PERDEBATAN panjang antara Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat tentang minyak bumi dan gas (Migas) serta bendera Aceh tampaknya tak kunjung berakhir dalam waktu dekat ini. Qanun bendera dan lambang itu telah disahkan oleh DPRA 2013 lalu dan hingga kini belum disetujui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Belakangan, Menteri Dalam Negeri RI, Tjahyo Kumolo menyatakan Aceh harus merevisi model bendera yang telah di-qanunkan itu karena bertentangan dengan PP tentang lambang daerah (Kompas, 7 Januari 2014). Saat ini, DPRA mengejar keterlambatan pengesahan APBD 2015. Praktis, belum membahas revisi bendera dan lambang Aceh itu.
Pemerintah pusat membarter revisi qanun bendera itu dengan dua Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Migas dan RPP Kewenangan Aceh. Barter politik ini akan menjadi “kerikil” dalam sepatu perdamaian Aceh. Ditambah lagi, saat Wakil Presiden Jusuf Kalla berkunjung ke Aceh dalam rangka 10 tahun tsunami baru-baru ini, tidak clear membahas RPP tersebut.
Maknanya, nasib kedua RPP itu tergantung bagaimana Aceh merubah model bendera yang persis sama dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tersebut. Kini, Aceh terjebak antara lambang dan Migas.
Secara lisan, Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf menyanggupi permintaan revisi bendera. Sikap parlemen Aceh tentang qanun bendera sangat ditentukan “fatwa” dari Koalisi Aceh Bermartabat yang mengusai 74 dari 81 kursi DPRA. Koalisi ini gabungan delapan partai politik besar yaitu Partai Aceh, Demokrat, PAN, Gerindra, Golkar, PKS, PPP dan NasDem.
Dari delapan partai itu, Partai Aceh memiliki 29 kursi di parlemen. Artinya, posisi Partai Aceh dan mitra koalisinya sangat menentukan, menerima atau menolak revisi bendera tersebut. Ingat, pengesahan qanun itu dilakukan secara aklamasi oleh seluruh partai politik (lokal-nasional) di DPR Aceh.
Di sisi lain, Partai Aceh kini mengalami dilema politik. “Perang” dingin antara Muzakkir Manaf (Ketua DPP Partai Aceh dan Wagub Aceh) dengan Zaini Abdullah (gubernur Aceh) bisa menjadi alasan partai itu menolak untuk merevisi qanun bendera tersebut.
Dimana, selama pemerintahan berlangsung, konon Wagub tak diberi kewenangan untuk terlibat dalam proses anggaran dan program pembangunan Aceh.
Selain itu, ketika kampanye Pemilu 2014 lalu, Partai Aceh menjadikan bendera sebagai isu perjuangan utama, bendera tersebut dianggap sebagai bentuk konkrit perjuangan Aceh untuk mandiri, mengatur daerahnya sendiri. Sehingga, jika Partai yang didirikan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu menerima revisi bendera, maka resikonya, partai akan kehilangan pemilih fanatik pada pemilihan kepala daerah 2017 mendatang.
Faktor lainnya, manyoritas mantan kombatan di kabupaten/kota mendesak DPP Partai Aceh untuk menolak tawaran revisi qanun bendera tersebut. Logika yang dibangun yaitu, RPP Migas merupakan amanah UU Pemerintah Aceh yang terabaikan sejak tahun 2008 silam.
Sebagai amanah UU, pusat wajib mengesahkan RPP tersebut dengan segala macam kekhususan didalamnya merujuk ke perjanjian damai Helsinki, bagi hasil migas 50 persen untuk Aceh dan 50 persen untuk pusat, kawasan lepas pantai 220 mil. Dukungan politisi kabupaten/kota semakin mengkristal untuk menolak tawaran revisi qanun bendera tersebut.
Jalan Tengah
Sejatinya, elit Aceh dan Jakarta harus segera mencairkan kebekuan dialog tentang RPP Migas dan qanun bendera itu. Logika berpikirnya adalah, RPP Migas akan mendatangkan dana berlimpah untuk provinsi di ujung Sumatera itu.
