Sebuah suara pembelaan untuk mereka yang digilas kejemawaan dan ketidakdilan.....
Rusdi dan Muji, pertamakali bertemu dengan dua nama itu sudah beberapa bulan lalu. Tepatnya saat sidang ketiga, ketika ditolaknya eksepsi mereka oleh Pengadilan Negeri Lhokseumawe.
Keduanya santun, ramah, dan tidak neko-neko. Kami saling berbincang hangat, saling menanyakan kabar, dan memberi semangat. Pernah merasakan ada di posisi yang sama, itulah yang membuat seolah ada kedekatan emosional yang begitu dekat di antara kami.
M.Rusdi Lamie sedikit pendiam, ia lebih banyak tersenyum waktu itu. Sementara Muji Al Furqan, laki-laki hitam manis itu lebih rajin berbicara. Di raut wajah keduanya, terpancar jelas masih ada sisa semangat yang belum pupus.
Meski belum mengenal mereka lebih lama, saya berkesimpulan bahwa mereka anak baik-baik. Saya yakin bahwa itu bukan kesimpulan yang buru-buru.
Layaknya mahasiswa pada umumnya, selain kuliah, Rusdi dan Muji suka berorganisasi. Keduanya tergabung dalam keanggotaan Badan Esekutif Mahasiswa (BEM). Walau keduanya berasal dari jurusan berbeda, Rusdi kuliah di Jurusan Teknik Industri, dan Muji di Jurusan Hukum, namun mereka kerap bertemu dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan BEM. Salah satunya, bertemu dalam kegiatan demonstrasi yang dilakukan BEM pada Mei 2017 silam.
Demosntrasi nyaris setahun yang lalu itu ternyata menjadi musibah tak terlupakan bagi Rusdi dan Muji. Mereka tentu tak pernah membayangkan bahwa insiden pada Mei 2017 lalu akan mengubah drastis kehidupan mereka hari ini.
Unjuk Rasa Berujung Penjara
Mengapa demonstrasi? Karena, ruang yang ramah untuk menyuarakan pendapat dan menyampaikan kritik sangatlah terbatas di negeri ini. Ingin cuap-cuap panjang lebar di sosial media atau media massa, terkesan hanya percuma. Penguasa jarang membaca dan kurang peka.
Mahasiswa yang memilih menyuarakan aspirasi lewat unjuk rasa, barangkali memang tak punya pilihan lain. Mahasiswa hanya ingin didengarkan, secara langsung, real dan cepat oleh para penguasa. Mereka ingin menyuarakan ketimpangan-ketimpangan, menyampaikan keluh kesah, dengan cara yang lebih berani dan atraktif.
Mereka tampaknya meyakini bahwa saking sibuknya, para Penguasa begitu malas membaca, apalagi menanggapi aspirasi yang hanya disampaikan lewat tulisan, bukan lisan. Maka satu-satunya jalan untuk membuat gendang telinga para penguasa itu peka, adalah dengan mengangkat toa, berteriak langsung di depan daun telinga mereka.
Itulah yang dilakukan Rusdi dan Muji dan sekumpulan mahasiswa lainnya. Dengan penuh keberanian mereka menyampaikan protes di depan kantor Bupati, menuntut realisasi KEK Arun dan pencairan dana desa yang lama tertunda. Namun aksi penyampaian aspirasi itu ternyata tak disambut baik.
Bahkan saat mahasiswa meminta bertemu langsung dengan sang Bupati untuk audiensi, sang Bupati enggan menemui dan malah mengirim Sekda untuk mewakili dirinya. Merasa dikecewakan hanya karena mendengar tanggapan secara sepihak, mahasiswa pun mendesak agar diperbolehkan masuk ke dalam ruangan. Karena tak juga diizinkan masuk, maka terjadilah aksi saling dorong antara mahasiswa dan pihak kepolisian. Buntutnya, satu kaca jendela kantor Bupati pecah.
Apa balasan yang diterima oleh para mahasiswa pemberani "Pengangkat Toa" ini? Usai aksi unjuk rasa sengit itu, para mahasiswa otomatis tidak bertemu sang Bupati. Mereka malah ramai-ramai digiring ke kepolisian.
Mereka diinterogasi secara marathon. Bahkan ada dibogem agar mengaku. Muji, dengan kondisi baju koyak akibat aksi saling dorong, sempat dihajar ketika diinterogasi. Interogasi berlangsung lama, dan mereka diinapkan semalaman di tempat itu. Menjelang siang, mereka baru dipulangkan satu-persatu.
