Sebuah kegelisahan menatap kejadian-kejadian tidak berperikemanusiaan...
Apakah karena orang lain berbeda, lantas "halal" menghabisi nyawa mereka?
"Yang paling ditakutkan manusia saat ini bukanlah bom, melainkan perbedaan." Ujar Al Chaidar, salah seorang Pengamat Teroris dari Kampus Universitas Malikussaleh, Aceh. Dalam sebuah kesempatan diskusi singkat dengannya, ia mengatakan bahwa perbedaan bagi masyarakat kita (Aceh khususnya) masih cukup sensitif. Sesuatu yang berbeda, berbeda paham misalnya langsung disikapi lewat jalur kekerasan.
Perbedaan, entah mengapa kerapkali kita membencinya. Why we really hate diversity?Berbeda warna kulit, berbeda bahasa, berbeda agama dan aliran, berbeda budaya, berbeda bentuk mata, bentuk hidung, bentuk wajah, sampai berbeda cara pandang. Semua pembeda itu kerap menggesekkan kedamaian, memancing daya ledak kebencian berkekuatan tinggi. Siapapun mudah tersulut dan terbakar olehnya.
Karena perbedaan juga, kerapkali kita merasa "saya lebih" dan "dia kurang," "saya mulia" dan "dia hina." Kita terbiasa memasang alat ukur bernama keburukan untuk hal-hal yang tak sama dengan diri kita. Dan kita terbiasa mengukurnya dengan memberi label nista, seolah kita adalah paling sempurna.
Ada perasaan tak nyaman dan pilu ketika membaca berita kekerasan yang baru-baru ini terjadi. Peristiwa ini erat kaitannya dengan perbedaan, yang sekarang sedang kita bicarakan ini. Berita itu adalah tentang terbunuhnya sebuah keluarga etnis Tionghoa di daerah Gampong Mulia, Kota Banda Aceh, pada Selasa/9/1/18.
Pembunuhan sadis yang mengegerkan itu benar-benar sulit diterima logika. Tjie Sun (40), Minarni (39) dan Caliiestos NG (8), sekeluarga keturunan Tinghoa ini ditemukan tak bernyawa di rumahnya pada subuh Selasa, 9/1/18. Ketiganya terbunuh mengenaskan. Tjie Sun tewas di kamar mandi dalam kondisi leher digorok dan nyaris terputus, sementara sang anak Calietos NG ditemukan dalam keadaan kepala terpisah dengan badan, dan sang istri, Minarni, terbujur kaku dengan bekas luka cekikan dan tubuh tanpa busana(aceh.tribunnews.com, 9/1/18).
Diduga kuat, motif pembunuhan ini adalah karena sakit hati. Pelaku yang bernama Ridwan (22) mengaku membunuh Tjie Sun sekeluarga karena kesal akibat sering dimarahi oleh Tjie Sun selama ia bekerja di toko grosir milik majikannya itu.
Kasus ini pun terus bergulir dan menjadi perbincangan hangat di media lokal dan media sosial. Kebiadaban yang dilakukan Ridwan, menuai kecaman banyak pihak. Bahkan Gubernur Propinsi Aceh langsung mengeluarkan pernyataan mendukung hukuman mati bagi pelaku pembunuhan tersebut.
Disaat banyak pihak menyayangkan bahkan mengecam aksi tak berperikemanusiaan itu, tidak sedikit pula orang-orang yang malah mendukung. Anehnya, para pendukung berasal dari kalangan orang-orang berpendidikan, laki-laki berpeci, dan perempuan berhijab syar'i. Meski tak sedikit juga merupakan orang-orang yang berpendidikan rendah dan berasal dari kalangan kelas menengah ke bawah.
Sejak kasus pembunuhan ini mencuat ke hadapan publik, akun Facebook Ridwan dengan nama Iwan Maulana, banyak dicari oleh netizen. Para netizen dengan semangat berapi-api meninggalkan berbagai komentar disana. Seperti dalam sebuah foto hitam putih yang diunggah Ridwan tertanggal 1 Januari 2018. Respon netizen terhadap foto itu sungguh besar, dengan jumlah like mencapai 1349 likes, 4170 komentar, dan sebanyak 285 kali dibagikan.
Dalam foto yang terlanjut viral tersebut, tercuat sebuah fakta yang begitu memilukan. Ini bukanlah soal isi postingan Ridwan yang bernada ancaman yang kemudian disinyalir sebagai motif pembunuhan, melainkan tentang perang argumen antar para netizen yang terlanjur "keruh", rasis dan berbau SARA.
Dari sekian banyaknya argumen yang dilayangkan netizen, nyaris setengahnya merupakan wujud dukungan terhadap aksi sadis yang dilakukan Ridwan.
"Bravo, ayo lanjutkan!"
"Itu baru anak muda, menjaga harga diri dan tak mau dilecehkan oleh bangsa lain"
"Orang Aceh kok dilawan!"
"Pelajaran bagi orang Cina, agar tak semena-mena di negeri orang."
"Kalau saya jadi Ridwan, bukan saya bunuh lagi, malah saya cincang-cincang dan buang ke laut jasadnya."
"Cina memang menjengkelkan dan memuakkan"
"Kafir dibunuh tak perlu ribut"
"Cina yang mati, kalian yang berisik."
"Tenang, tenang, hanya Cina yang mati."
Miris, saudara -saudara...
Membaca postingan komentar-komentar ini membuat saya mual. Ini lebih memilukan ketimbang mendengar tentang berita pembunuhan itu sendiri. Bagaimana mungkin seorang pembunuh diangggap sosok pemberani yang layak dibela, diidolakan dan didukung secara massal?
