Independensi Media dalam Politik [5]

in #indonesia7 years ago (edited)

Contoh kebepihakan tersebut dalam pemberitaan dapat dilihat dari hasil pantauan Lembaga Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) yang menemukan sebanyak 14,29% berita di harian Sindo dari total 35 berita politik yang diteliti cenderung berpihak pada kepentingan partai politik atau organisasi massa.


indoors-3203076_960_720.jpg

Sementara itu, berita demikian juga ditemukan di harian Kompas yakni sebanyak 2,5% dari total 40 berita yang diteliti. Hal serupa juga terdapat di situs okezone.com yakni sebanyak 16,49% produk beritanya cenderung berpihak pada kepentingan partai politik. Berbeda dengan okezone.com, semua berita di kompas.com yang diteliti (125 berita) tidak berpihak.

Jika media kemudian memiliki keberpihakan politis, apa bedanya media di bawah rezim diktator dengan yang hidup di era demokrasi? Keberpihakan politis media terhadap rezim otoritarianisme didorong oleh keinginan untuk hidup aman, tidak diberedel.

Meskipun kemudian dari keberpihakan tersebut diperoleh pemasukan-pemasukan yang sangat dibutuhkan untuk operasionalisasi media sehari-hari.

Ini menunjukkan bahwa media juga merupakan aktor politik, meski masih berkisar pada publikasi-publikasi tertentu. Perannya bukan cuma “perpanjangan tangan dari aktor-aktor politik yang bermain”. Peran media melampaui apa yang bisa dikerjakan oleh partai politik melalui cara-cara konvensional. Bisa dilihat dari bagaimana elite-elite politik mengeluarkan wacana dan gagasan-gagasannya melalui media.

Namun media tak bergerak sendiri dalam memainkan peran politiknya. Ada kepentingan aktor-aktor politik dan pemilik modal yang membuatnya demikian. Mereka berlindung di balik topeng media untuk melakukan propaganda politik. Seperti dijelaskan Aghnia Adzkia,

“Saat momen-momen kritis pemilu, media berdiri di dua kaki: kaki kepentingan politik dan kepentingan ekonomi sang pemilik. Alhasil, berita tak lagi menjadi sebuah upaya mengungkapkan fakta, tetapi meracik propaganda, cenderung bias dan partisan. Di satu sisi, wartawan tak lagi menjalankan kewajibannya sebagai ‘neutral transmitter’.

Ia menjelma sebagai ‘prajurit’ yang menghamba pada ‘sang jenderal’ yang punya kuasa. Pengalaman pemilu yang baru saja usai menunjukkan betapa brutalnya media yang terbelah menjadi dua kubu. Efeknya bahkan masih terasa sampai sekarang.

Pada titik ini, publik yang menjadi tumbal. Konsekuensinya, pemahaman mengenai literasi media menjadi pegangan yang menentukan. Hanya dengan begitu, publik bisa mengambil remah-remah kebenaran di tengah tsunami kesimpangsiuran informasi yang terjadi”.

BACA JUGA :

Aghnia Adzkia, “Media sebagai Aktor Politik”, Pindai.org, 3/12/2014.


MASRIADI.gif

bersambung......

Sort:  

14,29% berita di harian Sindo
Kompas yakni sebanyak 2,5%
okezone.com yakni sebanyak 16,49%

news.detik.com berapa % bang .

Apa jadinya kalau mediapun sudah tidak netral. Jurnalis yang terikat kode etik tidak menjalankan fungsinya sebagai jurnalis, apakah diluar negeri media juga begitu pak @masriadi?

sy percaya masih byk media yg bagus begitu jurnalis yg bagus. tetap ada -oknum--di seluruh profesi. di luar negeri penyakitnya sama juga dengan kita di indonesia

Owh. Saya pikir jurnalis luar negeri lebih idealis, ternyata sama saja. :(

Media menjadi alat untuk melampiaskan ambisi dan nafsu kekuasaan, rakyat yang butuh pencerahan dan kebenaran akan berita menjadi tidak mendapatkan apa-apa.
Justru rakyat di ajak untuk ikut terlibat dalam provokasi.
Sumpah wartawan di langgar karena mengejar target berita up-date dan kepentingan pemilik televisi.
Kasihan rakyat..
Postingan yang apik dan sangat bermanfaat

praktiknya begitu, walau masih tetap ada yang bagus dan baik. jgn pupus harapan untuk terus memberikan kritik terhadap institusi media. karena medialah perpanjangan tangan publik utk mengawasi penguasa