Dipulangkannya mereka, bukan berarti kasus selesai. Ada dua orang yang tersisa dari 20-an orang yang ditangkap, dan itu adalah Rusdi dan Muji. Dua orang ini, entah bagaimana proses penyidikan yang terjadi, akhirnya mereka berdua lah yang resmi ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya tak ditahan, namun diharuskan wajib lapor (menjadi tahanan kota) hingga berbulan-bulan lamanya.
Kasus sempat mereda untuk sesaat, dan tiba-tiba bergejolak kembali saat berkas Muji dan Rusdi ditetapkan sudah P21. Mereka pun dilimpahkan ke Kejaksaan. Saat di Kejaksaan dibuat surat kesepakatan damai dengan pihak kantor Bupati. Bahkan, kaca yang pecah juga telah diganti oleh pihak BEM.
Ada angin segar berhembus bahwa kasus tak akan dilanjutkan. Namun anehnya, mereka malah ditahan. Sebuah keputusan yang terdengar ganjil. Saat di Kejaksaan, Rusdi dan Muji pun sempat merasakan penahanan selama 1x24 jam. Tak lama setelah itu, seorang pejabat datang memberi jaminan dan menangguhkan penahanan keduanya sehingga mereka kembali menjadi tahanan kota.
Peristiwa yang lebih mnegejutkan lagi terjadi saat berkas mereka masuk ke pengadilan. Rusdi dan Muji kembali dijadikan tahanan. Pengadilan langsung memerintahkan untuk menahan mereka di Lapas kelas IIA.
Ini adalah fase terlama mereka merasakan dinginnya lantai penjara. Merasakan hidup di lapas bukanlah perkara mudah bagi Rusdi dan Muji. Selama 21 hari, mereka hidup dibalik jeruji besi bersama sejumlah Napi, mendekam disana dalam kondisi memprihatinkan. Meninggalkan bangku kuliah, teman-teman organisasi, juga keluarga.
Hanya karena jendela kantor Pak Bupati yang pecah, nasib mahasiswa ini berakhir di penjara. Miris! Hanya karena ingin menemui pemimpinnya, menjumpai penguasanya untuk menyampaikan tentang nasib rakyat yang ia abaikan, dua mahasiswa ini dianggap perusak aset negara. Hanya karena itu saudara-saudara!
Perbuatan memecahkan kaca (yang belum tentu mereka pelakunya), membuat Rusdi dan Muji didakwa hukuman 5 tahun penjara, dengan dalih melanggar pasal 170 KUHP tentang kejahatan ketertiban umum terhadap para pelaku pengrusakan atau kekerasan terhadap orang atau barang. Ini tak manusiawi, sungguh!
Bukankah ini kriminalisasi mahatinggi?
Penahanan terhadap Rusdi dan Muji menuai protes keras dari kalangan mahasiswa yang tergabung dalam Forbesma (Forum Bersama Mahasiswa). Setelah protes itu terjadi, Rusdi dan Muji akhirnya ditangguhkan penahanannya dan kembali dijadikan sebagai tahanan kota pada pertengahan November tahun lalu.
"Hana lon tuoh peugah lee, Kak. Kuliah ka kacho, mak ngon yah ka saket-saketan. Ureung nyan syit ureung hana jak sikula, panee meuphom geuh masalah lagee nyoe. Kamoe pih tok lon sidroe ngon abang, yang na sikula. Laen syit tamat SD. Jinoe kuliah lon ka anco seubab kasus nyoe, hukoman 5 thon ka jipreh, pat lon neuk harap loem kak?" ujar Rusdi saat mengadukan nasibnya pada saya.
(Saya tidak bisa berkata apa-apa lagi, Kak. Kuliah sudah berantakan, Ibu dan Bapak sudah sakit-sakitan. Mereka tidak sekolah, jadi tidak paham dengan masalah seperti ini. Kami pun cuma saya dan abang saja yang ada sekolah. Yang lain hanya tamatan SD. Sekarang, kuliah saya sudah hancur sebab kasus ini, hukuman 5 tahun menanti, dimana saya berharap lagi, Kak?)
