MATAHARI sudah lewat sepenggalah. Keringat mulai mengucur. Padahal, beberapa jam sebelumnya, tubuh masih menggigil dalam selimut di sebuah rumah di tepi Danau Laut Tawar, Takengon, Aceh Tengah.
“Ini pos pertama ke Burni,” ujar Iwan saat kami mengaso di sebuah bangunan tua. Sepintas, bangunan tersebut mirip musala. Letaknya di tepi kebun kopi, di kaki Burni Telong, gunung yang akan kami daki.
Namun, tak ada sajadah di musala itu. Beberapa bilah papan di dinding dan lantainya sudah keropos. Saya tak tahu apakah musala itu masih ada sekarang karena pendakian tersebut sudah lama terjadi. Tepatnya pada Februari 2008. Waktu itu, #steemit tentu belum ada. Status "raja medsos" masih dipegang Yahoo Messenger.
Di sekeliling musala, terlihat ladang tebu dan kopi. Sejauh mata memandang, gundukan bukit terhampar hingga ke kaki langit. Pemandangan itu kian melenakan ketika angin semilir menerpa ke balik punggung baju yang basah keringat.
Kecuali Iwan, ini kali pertama bagi kami bertiga mendaki ke Burni Telong. Dua sahabat saya yang juga ikut mendaki adalah Awenk dan Mike alias Munawar.
Sebelumnya, Iwan pernah beberapa kali mendaki ke gunung itu. Maklumlah, ia asli anak Gayo. Rumahnya di Kampung Dedalu, Takengon. Di rumah Iwanlah, kami menginap sebelum naik ke Burni.
Burni Telong salah satu gunung stratovolcano di Indonesia. Gunung yang berada di Kabupaten Bener Meriah ini salah satu spot terbaik untuk didaki. Lerengnya menyimpan hamparan edelwise, sang bunga abadi.
Teman saya, Arsadi Laksamana, dalam tulisannya di Lintas Gayo, menyebutkan Burni Telong berada pada ketinggian sekitar 2.600 meter di atas permukaan laut. Orang Gayo juga menyebut gunung itu dengan Burni Cempege yang berarti gunung penuh belerang.
Mencari jalur ke Burni Telong tak susah. Cukup turun di persimpangan Lampahan, Bener Meriah. Simpang tersebut berada di pinggir jalan lintas Bireuen-Takengon. Dari situ, menanjaklah melewati jalan kampung yang beraspal. Tak usah takut bakal bosan. Di kiri kanan jalan yang terlewati akan terlibat kebun-kebun nan asri.
Pagi itu, dari rumah Iwan kami berjalan kaki menuju terminal bus Takengon. Di situ, kami menumpang bus BE dan turun di Lampahan.
Rencana awal, kami ingin menumpang mobil kerabat Iwan agar diantar hingga ke musala tadi. Entah kenapa, rencana itu batal. Tak apa pikir saya, hitung-hitung menikmati udara segar perkampungan. Pikiran ini kemudian saya sesali hanya gara-gara satu perkara: anjing.
Begitu turun dari BE, yang terpampang di depan mata di luar dugaan. Sebuah jalan aspal kecil yang tanjakannya sungguh panjang menanti untuk didaki. Iseng saya bertanya, "Ada jalan yang landai, nggak Wan? Iwan hanya meringis saja. Sebagai pendaki yang tak berpengalaman, saya cuma ingin tiba secepatnya ke pintu rimba Burni. Melihat edelweis dan merebus mie di dalam nesting sepertinya itu sudah cukup buat saya.
Beberapa meter menanjak, jalur itu aman dari gangguan. Saya mengeluarkan kamera, menjepret apa saja, termasuk bunga-bunga yang bertengger di pagar kebun. Dari situ, puncak Burni terkadang bagus untuk dipotret.
Dari sebuah rumah, ada seorang ibu melihat ke arah kami. Yang nampak mukanya saja. Saya mengangguk dan tersenyum ke arahnya, mencoba ramah, tapi si ibu langsung beranjak. Seketika mukanya hilang di antara rimbun dedaunan. Untung pagi, coba malam ada pemandangan seperti itu, bulu ketiak saya pasti merinding.
Selang beberapa menit, gangguan pun datang. Dari celah pagar kebun, seekor anjing tiba-tiba keluar. Saat itu, saya berada paling depan. Melihat kami, anjing itu mengambil posisi duduk. Ia mengamati tanpa suara. Saya membidiknya lewat lensa. Iseng saja, sebagai kenang-kenangan.
