Lomba Layang tetap menjadi budaya masyarakat Aceh yang setiap tahun di gelar di berbagai daerah Aceh.
Ada perbedaan sistem kompetisi Layang tunang di Aceh, Aceh Besar dan sekitarnya menerapkan Sistem Pertandingan dengan memberi kesempatan Pemain untuk Menarik layangannya.
Sementara di Bagian Selatan Aceh, "geulayang tunang" menggunakan sistem tambang, dimana layang layang tersebut akan bersaing merebut tempat tertinggi semata mata karena pengaruh angin dan layang layang tersebut di ikat pada tempat khusus tanpa keterlibatan Pemilik Layang layang sampai waktu yang ditentukan.
Kedua model lomba tersebut menggunakan jenis Layang Elang sebutan orang Aceh, "Layang Kleng".
Perbedaan model lomba juga telah menyebabkan layang disesuaikan pada penggunaan rangka tengah layang.
Jika sistem tarik, rangka tengah lebih lurus sehingga lebih cepat untuk dipacu ketinggiannya sementara pada metode tambang lebih menggunakan layang dengan rangka tengah sedikit melengkung sehingga ketiadaan angin layang masih bertahan tidak mudah terjatuh (diklep: bahasa Aceh).
Mengambil tempat di seputaran tambak kering di Lambada Lhok, Aceh Besar. Lomba Layang Tunang memuat beberapa ketentuan :
- Ukuran rangka layang maksimal 36 cm, yang diukur dari posisi sayap atas dan sayab bawah.
- Benang nilon dengan panjang minimal 600 m yang terlebih di ukur ditempat khusus (dang : bahasa Aceh)
- Waktu mengulur benang 5 menit.
- Waktu masuk kedalam tempat berkumpul (Jok : Bahasa Aceh) 5 menit.
- Waktu tarik Layang 1 menit sekalian penentuan juara 1.
- Layang juara adalah layang yang tingginya melampui keseluruhan layang dibawahnya.
- Juara 2 ditentukan dengan memberi waktu mengulur benang 2 menit.
Ada beberapa aturan tambahan, dimana benang harus didaftarkan terlebih dahulu pada panitia dengan nomor yang ditempel pada gulungan benang (Padok : Bahasa Aceh), dan memberi tanda pada benang di ukuran 600 meter (tanda preh : bahasa Aceh)
[Jenis "padok" yang umum digunakan]
Kemudian ada tempat khusus yang diberi tanda agar pemain bersatu dan mudah dipantau oleh juri di satu tempat dikenal dengan "Jok", pemain yang di luar "Jok" tidak termasuk layang lomba.
Kemudian apabila layang-layang yang tidak searah atau terpisah dari kelompok maka tidak boleh diambil sebagai juara, karena juara harus ada lawannya sebagai pembanding.
Dalam proses penentuan juara, juri menggunakan kayu untuk melihat batasan layang sudah lewat keseluruhan atau tidak.
Lomba Layang Tunang atau " Geulayang Tunang" adalah sebuah budaya Rakyat Aceh dari masa Kerajaan dimana Pada masa itu Layang diperlombakan tetapi hadiah untuk juara disediakan oleh Raja.
Namun sekarang "Geulayang Tunang" harus didaftarkan pada panitia dengan biaya tertentu dan hadiah lomba adalah hasil pembagian dari sejumlah dana yang dikumpulkan dengan persentase 50 % untuk juara 1 dan 25 % juara 2 dan 25 % untuk Panitia Penyelenggara.
Apabila Budaya yang melekat ini dipertahankan dengan sistem hadiah di atas sungguh terkesan adanya pembiaran pelanggaran syariat.
Seperti halnya lomba Layang tunang ada juga lomba Adu lembu, sebagai Budaya yang terlahir sebagai "Piasan Raja Raja".
Antusias dari masyarakat dalam mengikuti Lomba Layang tunang dan menikmati hiburan rakyat ini seyogyanya dikelola dengan ada sponsor dan hadiah yang tidak terindikasi unsur perjudian.
Sungguh tragis di daerah yang menerapkan syariat Islam, budaya seperti ini tidak terakomodir dengan baik.
Congratulations @masripribumi! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP@masripribumi
Mainan jaman dulu
Like
Mainan ini sudah jadi budaya.