Membuat pentas seni tak mudah. Menerbitkan buku puisi pun butuh biaya besar. Bagaimanakah respon masyarakat untuk acara seni dan buku puisi? Tulisan ini bisa menjadi salah satu cermin.
Sore tadi, saya dan @willyana menyerahkan buku puisi "Kepada yang Terhormat" karya Bang Din Saja yang diterbitkan Imaji Indonesia -- yang kami kelola -- kepada Sang Penyair. Buku itu sementara dicetak terbatas untuk memenuhi kebutuhan acara pentas puisi Kepada yang Terhormat di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Sabtu, 12 Mei 2018. Acara itu bagian dari kegiatan Panggong Aceh yang diadakan pada 11-12 Mei 2018.
Ini kejutan dari kami kepada Bang Din Saja dan Agus Nuramal, promotor acara yang menjadi salah satu sesi pertunjukan Panggong Aceh itu. Kedua seniman itu adalah sahabat baik kami. Tadinya buku itu akan pencetakannya akan dibiayai panitia, namun ternyata mereka kesulitan anggaran. "Anggarannya sempit. Tidak cukup untuk cetak buku. Habis acara saja buku itu kita terbitkan," kata Agus lewat telepon pada satu pagi.
Kami memaklumi. Kami paham banyak kegiatan kesenian tidak bisa mendapatkan sponsorhip yang cukup, apalagi layak. "Agus itu menurut saya orang Gila. Acara ini dia buat dari honor-honor (pentas) dia," ujar Din Saja ketika memberi kata penutup pentas. Ia menghitung biaya yang dikeluarkan Agus untuk kegiatan itu bisa mencapai Rp 30 juta. "Mana ada orang waras yang mau menggunakan uang pribadi untuk bikin acara seperti ini," ujar Din lagi.
Agus dikenal sebagai seniman Pmtoh, seni teater tutur yang berangkat dari Aceh. Ia pendongeng yang menggunakan aneka properti untuk memvisualkan cerita yang dia mainkan. Alumnus jurusan teater dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu kerap berpentas di berbagai tempat, di Indonesia maupun luar negeri, termasuk di hajatan, acara lembaga/instansi hingga di stasiun televisi. Kadang pula ia menjadi pemateri seminar, workshop dan lokakarya. Nah, honor-honor itulah yang digunakan Agus untuk membiayai pentas ini. Tentu saja ini manuver yang tak biasa dan berbahaya.
Jadi kami maklum jika buku yang telah dirancang sejak lama tertunda penerbitannya. Maka itu kami mengambil inisiatif untuk menerbitkannya. "Wah terima kasih. Tadinya aku juga mau minta tolong ditalangin dulu tapi gak enak katanya," ujar Agus ketika kami perlihatkan buku itu beberapa jam sebelum pertunjukan. Buku itu sendiri baru kelar dicetak dan langsung kami bawa ke TIM. Seperti kami sebutkan di awal, buku itu kami niatkan sebagai kejutan kepada kedua sahabat kami itu.
Habis ketemu Agus di salah satu warung di TIM, kami bertemu Bang Din Saja di depan kantor Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Ia juga sangat terkejut melihat buku itu, yang tadinya ia yakin tertunda. "Nanti dijual saja," kata Bang Din. "Kita minta tolong Pilo untuk membantu menjaga," ujarnya lagi. Kami lalu memanggil Pilo -- sapaan terhadap penyair asal Aceh Pilo Poly. Ia mendekat. Bang Din lalu menjelaskan soal penjualan buku itu. "Siap," kata Pilo. "Berapa kita jual?" tanya Pilo.
Saya menjawab bahwa lazimnya untuk buku setebal di bawah 100 halaman maksimal Rp. 50 ribu. "Jangan," tukas Bang Din Saja. "Jual saja Rp 100 ribu satu buku," kata Bang Din. Saya sempat terdiam sesaat. Saya terpikir, ini adalah manuver untuk menaikkan citra buku puisi. "Yang kita jual bukan jumlah halamannnya, tapi karya itu sendiri." Saya paham maksudnya. Jika diukur dengan ketebalan buku memang akan sulit. Tapi jika dilihat dari sudut karya -- yang tak mudah untuk membuatnya -- harga berapa pun akan masuk akal.
Saya terpikir dengan musik. Untuk sebuah pertunjukan musik -- jazz misalnya -- orang rela bayar tiket ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Para penonton jazz pun merasa citranya melambung ketika menonton jazz. Bagi sebagian orang penonton jazz adalah mereka yang punya selera musik tinggi. Saya kira bukan tak mungkin puisi dikontruksikan berada pada posisi seperti itu: orang bangga menonton pertunjukan atau pembacaan puisi serta bangga membeli buku puisi -- berapa pun harganya.
Manuver atau gagasan eksperimental yang dilontarkan Bang Din memang berbahaya alias berisiko tinggi. Risikonya, karena harga tinggi orang tidak mau membeli. Resiko lain: penulis dan penerbit akan "dicemooh" oleh satu-dua orang karena menjual buku puisi dengan harga di luar kelaziman bahkan bisa disebut tak masuk akal. Tapi semua hal di dunia ini selalu mempunyai risiko masing-masing. Terpenting kita sadar dengan pilihan itu, semua akan baik-baik saja. Bertolak dari itu pun kami tidak "memberi bandingan" terhadap gagasan Bang Din untuk menjual bukunya dengan harga jauh di atas rata-rata.
Pilo Poly pun -- yang diminta tolong Bang Din -- menjalankan tugasnya dengan baik. Buku ditaruh di meja tamu dengan tulisan harga Rp 100.000 disematkan di sana. Dari jauh, saya memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Beberapa orang melirik buku -- dan hanya tiga orang yang membeli. Sebagian besar penonton lain melirik pun tidak pada buku dengan sampul merah itu. Sebagian seniman juga mungkin pura-pura tak lihat begitu melihat harganya yang "aduhai". "Ini bisa menjadi bahan postingan (tulisan) bagaimana orang merespon buku," ujar Pilo.
Memang buku sastra, apalagi puisi, tak mendapatkan respon yang baik dari pembaca. Para penyair menyakini penerbitan buku puisi adalah proyek rugi. Itu ditambah lagi dengan sikap sejumlah sastrawan yang lebih senang meminta cuma-cuma dari pada membeli. Penulis sastra pun seperti "tersirep" untuk memberikannya secara grastis. Padahal menerbitkan buku tidak mudah dan memerlukan modal tak kecil.
MI | Depok, 13 Mei 2018
Mustafa Ismail
@musismail
Mantap Pak Mus.