Sekali Lagi Soal Honor, Penulis Tidak Mengejar Panggung

in #indonesialast year

Sehabis menjadi juri dalam sebuah lomba baca puisi, seorang kawan penulis mengajak saya ke warung yang masih berada di sekitar lokasi acara. "Kita ngopi dulu bang," katanya dengan mata bercahaya terang dan diiringi senyum khasnya.

Saya mengangguk. Ayo, kata saya. Saya membayangkan ia sedang ingin berbagi kebaikan dengan mengajak ngopi. Begitulah biasanya sebagian kawan penulis, sekecil apa pun berkah hasil dari dunia tulis-menulis, ia tak sungkan berbagi kegembiraan dengan teman lain.

Tradisi itu, saya amati, berlangsung sejak saya baru-baru serius menulis pada 1990. Kala itu, saya dan sejumlah kawan penulis yang kini ubahan masih mahasiswa. Setiap ada kawan yang habis mengambil honor tulisan, selalu dilanjutkan dengan "upacara" ngopi. Mereka tak mikir besok-lusa mau makan apa.

Pendapatan dari menulis dianggap sebagai "bonus". Kala itu, pendapatan utama dari kiriman bulanan orang tua dan/atau menjadi pekerja di luar bidang menulis. Ada yang menjadi jurnalis, bekerja di NGO, jadi panitia atau tim ini-itu, pemateri diskusi, workshop, juri lomba, hingga jadi "konsultan" bikin makalah tugas teman mahasiswa lain.

Saya beberapa kali membantu kawan -- mahasiswa dari kampus lain (dan jurusan lain) -- menulis makalah. Lalu, versi pendeknya biasanya saya kirim ke koran, dan (tentu saja) dapat honor. Bukan gratisan. Beda dengan sekarang, sebagian media tak lagi memberi honor tulisan. Mungkin mereka mengira penulis butuh panggung, bukan butuh duit untuk beli buku, kuota, ngopi, dll.

Kembali ke ajakan kawan tadi. Sore itu, kami melangkah mencari warung di luar gedung. Sebab, kedai di dalam gedung itu sudah tutup. Saya pesan teh manis hangat, karena sedang kurang fit. Adapun teman penulis itu memesan kopi. Kami ngobrol ke sana ke mari. Di tengah obrolan, saya bertanya.

"Dikasih honor berapa jadi juri lomba ini?" Dia terdiam sejenak. Kemudian ia mengangguk pelan. "Belum tahu bang. Sepertinya gak ada." Apa? "Masa acara sebesar itu tidak ada honor?" Ia meyakinkan saya: "Betul bang. Saya belum dihubungi panitia."

Biasanya, selepas penjurian dan mengumumkan pemenang, panitia biasanya mendekati satu persatu juri sambil membawa map berisi kuitansi dan amplop honor. Tapi tidak sore itu. Saya tidak melihat ia "bisik-bisik" di pojok dengan panitia yang membawa map.

Saya sih berbaik sangka: mungkin saja tidak hari itu honor cair. Adakalanya beberapa hari kemudian, bahkan ada yang baru cair berbulan kemudian setelah kita lupa. Lain panitia dan EO acara, lain pula tradisinya. Tapi saya sempat bilang: "Harusnya tanya dulu sejak awal ada honor atau gak. Jadi juri melelahkan lo."

Ia mengangguk. "Harusnya memang aku tanya dulu." Ini memang problem laten di kalangan sebagian penulis. Dulu, saya pun begitu. Sungkan tanya-tanya honor. Tapi belakangan, karena beberapa kali hanya mendapat 2B (bukan billion alias miliar, tapi Makasih Bang), saya selalu tanya di awal.

Biasanya, saya akan memulai dengan: "Ini ada transport gak mas/mbak." Kadang saya bilang: "Boleh minta tolong kirimin surat resmi sekaligus menjelaskan apa saja hak dan kewajiban saya." Panitia acara yang maunya gratisan biasanya kemudian tak ada kabar lagi. Mereka akan cari orang lain yang bisa gratisan.

Mata duitan? Bukan. Mengisi acara -- apa pun acaranya -- itu adalah pekerjaan. Seorang pengisi acara harus mengeluarkan transport, energi, waktu, makan, minum, untuk hadir ke acara itu. Belum lagi persiapan yang mereka lakukan, misal beli buku, riset, bikin makalah sambil ngopi di kedai kopi, dan sebagainya.

Sebagian panitia acara mungkin ada pula yang berpikir bahwa mereka memberi panggung pada penulis. Jadi, seharusnya penulislah yang harus berterima kasih kepada penitia acara. Pemikiran semacam itu adalah sesat pikir tidak ada taranya. Penulis bukan perlu panggung. Tapi perlu ikan panggang.

Mungkin memang ada penulis yang mencari panggung. Mereka bahkan rela mengeluarkan uang banyak untuk dapat panggung. Tidak hanya di kota tempat tinggalnya, tapi hingga ke luar pulau bahkan ke luar negeri. Ke mana pun mereka jabanin asal dapat panggung dan bisa memperpanjang narasi biodata: pernah ikut acara ini, baca puisi di ini-itu, dan seterusnya.

Meski ada yang begitu, tapi panitia acara atau EO jangan "menuduh" semua penulis begitu: asal dapat panggung sudah senang. Lihat dulu jam terbang, kapasitas, dan kualitas karyanya. Jangan disamaratakan. Boleh jadi memang penulis yang "ngejar panggung" ini yang merusak "nilai" penulis lain. Sehingga jasa penulis terksan bisa gratisan. Bahkan penulis rela membayar.

Bukan hanya membayar ongkos pulang-pergi ke lokasi acara dan berbagai keperluan lain. Ada pula yang rela membayar agar karyanya bisa terbit menjadi buku bersama penulis lain. Tentu saja ini makanan empuk bagi aneka panitia penerbitan dengan membuat berbagai tantangan dan program menulis bersama.

Sudah menulis, lalu untuk terbit membayar pula. Hidup ini seperti kebalik-balik. Harusnya menulis dan disiarkan (di media atau buku) lalu dapat bayaran. Tapi dunia tulis-menulis Indonesia seperti melawan normalitas berpikir: bekerja lalu dapat uang. Namun ini sebaliknya: bekerja dan sekaligus membayar.

Tentu saja ada pengecualian-pengecualian. Dengan kata lain, tidak selalu harus mendapatkan balasan berupa material dalam setiap aktivitas kepenulisan dan turunannya. Bisa juga dapat pahala alias ibadah kebudayaan. Misalnya menulis maupun menyumbang tenaga, pikiran, dan gagasan untuk kegiatan sosial dan kemanusiaan. Begitu pula kerja-kerja untuk organisasi dan komunitas. Itu murni pengabdian. Bukan demi balasan uang. Justru kita mengeluarkan uang untuk itu.

Di luar itu, penulis tak perlu segan-segan bertanya hak dan kewajibannya. Kerjasama dengan teman pun perlu memperjelas di depan hak dan kewajiban itu. Sebab, tak sedikit kasus, teman memperalat teman. Teman makan teman. Itu lebih berbahaya lagi. Bisa merusak pertemanan.

Saya pernah menjumpai, ada orang minta temannya mengedit satu buku. Sekali lagi, satu naskah buku, bukan beberapa halaman naskah. Setelah editan selesai, jangankan memberi sekedar ongkos begadang, terima kasih pun tidak. Bahkan orangnya pun kemudian hilang dan tak ada lagi kabar.

Sampai di sini ada yang ingin bertanya? Hehe.

MI 160823