(Sumber Foto Dok. Pribadi Bersama Buku Puisi Yang Memuat Puisi Saya Bersama Para Penyair Lintas Negara dari Berbagai Negara)
Terlahir di lingkungan pondok salaf dan nyantri di pondok kholaf bagian dari sisi kehidupan saya. Bagi saya ini adalah berkah yang patut disyukuri.
Bagi saya KH. Moh. Idris Jauhari tak hanya sebagai guru, ianya seorang pendidik yang asyik. Menyenangkan.
Saya termasuk murid paling nakal di antara sekian murid yang beliau miliki. Saya biasa mengirim puisi via sms ke no hp beliau.
KH. Moh. Idris Jauhari tak hanya tahu saya berasal dari Blega Bangkalan, saya orang Junglorong Sampang juga beliau tahu.
Saya diberi kamar khusus di sebelah kiri pintu utama Masjid Jamik Al-Amien agar saya shalat jamaah maghrib di masjid. Namun saya lebih memilih shalat di tiap gardu bersama para bulis (sebutan bagi penjaga keamanan pondok dari golongan santri), dari gardu ke gardu saya shalat jamaah maghrib sampai mushalla kiai.
Suatu ketika saya bersama KH. Moh. Idris Jauhari di mushalla khusus para santri biasa curhat. Banyak hal kami bicarakan. Mulai dari yang paling privat sampai dunia tulis menulis.
"Fron, kamu jangan bangga hanya memiliki teman yang penulis, mana buku puisimu?" Pertanyaan itu yang melekat dalam benak saya, di usia 9 tahun saya menjadi santri kiai.
(Foto Bersama KH. Moh. Idris Jauhari)
Saya hanya menundukkan kepala, tak berani menatap wajah kiai. Yang saya minta kala itu biarkan saya mengenalkan Al-Amien Prenduan lewat cara saya dan saya memilih puisi sebagai cara saya mengenalkan Al-Amien. Kiai Idris hanya tersenyum lalu mengamgguk.
Yang saya bawa pulang dari pesantren sewaktu boyong hanya buku puisi, buku cerpen dan buku novel. Ayah saya hanya geleng-geleng kepala.
Sampai KH. Moh. Idris Jauhari wafat tahun 2012 saya belum bisa menunjukkan buku puisi saya. Saya belum punya keberanian.
Beberapa tahun setelah kiai meninggal saya terus merenung. Sesekali saya menganggukkan kepala.
Ternyata kini saya sadar bahwa buku puisi yang ditanya oleh KH. Moh. Idris Jauhari kala itu adalah tiket bagi saya menjadi santri Al-Amien Prenduan.
Hanya dalam dunia puisi saya berani mengakui saya santri KH. Moh. Idris Jauhari. Saya mengawali karir baca puisi pertama kali dengan memakai baju khas Madura dan membacakan puisi dua bahasa (Indonesia-Madura) berjudul Sakera di Japan Foundation Jakarta (Agustus, 2011), saya katakan kalau saya alumni Al-Amien Prenduan dan di Sanggar Sastra Al-Amien (SSA) saya belajar menulis puisi.
Hanya dalam dunia puisi, saya menjejakkan kaki yang pertama kali di Malaysia tahun 2012 membacakan puisi saya di UPSI Perak Malaysia dalam lounching buku puisi Menyirat Cinta Haqiqi.
Di tahun yang sama, saya berkesempatan baca puisi di Rumah PENA Malaysia, di tempat ini pertemuan saya dengan Ahmad Sarju dan beberapa penyair tanah Malaysia.
Beberapa acara sastra yang berkaitan dengan puisi saya hadiri dan ikuti baik di dalam maupun luar negeri. Berkesempatan membacakan puisi di Kongres Penyair Sedunia ke-33 di Ipoh Malaysia (2013).
