Nama Anakku 'Bento.' Usianya kira-kira lima belas tahun. Sekarang ia duduk di kelas 3 SMP dan sebentar lagi masuk SMU. Dia adalah anak laki-lakiku satu-satunya, tumpuan harapanku kelak jika aku sudah menginjak tua. Sengaja ia kunamai 'Bento,' aku berharap nasibnya bisa semujur Bento, Si Ganteng, penghuni real estate dan bermobil banyak itu. Aku berharap, kelak anakku Bento menjadi orang kaya.
Pada awalnya, aku ingin ia menjadi pengusaha, penguasa atau tukang politik. Boleh juga kalau mujur ia menjadi artis, atau penyanyi sekelas Guru Rohaniku, Iwan Fals, pemilik sesungguhnya dari nama Bento.
Aku berencana menyekolahkan Bento ke SMA dan kemudian kuliah di Jurusan Tekhnik Sipil. Namun rencana itu kandas karena anakku Bento malah terobsesi menjadi Ustadz. Ia meronta-ronta meminta selepas tamat SMP dimasukkan ke pesantren. Berkunang-kunang kepalaku dibuatnya. Aku tidak habis pikir, kenapa anakku ini tiba-tiba jadi bego? Kok mau-maunya dia masuk pesantren?
Diam-diam aku menyesal telah mengantarkan ia kepada Ustadz Aminuddin, orang Medan, da'i antar kampung, yang merantau ke Singkel itu. Awalnya aku cuma ingin supaya anakku mengenal dasar-dasar agama sekedarnya. Minimal ia tahu baca Qu'ran dan bisa sholat, biar besok ga repot kalau mau kawin. Namun sepertinya Bento keranjingan mempelajari agama.
Katanya belajar agama lebih mudah daripada pelajaran sekolah. Memang di sekolah nilainya biasa-biasa saja, berbeda dengan mengaji. Ia cukup berprestasi. Bahkan di Surau, dia sudah mampu mengajar Ikro' Lima pada teman-teman yang seumuran dengannya. Ustadz Aminuddin-pun sering datang ke rumah, memuji-muji kemampuan baca Qur'an Bento dan menganjurkan ia untuk dimasukan pesantren.
"Si Bento sepertinya lebih tertarik pelajaran agama," Kata Ustadz Aminuddin suatu hari ketika ia mengunjungi rumahku.
"Lebih baik masukkan saja ia ke pesantren, biar jadi ustadz dia!" Ustadz Aminuddin mengeluarkan logat Medan-nya sambil menyerumput teh hangat yang disuguhkan istriku.
Aku dan istriku senyam-senyum saja mendengar ucapan yang tak masuk akal itu. Aku sudah menduga, dialah biang kekacauan ini. Dialah yang mengompori anakku supaya bersikeras masuk pesantren.
Dari dalam rumah, terdengar suara Bento menedang-nendang pintu kamar. Bento menangis meraung-raung seperti pejuang Irak disekap di Guantanamo. Ia mengamuk seperti kadal lapar, minta dimasukin ke pesantren.
Terlebih lagi, Bento juga sedang terobsesi dengan Ustadz Shomad Lc yang lagi tenar di televisi. Ia tidak pernah melewatkan acara ceramah sang ustadz, di televisi, di android milikinya yang baru kubeli 2 bulan yang lalu sebagai hadiah kelulusan SMP, di VCD-VCD bajakan yang banyak dijual di pasar dan emperan. Ia bahkan hafal beberapa frasa dan logat minang Ustadz Shomad. Dia benar-benar terobsesi.
Setelah Ustadz Aminuddin pamit pulang, Bento kembali memperdengarkan raungannya. Sesekali ia menendang-nendang dinding kamar yang terbuat dari kayu tebal tipis yang tidak rata, sisa kayu olahan. Aku khawatir papan dinding rumahku yang sederhana dan rapuh itu bisa lepas jika diterjang terus menerus.
Aku geram dan berteriak keras. “Ustadz Shomad cuma bisa ceramah!”
Bento membalas teriakanku dengan suara yang lebih keras “Tapi Ustadz juga bisa jadi politisi, yah! Tuangku Guru Bajang adalah Gubernur NTB dua periode! Sekarang ia digadang-gadang menjadi presiden RI menggantikan Jokowi, presiden jagoan Ayah!” Teriak Bento dari Kamarnya.
"Bukan berarti karena ayah gagal menjadi Ustadz, saya tidak boleh jadi Ustadz!" Bento menodongku.
Aku terdiam.
"Sial," Pikirku. "Siapa yang membocorkan rahasia kalau pernah menjadi Ustadz?"
Sort: Trending