Seharusnya tulisan yang benar, menurut ejaan Bahasa Indonesia, adalah "Sastra Pascakoran". Tapi saya kok ya kurang sreg menulis dengan kata "pascakoran". Penggabungan dua hal ini seperti menisbikan koran dan membentuk kata baru yakni "pascakoran". Padahal artinya sama dengan Sastra Setelah Koran. Jadi saya pakai ejaan yang salah.
Begini. Diperkirakan beberapa tahun pagi koran akan tamat riwayat. Posisinya akan diganti online dan media digital. Selama ini, pertumhuhan sastra salah satunya digerakkan oleh koran.
Koran adalah ruang paling "terkini" untuk menggambarkan wajah sastra. Ia hadir tiap pekan, dengan sistem seleksi yang relatif bisa dipertangungjawabkan. Sehingga karya yang tampil di koran berbeda dengan media sosial yang tanpa seleksi dan kurasi.
Namun jika koran berubah wajah mejjadi online atau digital, bagaimana wajah sastra? Seperti apa nanti #SastraPascaKoran? Inilah yang akan didiskusikan pada Minggu, 17 November 2019 pukul 14.00-17.30 di Resto Kampung Anggrek, Jalan Raya Victor, Serpong, Tangerang Selatan.
Diskusi dalam rangkaian kegiatan Anugerah Sastra Litera ini menghadirkan narasumber Putu Fajar Arcana (editor budaya Kompas), Iwan Kurniawan (Tim Kurator Sastra Tempo), pengantar Ahmadun Yosi Herfanda (Pemimpin Redaksi litera.co.id) dan moderator Mustafa Ismail.
Acara akan diwarnai dengan pengumuman pemenang dan penyerahan Anugerah Sastra Litera 2019, peluncuran buku cerpen dan puisi pilihan Litera 2018, serta pembacaan puisi dan petikan cerpen. Acara ini gratis dan terbuka untuk umum. Untuk informasi bisa menghubungi Mahrus Prihany di WA 0813-9287-9498.
Posted from my blog with SteemPress : http://musismail.com/seperti-apa-wajah-sastra-pasca-koran/