Dalam draf RPP Migas disebutkan bahwa Aceh dan pusat secara bersama-sama mengelola Migas Aceh, termasuk pemberian izin ekplorasi ditentukan di Aceh. Bukan lagi ditangan Kementerian ESDM.
Pemerintah pusat hanya menunjuk wakilnya dalam tim bersama pengelolaan Migas tersebut. Artinya, dana bagi hasil itu bisa digunakan untuk mengentaskan 837 ribu penduduk miskin dari 4 juta penduduk di provinsi itu (BPS 2014).
Bukankah berkah sumber daya alam, dan kehadiran pemerintah di sejatinya untuk kesejahteraan rakyat? Jika alur berpikir ini yang digunakan, maka merubah sedikit bentuk bendera Aceh bukanlah hal yang mustahil. Bukankah bentuk bendera juga telah dirubah dalam berbagai model stiker, baliho dan spanduk pada masa kampanye Pemilu tahun lalu.
Anggaplah menghilangkan satu garis putih dari tiga garis yaitu hitam-putih-hitam dalam bendera itu tentu masih memperlihatkan bentuk utuh bendera yang kerap disebut bendera bintang-bulan itu. Mundur selangkah untuk melompat tinggi dan mampu menyelesaikan persoalan domestik Aceh seperti kemiskinan, pengangguran, kematian ibu dan bayi dan lain sebagainya adalah jalan tengah yang patut dipikirkan.
Selain itu, pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh harus meningkatkan komunikasi politik tentang RPP Migas tersebut pada seluruh elemen di Aceh. Selama ini, kisruh barter politik RPP Migas dengan bendera itu terjadi karena banyak pihak yang tidak mengetahui isi draf RPP Migas tersebut. Jika membaca detail RPP itu, tentu posisi Aceh sangat diuntungkan. Aceh-jika tidak korup-akan menjadi daerah yang makmur dan sejahtera.
Kini, mari melihat sentuhan duet Jokowi-JK untuk menuntaskan kisruh RPP Migas dan bendera Aceh. Perang telah dilalui, apakah “kerikil” dalam “sepatu” perdamain Aceh harus dibiarkan dan membuat kaki bengkak dan bernanah. Mari selesaikan dengan jalan tengah, berpikir jernih demi Aceh bermartabat.
Belakangan, Menteri Dalam Negeri RI, Tjahyo Kumolo menyatakan Aceh harus merevisi model bendera yang telah di-qanunkan itu karena bertentangan dengan PP tentang lambang daerah (Kompas, 7 Januari 2014). Saat ini, DPRA mengejar keterlambatan pengesahan APBD 2015. Praktis, belum membahas revisi bendera dan lambang Aceh itu.
"Di sisi lain, Partai Aceh kini mengalami dilema politik. “Perang” dingin antara Muzakkir Manaf (Ketua DPP Partai Aceh dan Wagub Aceh) dengan Zaini Abdullah (gubernur Aceh)"
Lho? Gubernur sama Wakilnya perang dingin? Gimana itu Bang?
Bukankah nyaris semua gub dan wagub di Indonesia ini begitu. Jarang langgeng dan maju sama sama lagi di periode berikutnya.
Iya banyak yang tidak maju sama-sama lagi. Tapi kalau "perang dingin" nya sampai saling menghalangi kebiijakan (tidak menghormati), ini yang bahaya. Yg terjadi di Aceh sekarang tidak begitu kan Bang?
paling mereka tak saling berbagi, khususnya tak saling berbagi pendapatan. bukan pendapat ya haha. dimana mana juga begitu kan ya @setio
Hahaha Kehidupan partai punya kepentingan masing-masing ya
Congratulations @masriadi! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
Award for the number of upvotes
Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
Itu politik dalam geutiek (ketiak) dan dalam geunapiet (gendongan).
yg jqngqn politik di lungkiek pha...bisa bahaya bung mustafa