Hanya karena yang dibunuh adalah masyarakat nonpribumi, keturunan etnis Tionghoa, maka pembunuhan itu pun seolah dianggap wajar. Fallacy (Sesat Fikir) macam apa ini?
Aksi sadisme yang dilakukan oleh Ridwan diacungkan jempol dan dielu-elukan publik. Perbuatan itu pun dianggap tindakan hebat karena diharapkan akan menjadi "pelajaran" kepada etnis Tionghoa yang kerap dilabelkan "pelit, Arogan, Licik." Lebih mengherankannya lagi, perbuatan Ridwan pun, disanding-sandingkan dengan bagian dari "jihad" memerangi Kafir.
Ini sungguh tak masuk akal dan terdengar agak konyol. Yang dilakukan Ridwan jelas kriminal, bukan tentang membela agama atau martabat kesukuan. Membela seorang Ridwan, jelas tak sama perbandingannya dengan membela para mujahid islam yang membunuh para kafir untuk menyelamatkan agama. Membela dia, juga jelas tak membuat martabat orang Aceh akan semakin baik. Bukankah islam harusnya mengajarkan hidup damai, bahkan dengan yang berbeda etnis dan berbeda agama sekalipun?
Lagipula sepengetahuan saya, Islam tidak memerintahkan membunuh nonmuslim jika mereka hidup sesuai aturan yang berlaku di daerah muslim, membayar pajak misalnya dan tak menganggu peribadatan umat muslim lainnya. Islam dengan terang menyatakan "Lakum Diinukum waliyya Din" (Untukmu Agamamu, Untukku Agamaku).
Tapi apa hendak dikata, sesat pikir macam ini sudah terlanjur berkembang. Kehidupan masyarakat semakin moderen, namun cara berfikir semakin mengalami kemunduran. Etnosentrisme, terlalu cinta pada etnis sendiri dan memandang rendah etnis lain masih terlalu melekat kuat dalam diri masyarakat kita.
Hanya karena orang Tionghoa yang menjadi korban, nurani kita sebagai manusia tak berfungsi. Kita tak iba, seolah yang dibunuh bukanlah manusia, melainkan hanyalah sekumpulan anak Ayam. Tak ada rasa prihatin, ngeri, apalagi empati. Lantas apa bedanya kita dengan penghuni rimba? Kemana "Manusia" nya kita?
Tak mengherankan jika Aceh selalu masuk dalam 10 besar sebagai propinsi paling intoleran. Banda Aceh bahkan berkali-kali menjadi langganan tiga besar kota paling Intoleran di Indonesia. Kasus-kasus intoleransi yang berujung pada kekerasan bukan sekali dua kali terjadi di tanah Serambi Mekkah ini.
Tahun 2012 silam, seorang ustadz, Tgk Aiyub namanya, dibakar hidup-hidup bersama dua orang pengikutnya sampai tewas. Tgk Aiyub dibunuh dan dibakar didepan masaa karena disinyalir melakukan penyebaran aliran sesat. Padahal saat itu, Majelis Permusyawaratn Ulama Aceh, belum memutuskan apakah ajaran Tgk Aiyub dianggap sesat atau tidak. Namun publik langsung bergerak main hakim sendiri tanpa kompromi menyambangi kediaman Tgk Aiyub membacok para pengikutnya secara membabibuta dan membakar Tgk Aiyub hidup-hidup.
Ngeri. Barangkali suatu hari kita akan melihat orang dicincang ditengah jalan raya, dan semua orang diam, hanya karena orang itu nonmuslim, atau penganut sebuah aliran yang berbeda.
Begitu mudahnya kebencian itu disebar, dan begitu mudah orang mengangkat parang menghabisi nyawa sesamanya. Orang-orang berani membunuh dengan membawa-bawa suku, ras bahkan agama. Padahal yang suka mengkafirkan orang lain, salat lima waktu saja nyaris tak ada. Tapi dalam urusan menghabisi nyawa orang lain, begitu mudahnya merapatkan barisan. Banyak orang mengaku Islam di Aceh, tapi mesjid-mesjid di Aceh jauh lebih sunyi daripada di Medan, Jawa, dan lainnya. Lantas, mengapa harus bangga?
Mari berkaca. Jangan nodai agama dan martabat Nanggroe dengan menyangkutpautkan ia pada perbuatan-perbuatan nista. Berbuatlah kebaikan bukan karena melihat suku, agama, ras, seseorang. Tapi karna dia, anda, saya, karena kita manusia.
Wallahua'lam...
What does it mean to be human?
I think human is such as breath for another human, helper to another human. That's why as human, we have to love each others. So, if humans killed each other, so they killed themself.
bagus sekali nda ulasannya..
benar-benar sesat logika
Terimakasih kak,
Sesat pikir nya kirain di tahun 2012 aja, waktu kejadian alm Teungku Aiyub dan kawan-kawan, ternyata sudah 2018 masih belum ada yang berubah dengan cara berpikir masyarakat kita.
Moga kita tak demikian ya Kak.
perilalu fallacies nya udh mengakar nda...
Terimakasih kak,
Sesat pikir nya kirain di tahun 2012 aja, waktu kejadian alm Teungku Aiyub dan kawan-kawan, ternyata sudah 2018 masih belum ada yang berubah dengan cara berpikir masyarakat kita.
Moga kita tak demikian ya Kak.
ini adalah kepedihan yang mendalam yang juga saya rasakan...
Sepertinya semakin moderen manusia semakin kehilangan kemanusiaanya ya kak. Pedih banget melihatnya!
Dek...
Follback ya..
Upvote jga..
Ni BG Irfan osis