Mungkin sudah 12 tahun sejak awal aku membeli putu bambu hijau dan putih yang ia jual di Kota Matangglumpangdua, Bireuen. Wajahnya yang berurat lelah telah pun abadi dalam ingatan. Ia terus berjualan walau harga bahan pokok sudah naik beberapa kali.
Ibuku yang tinggal berjarak 20 km dari tempat ia berjualan, seringkali memesan agar aku membeli putu itu, bila aku pulang ke rumah ibu di Teupin Mane.
Dulu, ia berjualan bersama dua dara manis yang merupakan anak-anaknya. Kini mereka tak terlihat. Mungkin sudah menikah.
Rasa putu bambu itu masih sama sejak aku mengenalnya 12 tahun lalu. Dengan baluran kelapa parut dan timbunan gula pasir, putu itu begitu lembut dan beraroma daun pandan. Harum yang lembut.
Jangan tanya nama, aku tak pernah bertanya nama sang perempuan. Karena rasa putunya yang konsisten sudah menjadi alasan agar aku selalu dan selalu kembali ke sana. Sesekali ibuku juga pergi ke sana untuk membeli putu, tentu aku yang mengantarnya. Bagi ibuku Matangglumpangdua merupakan kampung halaman. Ia lahir dan masa kanak-kanak dihabiskan di sana.
fotostorynya mengcapture aktivitas masyarakat yang kadang terlewatkan. bagus sekali :)
Hehehe. Hal-hal kecil sering mengasyikkan.
Dulu waktu kecil punya pengalaman tentang penjual putu keliling, suara pemanas putu terdengar dari senyap-senyap malam. Dan akhirnya tinggal tunggu di depan rumah buat beli. Sekarang tak ada lagi penjual putu keliling, hiks..
Wow keren. Di tempat kami yang ada berkeliling adalah penjual mie so tanpa bakso. Sekarang yang berkeliling penjual somay.
Kerasnya hidup memaksa setiap orang untuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.