(Beberapa Aktivitas Saya Saat Baca Puisi Baik di Dalam Maupun Luar Negeri)
Saya terus merunduk jika teringat obrolan bersama Kiai Idris. Sayapun mulai berandai barangkali kalau KH. Moh. Idris Jauhari bertanya mana kitabmu? Barangkali saya akan banyak menulis kitab. Sayangnya hanya buku puisi yang ditanya maka yang bertebaran adalah karya puisi.
Barangkali seandainya KH. Moh. Idris Jauhari menyuruh saya pulang dan membangun pesantren mungkin saya sudah memiliki pesantren sendiri dan banyak memiliki santri.
Mengingat kebersamaan tersebut. Kerinduan saya semakin rimbun.
Saya pun semakin sadar bahwa apa yang ditanya atau disuruh seorang guru ketika pamitan adalah tiket bagi santri tersebut bisa menyatakan diri sebagai santri.
Saya bukanlah orang yang pintar. Bahkan selama menjadi muridnya adalah santri yang paling sering berdiri.
Pertanyaan kiai seputar mana buku puisimu, saya pahami bahwa dari dunia puisi saya bisa mengenalkan diri sebagai santri.
Dalam ilmu yang lain, saya belum bisa menyatakan diri sebagai santri Al-Amien Prenduan karena tiket tersebut tak pernah ditanyakan.
Dalam dunia puisi, saya pun hanya seumur pelangi, tak ada prestasi yang bisa dibanggakan tetapi paling tidak doa atau ucapan kiai semacam menjadi tiket saya resmi sebagai santri.
Akhir kata saya hanya bisa berucap terimakasih kepada segenap pihak yang telah mewarnai hidup saya, baik kepada keluarga besar Junglorong, keluarga besar Blega Bangkalan, keluarga besar Al-Amien Prenduan, keluarga besar Attholibil Ulum Paopale Daya Ketapang dan keluarga besar Attoyyibin Rabian, serta keluarga besar Sunser_317 (Sunsavista-Sanvalery), dan keluarga besar SSA, tanpa kalian saya bukan siapa-siapa. Doa kalian yang menjadikan hidup saya lebih bermakna.
Junglorong, 15 April 2018
Moh. Ghufron Cholid ||@mghufroncholid31
Biodata Penulis
Moh. Ghufron Cholid adalah nama pena dari Moh. Gufron, S.Sos.I, lahir di Bangkalan, 7 Januari 1986 M. Alumni TMI Al-Amien Prenduan(2006). Menulis puisi, cerpen, pantun dan esai serta melukis. Sanggar Sastra Al-Amien (SSA) tempatnya meracik kata. Penerima Anugerah Kedua Hescom2015 Vlog dan Rubaiyat (5 Desember 2015) di Malaysia, termasuk 23 sastrawan berpeluang mendapat anugerah litera (2017). Alamat Rumah Pondok Pesantren Al-Ittihad Junglorong Komis Kedungdung Sampang Madura. Hp 087850742323
Postingan yg sangat bermanfaat
Tulisan ini lahir dari kisah nyata perjalanan saya, semoga yang tercatat bermanfaat. Salam kenal @khairaamrina
Terus berkarya @mghufroncholid31#7533
Insya Allah dengan riang hati @muhammadiman salam karya yang asyik
Saran saya, tulisan spt ini tag yg cocok adalah #story dan #life karena tulisan ini lebih menceritakan sebuah kisah. Itu hanya saran @mghufroncholid31. Tks
@sudah saya ubah tagnya, terimakasih sarannya
Pengen liat abang baca puisi live hehe
Bila bertemu saja mungkin
@mghufroncholid31 membaca kisah yang penuh liku namun inspiratif membuat hati berdebar debar dan diburu rasa penasaran untuk menuntaskan bacaan. Tulisan yang sarat makna dan mfnginspirasi. Sukses selalu
Amien terimskasih doanya moga bahagis dsn penuh karya yang inspiratit
Sangat inspiratif saya suka bacanya