Kakekku bukan seorang intelektual dan juga bukan seorang ulama. Ia hanya seorang manusia biasa yang tidak dikenal dan bukan siapa-siapa. Seingatku, dikamarnya hanya ada tiga buah buku. Satu buah buku Terjemahan Al-qur'an Departemen Agama berukuran saku, satu buah buku berjudul Perukunan Melayu tulisan arab-jawi, dan satu lagi novel berbahasa Minang Kuno yang kalau tidak salah, judulnya Bukit Tangkurak atau Bukit Tengkorak.
Ketiga buku tersebut selalu diletakkan di meja kecil, disamping kasur kapuk yang terhampar langsung di lantai. Tidak boleh ada yang menyentuhnya apalagi memindahkan buku-buku itu. Jika sedang tidak ada kegiatan, atau menjelang tidur siang, kakekku menyempatkan diri untuk mentadarus buku-buku tersebut secara bergantian. Dia tidak akan berpindah ke buku yang lain, sebelum satu buku tuntas ia baca. Begitu seterusnya dan begitu setiap hari.
Dan aku, perlu dua tahun bagiku untuk membujuk kakek supaya ia mengijinkanku membaca koleksi keramatnya itu. Tepatnya, pertama aku meminta izin saat duduk di kelas dua SD ketika aku sudah mulai bisa membaca namun permintaanku tidak segera dikabulkan. Ketika duduk kelas 4 SD kakekku mengizinkanku meminjam buku-bukunya tetapi dengan beberapa ketentuan. Pertama, buku tersebut hanya boleh dipinjam satu persatu. Kedua, setiap buku harus dibaca sampai selesai. Ketiga, buku tersebut harus tetap tersimpan pada tempatnya dan hanya boleh diambil jika memang sedang ingin di baca. Artinya, jika aku ingin berhenti, buku tersebut tetap harus diletakkan pada tempatnya.
Anehnya, kakekku tidak pernah berniat menambah koleksi bacaannya. Padahal etekku (sebutanku untuk bibi) atau anak perempuannya adalah seorang ustadzah yang memiliki satu lemari penuh kitab-kitab dan buku-buku dalam bahasa Arab maupun Indonesia. Ada juga buku-buku atau kitab-kitab dasar pelajaran pesantren yang bertuliskan Arab-Jawi. Boleh saja kakek meminjam atau membaca buku-buku anak perempuannya itu namun ia tidak melakukannya dan hanya mencukupkan diri dengan tiga buku keramatnya.
Sekarang kakekku sudah meninggal dan kami tidak tahu lagi dimana kakekku menyimpan buku-bukunya tersebut.
Apa alasan kakek ketika itu bang. Apa memang gak ada sama sekali?.