Seminggu lebih saya tidak menulis. Rindu berjumpa dengan rekan-rekan steemian. Semoga anda dalam keadaan sehat dan optimis menyambut tahun 2018.
A week more I did not write. Want to meet with steemian colleagues. Hopefully you are in a healthy and optimistic welcome in 2018.
Pada bagian sebelumnya, saya berjanji untuk berbagi kepada anda bagaimana memanfaatkan ephemera sebagai sumber sejarah. Ephemera yang dipilih merupakan potongan iklan yang menunjukan kondisi Aceh dimasa pendudukan Jepang. Memorabilia tersebut merupakan bagian dari koran Aceh Sinbun yang terbit pada masa Pendudukan Jepang di Aceh (1942-1945). Sekedar informasi, koran Aceh Sinbun dicetak di Kuta Raja (Banda Aceh) pada perusahaan percetakan yang dibangun Belanda. Percetakan tersebut berdiri pada pada kisaran tahun 1900 dengan nama “Deli Courant” dan berpusat di Medan, Sumatera Utara.
In the previous section, I promise to share with you how to use ephemera as a source of history. The chosen Ephemera is a piece of advertisement showing the condition of Aceh during the Japanese occupation. The memorabilia is part of the Aceh Sinbun newspaper published during the Japanese Occupation in Aceh (1942-1945). For information, Aceh Sinbun newspaper printed in Kuta Raja (Banda Aceh) at a Dutch-built printing company. The printing was established in the 1900 range under the name "Deli Courant" and is based in Medan, North Sumatra.
Kembali pada pembahasan awal, kali ini saya akan berusaha menerapkan cara kerja semiotika untuk memaknai ephemera. Ephemera sebagai sumber sejarah, berdasarkan klasifikasi I Gde Widja dapat digolongkan sebagai sumber yang tidak sengaja ditinggalkan atau unpremeditated dan representasional atau mewakili jejak lainnya. Oleh sebab itu Ephemera dapat dikupas sebagai sisi lain yang memuat situasi khusus suatu masyarakat. Situasi ini dapat berupa situasi psikis maupun situasi sosial budaya suatu masyarakat. Akan tetapi, agar ephemera mampu “berbicara”, maka diperlukan suatu alat atau pisau analisa khusus untuk membedahnya. Pada tataran inilah sejarah memerlukan ilmu bantu lain yang sesuai dengan subject matter-nya.
Back in the initial discussion, this time I will try to apply the workings of semiotics to interpret ephemera. Ephemera as the source of history, based on the classification I Gde Widja can be classified as a source that was accidentally abandoned or unpremeditated and representational or representing other traces. Therefore Ephemera can be peeled as the other side that contains the specific situation of a society. This situation can be a psychological situation as well as the socio-cultural situation of a society. However, in order for ephemera to "speak", a special analysis tool or knife is needed to dissect it. At this level of history requires other auxiliary science in accordance with its subject matter.
Semiotika merupakan kajian tentang tanda yang berusaha untuk menemukan pemaknaan melalui sistem-sistem tertentu pada bahasa atau benda-benda kultural yang dimungkinkan mengkomunikasikan suatu makna. Metode ini telah saya gunakan pula untuk meneliti beberapa tema. Antara lain untuk meneliti kondisi budaya masyarakat Jawa pada masa kolonislisme Belanda dan mengungkap sistem Etika masyarakat Jawa yang tersirat dalam relief Candi Prambanan di Jawa Tengah.
Secara garis besar, cara kerja semiotika dapat dibagi menjadi 3 cara kerja. Berikut :
1. Cara kerja Saussure: kode Budaya
2. Cara kerja Barthens : Konotasi- Denotasi
3. Cara kerja Pierce : tanda non teks (ikon, indeks, simbol dan sinyal)
Semiotics is a study of signs that seek to find meaning through certain systems of language or cultural objects that are enabled to communicate a meaning. This method I have used also to examine some themes. Among others, to examine the cultural conditions of Javanese society during the Dutch colonism and reveal the ethical system of the Javanese society implicit in the reliefs of Prambanan Temple in Central Java.
