Teman, terlalu lama di bangku kuliah, dan hingga kini masih tetap kuliah strata satu di lembaga pendidikan tinggi yang berbeda, membuat saya terus menerus merasa sangat muda. Semangat, gairah dan imajinasi liar, seolah-olah saya masih umur 18 tahun, ketika awal masuk perguruan tinggi. Saya lupa bahwa kini berat badan saya sudah 95 kilogram, dengan tinggi badan 165 cm dan usia 33 tahun.
Saya adalah petualang, minimal di dalam pikiran. Minda saya selalu saja bergerak kemana-mana, meletup sesuka hati, simpati hadir kapan saja. Bahkan hingga kini, saya masih mengagumi Ksatria Baja Hitam RX dan Power Ranger--dan diam-diam sering menontonnya di Youtube-- juga masih menyenangi lagu-lagu India, lagu P. Ramlee, serta lagu qasidah.
Saya acapkali merasa masih belum pantas untuk bergaul dengan yang lebih tua. Belum pantas mendapatkan amanah yang besar serta masih sungkan untuk duduk setikar untuk berembuk hal-hal besar. Ya, saya masih mengira diri terlalu muda, bahkan belum pantas untuk apapun.
Percayalah, dalam keseharian saya masih berharap berkesempatan menulis surat cinta dan mengirimkannya kepada seseorang. Kemudian saling melirik bila berjumpa, sembari malu-malu dan tak kunjung berani menegur. Saya terjemak pada romantisme belasan tahun lalu.
Saya lahir dan besar dalam kondisi Aceh yang kalut. Semenjak bocah saya sudah harus berpapasan dengan fakta bahwa dunia saya begitu cepat untuk dewasa. Setiap hari saya harus berhadapan dengan lingkungan yang kaku, penuh kecurigaan dan tangisan duka. Kematian tak wajar, tatapan sinis dan kebencian, serta penerapan agama dengan penuh kemarahan, adalah fakta keseharian yang mau tidak mau harus saya hadapi.
Ketika saya pontang panting menghafal teks Pancasila, UUD 1945 dan lagu-lagu wajib nasional, ketika keluar dari pagar sekolah, semua itu menjadi olokan para pemuda yang bersimpati pada perjuangan. Di sisi lain, ketika saya juga tergugah untuk menghafal Hikayat Prang Sabi yang telah dimodifikasi oleh pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM), itu menjadi momok pula bila berhadapan dengan awak baroh (aparat) yang kala itu sikapnya lebih tidak bersahabat dari penjajah luar negeri sekalipun.
Lingkungan saya pun akhirnya membisu. Membangun identitasnya yang lain, dengan penuh kepura-puraan. Hasilnya, setiap kami akhirnya pandai berbohong. Bersilat lidah adalah salah satu cara untuk bertahan hidup. Jujur, bicara apa adanya, bukanlah sesuatu yang ideal—hingga kini--. Akhirnya kami pun kerasan dengan kedustaan dan ketidakjujuran.
Sebagai bocah yang mendapatkan pendidikan agama dan dunia secara lumayan seimbang, saya frustasi. Apa yang saya dapatkan di balai pengajian dan rumah sekolah, nyaris semuanya tidak bisa saya praktekkan di tengah-tengah lingkungan. Saya jengah, terkadang lapar dan juga marah, tapi entah pada siapa?
Akhirnya saya dengan sangat terpaksa membangun imajinasi lain di dalam diri saya. Untuk itu saya berusaha keras belajar membangun sosok lain di dalam alam khayal, yang ujung-ujungnya hanya mampu menciptakan cerita lawak, yang kemudian berguna untuk membuat teman-temans aya yang lain terbahak-bahak, walau ketika pulang ke rumah, ayahnya sudah tiada karena diculik oleh OTK kala ronda malam.
Saya terus melakukan sesuatu yang akhirnya membuat saya benar-benar tenggelam pada dunia baru, yang di dalamnya saya bisa menjadi apapun. Untuk itu pula, semenjak SD saya pun sudah mulai menulis cerita kepahlawanan serta petualangan pemuda ksatria yang melawan kezaliman.
Perlawanan-pemberontakan—itu terus hidup di dalam jiwa saya, hingga pada akhinya saya pun terhenyak, bahwa perut saya sudah sangat buncit. Tubuh saya sudah sangat gembur dan tidak lagi ideal. Dua bocah kecil yang setiap saya pulang ke rumah selalu bergantungan di pinggang, dan memanggil saya abi, adalah fakta bahwa telah banyak hal yang berubah.
Teman-teman saya, bahkan ada yang sudah meninggal dunia, hidup susdah dengan tujuh anak dan tersudut di ujung kampung dengan wajah tua seumpama orang berusia 54 tahun. Kerut dahi mereka, gigi yang sudah patah, serta tatapan seakan putus asa.
Saya telah tua, 33 tahun saat tulisan ini saya buat. Saya telah berada pada dunia dewasa, yang setiap tindak-tanduk saya menjadi tanggup jawab saya sepenuhnya, baiuk secara Uandang-undang negara, maupun pertanggungjawaban di depan Yang Maha Kuasa.
Akan tetapi, di rentang usia yang sudah kepala tiga, ada satu hal yang masih saja mengganjal. Yaitu, saya masih merasa belum pantas untuk menjadi orang yang akan mengemban amanah sebagai pemimpin.
Dalam konteks ini, saya masih saja merasa sebagai remaja belasan tahun yang belum punya pengetahuan apapun, saya fakir dalam segala hal. Saya benar-benar takut untuk mengatakan diri pantas. Bahkan tidak kunjung berani untuk memantaskan diri. Bahkan untuk menjadi keuchik sekalipun, saya merasa belum pantas.
Dunia memang telah berubah, tapi saya belum. Saya masih Muhajir yang menyukai Power Ranger dan Ksatria Baja Hitam RX. Tendangan matahari, ciaaat!
Bang, ksatria baja hitam RX tu dah diganti lama ma kamen rider..
Lebih kerwn bekelaiknya!
Salam sesama pecinta..ahahaha
@jamanfahmi: Terima kasih infonya. saya era RX, Bio, Robo dan kemudian Super One.
Saya juga masih Taufik Al Mubarak yang dulu menyukai Kura-kura ninja dan Renegade haha
Hahahaha. Renegade terlalu dewasa untuk ukuran waktu itu.
Ngeri emang ksatria baja hitam. Bisa berubah jadi biru.
RX Bio. Sumber kekuatan adalah air. Hehehe.
Setiap generasi memiliki tokohnya masing-masing......
Hehehehe. Industri menciptakan tokoh imaji.
Dunia berubah. Yang penting selalu bisa berbahagia
@anggreklestari: Dunia memang berubah. Tak akan statis.
Dan juga super saiya... Hehehhe Membaca ini sperti berdiri didepan kaca... Trims saleum
@shofie: Super Saiya. Saya tidak bisa mencintai anime itu. Entah mengapa. Hehehe.
Kalo gitu jiban.... Hehehehe
Qiqiqiqiqiiq gpp berat badan tinghi yg penting sehat trus bang. Hahahah
Hehehehe. @puanswarnabhumi, hehehehe. Semoga kesehatan selalu mendampingi tubuh tambun ini.
dunia telah berubah, harusnya kita semua orang menyesuaikan diri dengan perubahan. tapi tokoh kartun tak boleh berubah haha