jenderal. Sementara puisiku bicara hati yang remuk digilas kekasih.
Yang marah kenapa, yang patah hati tak tahu gerangan sebabnya.
Deklamator pura-pura gila.
Posted from my blog with SteemPress : http://marxause.kanotbu.com/index.php/2018/11/16/yang-marah-marah-baca-puisi/