Di sini tengah hujan sekarang. Ditemani petir dan halilintar menyambar. Aku sedikit kebingungan. Entah apa aku harus langsung menuju restoran atau menunggu hingga hujan sedikit reda.
Nyatanya, dari tadi aku hanya keluar masuk kamar bolak-balik tak karuan. Hingga tatapku tertuju pada sebuah alat penimbang berat badan yang ada di ruang depan. Aku menariknya dari kolong meja. Lalu mengangkat kakiku perlahan dan menaikinya.
"Masih 44 kg," gumamku.
Tak habis pikir. Padahal akhir-akhir ini aku doyan sekali makan. Tapi masih tetap saja segitu. Ketika orang-orang di luar sana berlomba mengkonsumsi obat diet agar bisa mendapatkan berat badan yang ideal. Aku justru susah sekali menaikkan berat badan.
Baiklah, memang tidak sedikit yang mengatakan badanku proporsional. Dengan tinggi badan 157 serta berat badan selalu hanya berkisar 44-46 kg. Aku tidak terlihat kurus-kurus amat. Sekalipun pada kenyataanya banyak tulang menonjol di sana sini. Jelas saja, karena semua tertutupi oleh pakaianku yang longgar-longgar, juga hijabku.
Kembali ke awal. Setelah menimbang berat badan. Kuputuskan kembali ke kamar. Membuka jendela lebar-lebar. Menatap hutan dalam balutan hujan. Samping kamarku memang bukit dan alas roban. Apa lagi?
Aku menikmati menatap setiap tetesan yang jatuh. Hujan seperti mencipta irama bersama gemuruh halilintar yang terus bergema. Entah sebuah irama bahagia atau duka. Aku tak pernah tahu. Yang aku tahu bahwa mereka, tetes-tetes air yang berkali jatuh itu tak pernah sedikitpun mengeluh. Tidak seperti aku.
"Aku mau pipis." Sebuah suara sedikit mengagetkanku. Aku bangkit dari dudukku lalu mengantarnya ke kamar kecil. Menunggu di tepian ranjang yang memang dekat dari pintu toilet.
Tidak lama dia keluar, menutup pintu toilet. Aku tahu dia pasti menutupnya dengan tidak benar-benar tertutup. Sudah biasa. Setiap haripun begitu. Lalu aku pasti akan menutupnya kembali secara benar.
Wanita tua itu, dia benar-benar menyebalkan. Aku seringkali kena teguran hanya karena ulahnya yang maaf, pelit sekali dengan sesuatu yang berbau listrik. Mulai dari lampu, televisi, kipas angin, atau apapun itu. Ya, setiap sore datang ketika hari mulai gelap aku pasti akan menyalakan lampu. Di ketika itu, dia akan mengoceh tak jelas lalu beranjak mematikan lampu yang sudah kunyalakan. Aku tak mau banyak kata, aku kembali menyalakannya. Diapun tak mau kalah kembali mematikan ulang. Demikian seterusnya. Hingga pada akhirnya seseorang kadang akan menegur. Dan itu ditujukan padaku, bukan padanya.
Selain dari pada itu, wanita tua yang sudah sedikit (atau bahkan banyak) pikun itu juga banyak omong, suka marah-marah tidak jelas, susah diatur. Setiap aku hendak memandikan, memberinya makan atau apapun itu selalu harus aku marah dulu baru tandang . Sama seperti anak cucunya, mereka pun suka marah-marah, keras, temperament. Hampir setiap hari aku menyaksikan orang bertengkar. Barangkali sebab itu pula aku selalu memilih diam, tak banyak bicara. Memilih menyembunyikan rasa marah dan kesal di dada. Khawatir menimbulkan keributan yang takkan disangka.
"Kalau gelap nyalakan lampunya, jangan selalu harus diomong," ucapnya sambil menekan saklar menyalakan lampu lalu berlalu. Kujawab ya. Lirih. Lirih sekali. Selalu begitu. Sekali lagi aku tekankan, aku hanya tak ingin banyak kata. Bosan. Biar saja, toh kalau tahu ini kelakuan si wanita tua itu pasti dia yang akan kena omelan. Tidak sekali dua kali terjadi, jadi aku paham. Lebih dari itu, mereka juga sering sekali bertengkar hebat.
"Jangan tidur lagi," ucapku. Waktu sudah menunjukkan pukul 16:20. Aku tak mungkin membiarkannya terus bergumul dengan selimutnya yang seringkali dilapisi baju di dalamnya. Entah itu atasan, bawahan ataupun pakaian dalam. Kebiasaan yang aneh. Begitu sayangnyakah dia dengan baju-bajunya itu? Sehingga setiap kali berselimut dia pasti akan menyumpalkannya di atas tubuhnya sebelum kemudian dilapisi selimut yang benar-benar selimut.
"Hujan, istirahat," balasnya. Mencoba tak mengindahkan kata-kataku.
"Sebentar lagi waktu makan. Aku juga harus membantu mereka di restoran," balasku sedikit ketus.
Dia beranjak. Berdiri, menuju ke arahku. Sebelah tangannya meraih pergelangan tanganku sedangkan sebelahnya memegang tongkat.
Aku menuntunnya, sembari sebelah tanganku memegang sebuah payung. Menuju ke arah restoran milik cucunya yang jaraknya sekitar kurang lebih 30 meter dari rumah. Tidak jauh pun tidak dekat.