Broadly speaking, the workings of semiotics can be divided into 3 ways of working. Here:
1. How Saussure works: Cultural code
2. How Barthens work: Connotation - Denotation
3. How Pierce works: non text marks (icons, indices, symbols and signals)
Pada kesempatan kali ini, saya akan berusaha mengkaji ephemera terkait kondisi Aceh masa Jepang dengan memanfaatkan cara kerja Barthens.Ephemera yang dimaksud adalah iklan bioskop seperti tertera dibawah ini:
On this occasion, I will try to study the ephemera related to the condition of Aceh during the Japanese period by utilizing the workings of Barthens.Ephemera is a cinema advertisement as shown below:
Iklan Film Atjeh Shinbun
Barthes menyatakan ada dua macam sistem pemaknaan: denotasi dan konotasi. Denotasi merupakan tingkat makna yang deskriptif dan literal yang dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan. Maka berdasarkan definisi tersebut, secara denotasi iklan film diatas dimaksudkan agar dapat dipahami artinya oleh para pembaca yang dijadikan sasaran penonton. Kepentingan komersil dapat dipahami menjadi pertimbangan dalam pengunaan bahasa Indonesia. Pada masa sebelumnya bioskop hanya diperuntukan bagi golongan bangsa putih. Maka pada masa pendudukan Jepang, penonton dari kelompok Eropa dan Cina menjadi berkurang dengan mewajibkan separuh kursi dari kapasitas bioskop untuk kelas rakyat. Hal tersebut didukung dengan terjangkaunya harga tiket masuk bagi kalangan pribumi. Di Jawa dan Batavia, HTM bioskop berkisar 10 sen atau setara dengan sekilo beras jatah pemerintah.
Barthes states there are two kinds of meaning systems: denotation and connotation. Denotation is a descriptive and literal level of meaning understood by almost all members of a culture. So based on these definitions, in denotation of the above movie ads intended to be understood to mean by the readers who were targeted audience. Commercial interest can be understood to be a consideration in the use of Indonesian language. In the past the cinema was only intended for white people. So during the Japanese occupation, the audiences of the European and Chinese groups were reduced by requiring half the seats of the cinema capacity for the people's class. This is supported by the affordable price of admission for the natives. In Java and Batavia, HTM cinema ranges from 10 cents or equivalent to a kilo of government ration rice.
Seperti diketahui bersama diperbolehkannya pemakain bahasa Indonesia pada masa Jepang merupakan salah satu alat propaganda. Selain penggunaan bahasa, cerita film dalam bahasa Indonesia dan pilihan pemeran menjadi faktor penting dalam komunikasi budaya.
As is known with the permissibility of usage of Indonesian language in the Japanese period is one of propaganda tools. In addition to language use, the story of the film in Indonesian and casting choice becomes an important factor in cultural communication.
Pada tingkat yang kedua, yakni sistem konotasi, pada sistem ini makna tercipta dengan cara menghubung-hubungkan penanda-penanda dengan aspek kebudayaan yang lebih luas. Penggunaan Penanda menggeliatnya industri film. Film merupakan alat propaganda politik. Film disebut sebagai senapan mesinnya propaganda Jepang. Jepang merupakan satu-satunya negara yang memanfaatkan media film sebagai alat propaganda didalam masyarakat. Kebijakan yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan pemutaran film merupakan tiruan sistem yang digunakan Jepang melawan Cina tahun 1930-an. Penggunaan media audio visual dianggap paling efektif untuk mempengaruhi penduduk yang tidak berpendidikan, buta huruf dan haus hiburan.
At the second level, the connotation system, in this system the meaning is created by connecting the markers with a wider cultural aspect. Use of Markers stretched the film industry. Film is a tool of political propaganda. The film is referred to as Japan's propaganda machine gun. Japan is the only country that utilizes film media as a propaganda tool within the community. Policies relating to the production, distribution and screening of films are a clone of the system Japan used against China in the 1930s. The use of audio-visual media is considered the most effective way to influence uneducated, illiterate and thirsty populations.
Berdasarkan dokumentasi perfilman Indonesia, Film Jatuh Berkait di produksi pada tahun 1944. Film tersebut di sutradarai oleh Rustam Sutan Palindih yang menjadi salah satu sutradara film dan sandiwara di masa Pendudukan Jepang. Para sineas pribumi lainnya banyak belajar dari Jepang dalam membuat film. Jepang juga mengeluarkan kebijkan berupa pelarangan terhadap film impor (Amerika dan Inggris). Untuk menarik hati kaum muslimin, bioscoop dilarang beroperasi pada waktu shalat Magrib dan Isya.
