Sekitar pukul sembilan malam, sebuah sepeda motor berhenti di depan rumah. Aku sedang nonton film pendek di Youtube, jadi tidak menggubris. Sebab bisa saja tetangga depan rumah atau abang ojek online yang sedang mencari alamat. Tapi berapa detik kemudian terdengar beberapa ketukan di pintu diiringi ucapan salam.
Hm, dari suaranya itu pasti Suman, mahasiswa sebuah perguruan tinggi ternama di Pondok Petir, yang baru belajar menulis puisi. Dia memang kalau bertamu tak kenal waktu. Pernah ia datang ke rumah pukul sebelas malam, hanya untuk meminjam buku untuk bahan tugas tugas kuliah yang akan dikumpulkan besok.
Karena tamu adalah raja, maka aku pun meladeninya. Satu lagi kebiasaannya: kalau datang gak pernah mengabari duluan. Main solonong aja. Seperti malam ini, ia pun datang tak memberi kabar. "Tak sempat ngabari bang. aku buru-buru perlu minjam buku nih. Pasti abang punya," ujarnya. Selalu begitu.
Seperti biasa, setelah mencari buku yang dia inginkan, kami pun berbincang-bincang sejenak sambil minum teh. Ia suka bertanya aneka hal, temasuk hal yang kadang nggak penting. Misalnya ia pernah bertanya: "Apakah abang pernah panjang rambut?" Lah, apa pentingnya pertanyaan itu.
Begitu pula kali ini. Ia ujuk-ujuk bertanya soal penggunaan kata "nasional" dan "intenasional" yang ditabalkan dalam banyak acara. Untuk lebih jelasnya, obrolan itu aku bikin dalam bentuk tanya jawab.
SUMAN: Bang, kenapa kata "nasional" dan "internasional" makin banyak digunakan kalau bikin acara, semacam seminar, pertemuan seniman, dan sebagainya. Sehingga ada seminar nasional, seminar internasional, International literary, international poetry, dan sebagainya.
MI: Ya suka-suka merekalah. Kau juga boleh menamai acaramu pakai kata "nasional" atau "internasional". Tidak ada yang larang. Bahkan kalau mau ngajak kawan-kawanmu ngopi pun kau boleh bikin poster atau status di medsos lalu bikin nama "ngopi nasional" atau "nongkrong internasional". Bahkan kau boleh menanami gotong royong di gang rumahmu dengan gotong royong internasional.
SUMAN: Oh gitu ya bang. Apa gak lucu gitu?
MI: Lah, ngapain kau pikir lucu atau tidak. Orang juga nggak
peduli kau mau pakai label "nasional", "internasional", atau apalah. Yang merasa penting label itu ya kau sendiri dan orang-orang yang bikin label itu atau orang-orang yang ikut di dalamnya. Orang lain mana mau tahu. Emang gak ada kerjaaan lain apa.
SUMAN: Orang gak kagum gitu dengan label itu?
MI: Kagum? Ngapain? Apa istimewanya? Kalau kau yang bikin label itu yang kagum ya kau sendiri dan teman-temanmu yang ikutan di dalamnya. Orang lain mana sempat mikir. Urusan mereka sendiri banyak. Paling cuma dilike di medsos, itu pun kalau melintas di wallnya, sekedar basa-basi.
SUMAN: Meskipun beneran aku ngopi dengan tokoh-tokoh nasional?
MI: Aduh bro, ente kelewat menghayal. Udah kubilang, orang gak peduli. Udah deh, dari pada lo menghayal yang bukan-bukan, ntar sakit jiwa, mending lo fokus nulis puisi aja deh. Biar bisa nyebut diri penyair kayak orang-orang.
SUMAN: O nyebut diri penyair boleh ya bang?
MI: Kamu kok malah memperpanjang urusan? Kalau mau nyebut diri penyair atau tukang sulap silakan aja. Emang gue pikirin. Sekali lagi kubilang, gak ada yang peduli. Udah ah, capek aku menjawab pertanyaanmu. Mendingan kau pulang sana, udah malam, katanya mau bikin tugas. Jangan lupa, setelah selesai tugas, minum obat cacing dan langsung tidur. Aku juga mau tidur. Ngantuk.
SUMAN: TIdur nasional atau tidur internasional bang?
MI: Buset dah nih bocah!
MI131021
Belum bisa posting di hive nggak punya koin hive :)