Tanpa dikomando, dari celah yang sama, keluar lagi beberapa anjing lain. Jumlahnya sekitar enam atau tujuh. Mereka kini bergerombol.
Jakun saya turun naik. Ingatan masa kecil saat dikejar anjing sepulang mengaji tiba-tiba berdenting di kepala bagai bandul jam. Dulu, saat umur sekitar delapan tahun saya pernah hampir digigit anjing yang ukurannya cuma selutut. Insiden itu menyisakan trauma yang tak pernah terobati, duh. (Saya ceritakan lain kali saja soal ini, ya 😊)
Gerombolan anjing itu menatap tajam ke arah saya. Tanpa sadar, ketiga teman saya telah menyusul dan berada di belakang. "Jalan saja, nggak apa-apa," kata Iwan. Ia menyarankan, jika kawanan anjing itu mendekat, jangan lari. Jika lari tentu akan digigit. Soalnya, anjing-anjing itu itu akan menguji nyali para pendatang baru.
Saran itu saya iyakan tapi praktiknya jauh dari harapan. Betul kata Iwan, ketika kami melewati kerumunan itu, anjing-anjing tersebut mendekat. Saya gugup dan melipir ke pinggir jalan. Dari terkaan saya, ada tiga anjing yang mencoba menyasar saya. Mereka mulai menggonggong, yang lain menyambutnya. Sungguh teror yang luar biasa karena hanya saya yang panik. Ketiga teman saya itu terlihat tenang. Saya tidak tahu apakah itu mencoba tenang atau memang tenang. Yang pasti, posisi kami berada dalam satu barisan, mirip boyband yang sedang mencoba koreografi baru.
Di tengah kepanikan itu, saya mengambil sikap. Jika diserang, alat untuk membela diri hanya kamera dan ransel. Saya cengkeram lensa kamera erat-erat seperti memegang tongkat. Langkah kaki mulai cepat. Ada dorongan dalam diri untuk berlari saja. Ah, persetan anjing-anjing ini, pikir saya.
Saat keinginan berlari (dari kenyataan) itu begitu kuat, dari atas terlihat sebuah sepeda motor menuruni tanjakan. Suara knalpotnya meledak-ledak tapi pengendaranya terlihat anteng saja. Ia melaju agak kencang. Entah apa sebabnya, melihat sepeda motor itu, kawanan anjing itu bubar secepat kilat dalam gerakan mendadak. Mereka menghilang masuk ke dalam kebun.
Saya lega dan terduduk sembari ngos-ngosan. Sebuah interogasi telah terlewati. Dewa penolongnya adalah si pengendara motor yang sempat melongo sejenak melihat air muka saya yang kecut. "Ah cemen, sama anjing saja takut," begitu mungkin pikirnya.
(Bersambung, boleh ya ... 😬 )
RZ
Good post my friends
Thanks @sulaimankumbang
Foto anjinggnya mana??? hehe
Nggak ada lagi dimakan vairus hahah
keras virus daripada anjingnya berarti,,,, haha
Tapi lebih menakutkan anjingnya
Tulisan-tulisan renyah seperti ini harus lebih sering muncul di Steemit. Agar tulisan yang disajikan bisa dinikmati sampai habis. Yaa ampun, sok menilai saya, padahal @meja ini adalah guru menulis saya.
Makasih @ihansunrise atas apresiasinya, saya mencoba sebisa mungkin agar tulisannya seperti keripik hihihi. Tulisan ini mengandalkan ingatan yang alakadar. Harusnya lebih detil lagi, kan
ala kak dar aja gini yaaa..... gimana kalau ala bang wandi hihihihi
Hahaha
Cukup kak dar saja. Kalau ala bang wandi bahaya, bisa keluar kata bukuem dan teman-temannya. Wkkw
Doa kah nyan rief, ka rhet pesawat uroe nyoe 😢
Teguran nyan 😁
Mak oi, tujuh? Kk ga takut anjing, tapi kalau tujuh sih.... nggak ikutan lah! Haha
Rz nggak takut kak, tapi trauma, mesti dirukiah dlu ni wkwkwkw
Senior pendaki sekaligus penulis senior, kalo sudah turun gunung dan menulis ya begini. Pingin baca lagi. Lagi dan lagi.. hehe
Pendaki buncit, cuma ingin pergi untuk merebus mie hahaha
Postingan yang bagus @meja mau baca lebih lagi, sepertinya sangat menyenangkan
Terimakasih @munazirpuwan, next time saya coba sambung lagi