Persidangan Rusdi dan Muji sudah berlangsung belasan kali. Terakhir saat meneleponnya, Rusdi menyampaikan keluh kesahnya, tentang orangtuanya yang sakit stroke, tentang kuliahnya yang berantakan, juga tentang kewajiban barunya datang ke persidangan seminggu sekali setiap hari Rabu. Ia sangat kelelahan. Rusdi juga menceritakan semakin sepinya ruang sidang, bahkan mereka hanya ditemani pengacara.
"Tidak adakah pihak kampus yang datang menengokmu, Rusdi?"
"Tidak, bahkan di jurusan saya sendiri, mereka seperti tak kenal sama saya. Syukurnya, masih ada para kawan-kawan BEM yang selalu datang menyemangati."
"Apakah kamu kecewa dengan sikap kampus yang begitu terhadapmu?"
"Sangat. Tega betul mereka membiarkan mahasiswanya sampai begini."
Dari nada bicaranya, anak ini jelas terlihat sangat kecewa, tertekan, kelelahan, putus asa. Bahkan ia sempat terpikir untuk melarikan diri.
"Rusdi, menghadapi proses hukum memang sangat melelahkan, dan butuh cadangan energi melimpah. Tapi hadapilah dengan berani. Ini memang menjadi saat paling berat, kita butuh banyak tangan untuk berpegang kuat. Tapi jika pun kita ditinggalkan sendiri, maka kita juga haruslah kuat." Begitulah nasehat saya kepada Rusdi, ketika kami berbincang lama lewat sambungan telepon.
"Entahlah, Kak. Minta doa nya saja Kak. Semoga saya kuat dan terlepas dari masalah ini."
"Pasti Rusdi, selalu berdoalah dan yakinlah bahwa kamu akan baik-baik saja."
Saya menulis ini diliputi rasa gundah, berbalut rasa prihatin, bercampur kesedihan mendalam. Silahkan tutup telinga dan mata jika anda merasa mereka tak layak dibela. Tapi bagi saya, membela mereka bukan soal patut tidaknya. Tapi ini adalah soal menyelamatkan masa depan anak manusia yang tidak bersalah. I will keep stand with them!
Saya meyakini bahwa yang tertindas haruslah dibela. Lagipula kita tidak sedang membela seorang koruptor atau pembunuh. Tapi kita membela seseorang yang dipersalahkan, mereka yang dikorbankan. Apalagi mereka mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan, seorang anak dari orang tua, yang masih punya tugas membanggakan ibu bapaknya. Jadi, berhentilah menghakimi mereka. Beri dukungan, dan doakan yang terbaik untuk mereka.
"I ever felt the same. I know how hard that. But i tried to keep strong and strong. I hope so with you, Rusdi and Muji"
*"Saya sudah mengatakan pada Rusdi, bahwa saya akan menuliskan tentang mereka. Dan inilah persembahan saya kepada keduanya. Bagaimanapun putusan hakim nanti, semoga berkeadilan bagi keduanya.....
Upvote for you
Salam ksi 🙂
Terimakasih bang. Salam KSI :)
Mereka tidak sendiri, buktinya mereka bisa bebas hari ini, berkat dukungan teman2
Benar sekali bang. Tapi mereka perlu juga untuk didampingi, dan proses hukumnya terus dikawal. Karena kekuatan publik bisa mennguatkan mereka di pengadilan ...
Semoga Tuhan menunjukkan jalan yang terbaik untuk keduanya,....
Semoga saja dek. Semoga juga tidak ada kriminalisasi-kriminalisasi lagi terhadap mahasiswa...
Bertuusss Ndaaa... Kita selalu satu barisan dengan kebenaran. Kita dukung dengan segala kemampuan. Penjang umur perjuangan!!
Panjang umur perjuangan!
You need to confront to the campus, why they reluctant to give support to Rusdi and Muji. Ask somebody in that burned ivory tower.....
I have no idea about our campus's mindset. And i have no power to influence them, They didn't like to response the problem such as these problems, they didnt care about it. So, i think they already deaf.
Kenapa tidak viral di media cetak?
Sempat mencuat sesaat bang, tapi lalu tergerus dengan isu-isu lain. Bisa jadi karena memang tidak ada pihak yang coba menviralkan, karena takut juga dikriminalisasi. Sekarang kan memang jamannya lapor melapor. Padahal itu masalah yang tak bisa didiamkan begitu saja. Tapi apa boleh buat, semoga mereka mendapat keputusan yang berkeadilan...
Semoga kebenaran menemukan jalannya nda..
Amiin Kak, semoga saja ya kak. Kita doakan yang terbaik untuk Rusdi dan Muji...