Modernisasi telah dipandang sebagai sebuah perubahan yang membuat hampir semua aspek kehidupan manusia diera melenial ini rasanya tidak lengkap tanpa mengikuti perubahan zaman. Alhasil, tak sedikit yang salah kaprah dengan konteks modern yang dimaksud.
Sejatinya, modernisasi yang seharusnya kita perhatikan dan upayakan adalah modernisasi dalam konteks teknologi bukan budaya. Selama ini saya melihat, ada banyak generasi melenial yang mendefinisikan modernisasi sebagai sebuah upaya yang merubah sesuatu yang lama agar tampak lebih mengikuti perkembangan zaman. Tak ubahnya dalam konteks budaya dan syariat.
Saat ini, modern dipandang sebagai sebuah "kebenaran" yang mesti harus dan bahkan wajib untuk diikuti. Kata kolotpun diciptakan sebagai upaya untuk melawan dan disematkan untuk orang-orang yang tidak ikut dengan perkembangan zaman. Siapapun yang tidak ikut perubahan zaman. Meski itu menyalahi akidah, tak jarang dianggap sebagai orang yang kolot.
Dan efeknya, ternyata tidak cukup hanya sampai dengan aspek budaya, akan tetapi merasuk kedalam tatanan moral dan mental kaum melenial. Dimana, saat moralitas yang digunakan oleh orang-orang tertentu, dan dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman akan dianggap sikolot yang tidak maju. Ironinya, ketika sebuah moralitas bejat, bangsat bahkan radikal terkadang dipelihara karena dianggap modern.
Lantas, ketika itu terjadi, mereka tidak lagi menjadikan "salah dan benar, baik dan buruk, sebagai sebuah standar untuk parameter kehidupan. Tapi modern tidakkah hal itu. Bahkan dalam tindakan pun mereka akan mengikuti orang-orang yang dianggap modern dalam era ini. Tak peduli dia adalah seorang pensiunan, pemabuk, penghancur generasi, asalkan dia modern itu adalah acuan mereka.
Anehnya, banyak orang yang mengartikan modernisasi adalah sebuah tindakan yang dilakukan dalam hal apapun yang mengacu pada model kebarat-baratan. Style sehari-hari, budaya barat bahkan dalam konteks moralitas seperti yang telah saya jelaskan diatas. Meskipun inti dari modernisasi adalah kemajuan dan perkembangan teknologi yang ada disuatu daerah. Bukan malah peniruan budaya.
Maka kondisi itu menyebabkan mereka (kaum salah paham) tetap memeliharanya dalam waktu yang lama. Dan mengklaim orang "kolot " jika tidak mengikuti anjuran modernisasi versi kaum melenial yang keliru. Sehingga mereka tak jarang mempublikasikan kepada orang lain sebagai wujud ekspresi bahwa mereka mengikuti modernisasi dalam perkembangan zaman.
Efek modern itu ternyata tidak hanya cukup bertahan dan membaluti budaya dan filologi kehidupan kaula muda saja. Bahkan jika kita kaji lebih jauh tentang itu, dalam dunia politik pun, memodernisasi kian merambah. Dimana berbagai slogan dan kata bijak cukup sering dikaitkan dengan perubahan zaman dan istilah-istilah yang kadang masyarakat awam pun kurang memahaminya apa makna dibalik penyampainnya.
Kita dapat menyaksikan, beberapa partai bahkan menjadikan remaja sebagai basis untuk merebut suara pada pertarungan demokrasi 2019 mendatang. Sejumlah slogan "modern" telah dipajang diberbagai tempat. Bahkan untuk calonpun, katanya mereka telah menyediakan sosok-sosok yang dianggap populer dikalangan kaula muda dengan modernisasi mereka.
Itulah sebabnya banyak para artis yang tertarik untuk tampil dipanggung politik, karena telah melihat sangat sedikit jumlah kandidat yang bertarung dari seniman "modern" yang kalah dalam pertarungan politik. Tapi akumulasi dari mereka yang lulus tersebut adalah artis-artis modern yang cukup populer dengan berbagai aspek, kehidupan.
Itulah sebagai bukti bahwa masyarakat kita telah larut dalam "modern" yang salah kaprah itu. Itu adalah sebagai bukti bahwa kita tidak lagi peduli pada pribadi yang berkualitas dan dapat menjadi orang yang mampu melakukan tugas rakyat ketika berada diperlemen. Tapi mayarakat kita lebih peduli pada popularitas daripada kualitas.