Jalannya begitu lambat. Tidak jauh berbeda dengan seekor siput. Setiap menuntunnya berjalan kadang pikiranku berimajinasi secara liar. Aku membayangkan jika aku menariknya cepat-cepat atau lebih parahnya menyeret tubuhnya. Kemudian aku tersenyum sendiri. Ah, nyatanya aku hanya tengah menghibur diri agar hidup tak terasa begitu membosankan. Mana berani aku bertindak seperti itu.
Rintik hujan berhenti, setelah semua-muanya selesai. Terutama makan malam yang sebenarnya tidak layak disebut makan malam. Jam 17:00. Pantaskah? Tapi di sini memang demikian. Jadwal makan selalu lebih awal. Pun ketika makan siang. Jam 11:00 perut sudah kenyang.
Aku duduk di sebuah kursi di sisi kolam ikan. Bisa dibilang ini tempat favoritku setelah menyelesaikan beberapa kegiatan. Termasuk hal makan tentunya. Aku suka menatap puluhan ikan yang bergumul di dalamnya. Berwarna-warni berenang kesana kemari. Tetapi ada satu ikan yang paling besar. Seukuran paha orang dewasa. Panjangnya mungkin ada satu meter. Warnanya hitam. Dia selalu bersembunyi di dalam sebuah pipa besar yang sepertinya sengaja di letakkan di dalam sana sebagai tempatnya bersarang. Dia layaknya seekor ikan yang pemalu. Setiap ada yang menariknya keluar dia akan langsung berlari mencari pipa tersebut dan kembali bersembunyi di dalamnya. Barangkali dia sejenis ikan yang cinta pada kesunyian. Entah jenis ikan apa namanya. Aku tak tahu.
Beberapa orang berlalu lalang. Mereka tamu yang hendak makan di sini. Tentu saja. Siapa lagi? Selain beberapa karyawan yang hanya datang setiap sabtu dan minggu terkecuali dua karyawan yang hampir setiap hari datang. Pastilah mereka adalah tamu-tamu restoran. Aku memperhatikan mereka satu-satu. Aku muak bilamana ada penampilan tamu yang sedikit aneh, si wanita tua akan menertawainya. Pun hari ini, dia menertawakan seorang wanita berbadan gemuk yang melintas di hadapannya. Tidak sadarkah? Tubuh dia sendiri lebih pantas ditertawai. Kurus, kecil, serta bungkuk yang berlebihan! Ah, maafkan. Aku hanya sedikit kesal.
Hidup di tengah belantara seperti ini, membuat aku merasa begitu kesepian. Bayangkan saja hanya ada satu rumah dengan sebuah restoran yang memang dimiliki keluarga si wanita tua. Tidak adalagi sesiapa, tidak ada tetangga. Hanya saja orang-orang sekitar sini memang senang makan-makan di gunung setiap hari sabtu dan minggu. Barangkali menikmati liburan.
Sebenarnya wajar jika hampir setiap hari aku mengeluhkan keadaan. Aku sungguh kesepian. Hanya kesibukan-kesibukan yang membuatku sedikit mampu melupakan bahwa aku di sini tanpa sesiapa, selain bersama wanita tua yang barangkali sedikit sakit jiwa.
Tak jarang aku merenung sambil menyaksikan beburung yang beterbangan atau monyet-monyet yang bergelantungan di atas pohon kelengkeng yang tumbuh di tepi jurang dekat kolam ikan. Mereka menikmati buahnya dengan lahap. Menyebar kulit-kulit serta biji-biji sampahnya di samping kolam ikan yang kemudian setiap harinya harus kusapu dengan menahan bau tai yang pun mereka timpakan sembarangan.
Yang kurenungkan setiap kali adalah, aku ingin seperti rerintik hujan yang tak banyak mengeluh meski berkali-kali jatuh. Mereka akan berhenti pada saatnya. Sebab dunia memang tidak datar. Dunia akan terus berputar.
Meinong, 14 juli 2018
Orang-orang di sini memang save banget dgn hal2 listrik, air. dan keuangan. makanya pada sukses keuangannya.
Iya mbak @ettydiallova kadang sampe greget. 😁
Mau tidak dikasih BB ku.. heheheh
Posted using Partiko Android
Mau mbak @ucizahra sini. 😂
Mau brp kilo, 10 kg.. 😂😂😂 saya overweight..😂😅
Posted using Partiko Android
5 kg aja cukup. Ayok sini kasih aku. 😂😂
Transfer ikatan bathin ya
Posted using Partiko Android
Iketan kangkung aja yg banyak biar makan jd lahap. 😆😆
Iketan bayam juga mau
Posted using Partiko Android
Waow langsing banget ya mbak, banyakkin ngemil mbak biar sexy terus jangan banyak pikiran bebaskan seperti burung terbang mbak ...
Wah msalah makan ngemil mah jgn d tanya. Aku jagonya. Tp entah bdan koq sgini2 aja. 😆😂
Mesti tanya dokter iku mbak, konsul mbi ahli gizi. Hehehe
Posted using Partiko Android
Kayanya udah ktrunan mbak sodara2ku, ibuku jg badannya kecil2. Tp y sgni trmsk gak kurus2 bgt menurutku. Hehee
Tapi tergantung tingginya juga sih kalau emang mau dibilang ideal mbak....
Posted using Partiko Android
Iya mbak. Aku masih standar dong y gk pendek gk tinggi, 157. 😆😆
Jadi model cocok mbak, tingginya segitu...
Posted using Partiko Android
Besok tak ajakin ke kota mbak, nonton mobil lewat 😃
Wkwkwk ngledek ini mah. Sekalian naikin k truk. 😆😆
Sebab dunia memang tidak datar
Posted using Partiko Android