Based on the Indonesian film documentation, the film fell in the production in 1944. The film was directed by Rustam Sutan Palindih who became one of the film directors and plays during the Japanese Occupation. The other native filmmakers learned a lot from Japan in making movies. Japan also issued a policy in the form of a ban on imported films (American and English). To attract the hearts of the Muslims, bioscoop is prohibited to operate during the prayers of Magrib and Isha.
Sastra dan film termasuk sandiwara modern banyak dikembangkan. Bioskop-bioskop milik pemerintah hindia Belanda yang sebagian besar adalah milik orang Cina banyak diambil alih oleh Jepang.
Literature and film including many modern theatrics developed. Cinemas belonging to the Dutch-largely Dutch-owned government, mostly Chinese, were taken over by the Japanese.
Tercatat bahwa kutaraja memiliki 2 gedung kumedi gambar atau bioskop yakni Rex Bioscop dan Deli Bioscoop. Gedung Garuda Theater seperti gambar diatas merupakan perubahan dari Deli Bioscoop, sedangkan gedung Rex Bioscoop saat ini hanya tersisa beton pondasi yang berasa di depan hotel Medan. Pasca Kemerdekaan, muncul satu gedung Bioskop di Kawasan Peunayong yang bernama Bioskop Tung Fang. M Joenoes Yoesoef menuliskan bahwa promosi film tersebut sering dilakukan menggunakan Sado (sejenis delman) dengan juru teriak yang bertugas menyampaikan informasi.
It is noted that kutaraja has 2 picture or cinema drawings namely Rex Bioscop and Deli Bioscope. Garuda Theater Building as the picture above is a change from the Deli Bioscope, while the Rex Bioscope building is currently left only a concrete foundation that feels in front of the hotel Medan. Post-Independence, appeared a cinema building in Peunayong area called Tung Fang Cinema. M Joenoes Yoesoef writes that the promotion of the film is often done using Sado (a type of delmans) with a shouted interpreter in charge of conveying information.
Selain film yang diproduksi pada masa Jepang, Film yang dibuat masa pemerintah Hindia Belanda ternyata juga masih diputar dibioskop Kutaraja. Salah satunya adalah Film Harta Berdarah. Film ini merupakan Film Aksi yang diproduksi pada tahun 1940 dan disutradarai oleh Rd Ariffien dan R Hu untuk Union Films, dan ditulis oleh Saroen. Meskipun kemudian Unions Film dibubarkan oleh Jepang pada bulan Maret 1942. Film ini dibuat untuk menarik hati penonton yang berpendidikan dengan muatan moral yang disajikan. Dibintangi Zonder yang mahir silat dan Soelastri sebagai penyanyi keroncong yang tenar. Film ini ditayangkan pada tahun 1944 termasuk di Kutaraja.
In addition to films produced during the Japanese period, the film made during the Dutch East Indies government was also still played dibioskop Kutaraja. One of them is the Bloody Treasure Film. The film is an Action Film produced in 1940 and directed by Rd Ariffien and R Hu for Union Films, and written by Saroen. Although later the Unions Film was dissolved by Japan in March 1942. The film was made to appeal to an educated audience with the moral content presented. Starring Zonder is adept at Silat and Soelastri as a famous Kroncong singer. The film premiered in 1944 including in Kutaraja.
Follow @muftee for next post
TERIMA KASIH TELAH MEMBACA TULISAN SAYA HINGGA AKHIR
SALAM KOMUNITAS STEEMIT INDONESIA
Good @muftee
Thanks for reading @husna28
WARNING - The message you received from @tripadvisor.com is a CONFIRMED SCAM! DO NOT FOLLOW the instruction in the memo! For more information, read this post: https://steemit.com/steemit/@arcange/scammer-reported-tripadvisor-com
The pictures look old but beautiful. Nice post
Yes, realy @royalheir. Thanks for your attention
Bagus, satu informasi sejarah yang tidak terlupakan
Terima kasih pak @asnawiabbas
Kami juga rindu dengan kupasan sejarah @muftee
Terimong gaseh @bahtiarlangsa, bacut-bacut belajar bahasa aceh....
Mohon selalu dukungannya