LIFE | GuMer, akronim yang kami sepakati untuk Gudang Garam Merah. Akronim itu lahir di masa awal aku mengenal kampus, dan tanpa meminta persetujuan dari pihak Gudang Garam terlebih dahulu.
Kretek yang sudah ku kenal sejak aku masih di kelas satu Sekolah Dasar. Pernah suatu kali, diam-diam, dua batang GuMer milik kakek, ku bawa lari ke kamar mandi tetangga. Di sana, dua kawan kecilku sudah menunggu. Itu pertama kali kami merokok. Lebih tepatnya kami belajar merokok.
“Uhuk-uhuk, uhuk-uhuk”, di tarikan pertama aku batuk. GuMer di tangan ku sodor ke teman di sebelah.**
Dalam masyarakat Aceh, pernah tersebar kabar, kalau GuMer itu rokoknya para dukun. Kabar lucu itu mungkin masih dipelihara hingga sekarang. Tapi itu ada benarnya juga. Karena saat usiaku dewasa, aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri, seorang Pramuka kerasukan jin di dekat lokasi pendidikanku di Sabang. Ia digotong ke rumah dukun yang tidak jauh dari sana . Sebelum dijampi-jampi, si bapak dukun malah minta sebatang GuMer. Katanya, itu masuk dalam daftar syarat.
Selain dikonsumsi oleh jin lewat para dukun, kayaknya GuMer juga disenangi oleh sebagian para pendaki. Itu karena GuMer lebih banyak mengandung cengkeh dibanding rokok merek lain. Alasannya GuMer lebih ampuh mengusir hawa dingin pegunungan, juga lebih tahan lama. Saya pernah mencoba, kalau boleh jujur, kabar itu memang ada benarnya juga.
Kembali ke masa kecilku yang sedang beranjak remaja. Begitu ku dengar kabar kalau GuMer itu digandrungi para dukun, bagiku, menyebut mereknya saja sudah tidak nyaman di lidah. Apalagi kalau disebutnya pada malam Jum'at, dan di samping rumah dukun pula, itu amat sangat menyeramkan. Dan sejak itu, aku tidak pernah lagi bersentuhan dengan kretek yang berslogan selera pemberani ini.
Nyaris dua dasawarsa lebih aku tidak dekat dengan GuMer. Baru di masa kuliah, aku diakrabkan kembali oleh @sangdiyus. Masa-masa pahit itu penampilan diyus memang mirip seorang dukun, rambutnya panjang acak-acakan, dan kumisnya dibiarkan melengkung ke sembarang arah. Tapi sahabatku itu bukan dukun, ia seorang pendaki yang sekarang berprofesi sebagai peracik kopi.
Dan ia terakreditasi sebagai lelaki pemberani, setidaknya dalam melawan rektorat yang setiap tahun pasti menambah angka uang kuliah.
Perlahan tapi pasti, aku mulai terbiasa dengan GuMer. Dan hampir setiap hari aku menyaksikan Diyus memanjakan bibir dan paru-parunya dengan GuMer. Apa saja boleh terjadi, asal ada GuMer, Diyus tetap akan melayani dengan ikhlas hati. Tak jarang, puntung GuMer sisa semalam kembali dibakar di pagi hari, Diyus setengah berlari ke kamar mandi, dan keluarlah semua yang sudah diisi.
Karena sudah terbiasa, akhirnya aku pun kembali mencoba si GuMer untuk kedua kalinya. Tapi bukan lagi di kamar mandi tetangga, melainkan di bawah pohon tempat kami berbagi ganja. Kali ini paru-paruku santai saja, dan siap menerima asap GuMer apa adanya.
Walau awalnya terasa aneh, tapi nyatanya aku suka. Selain harganya relatif murah untuk taraf ekonomiku , racikan cengkeh di dalamnya pun membuatku bergairah. Sehingga hariku pun semakin cerah, secerah warna merah bungkusnya.
Berulangkali GuMer ku hisap, terkadang hingga melewati batas merah tanda puntungnya. Itu artinya, GuMer sudah menyatu dengan hidupku. Hingga masa kini, semua pendakian yang kami jalankan, GuMer selalu menjadi idaman dan andalan para rimbawan yang pasti merasa kedinginan kala berada di ketinggian.
Salam-salaman...
@pieasant
Eh... seingatku belum pernah kita balut ganja dengan GuMer, ya...?! Atau aku yang lupa, Genk?
PS: Orang lupa mana ingat!
Bukannya sekarang juga masih begitu, bang?
Cikal bakal samsu teubalot
Kisah bersama GuMer 😊
Gumer, isapan orang-orang bui (penjara)