Di kampung ku, orang-orang mulai menyalahkan zaman now. Karena hitungan masa tentang seluruh rangkaian seketika proses, perbuatan, dan keadaan mereka berada atau berlangsung pada saat now, tidak lagi sama seperti keberadaan mereka ketika menikmati waktu old yang mengharu biru.
Mereka lalu beramai-ramai mengutuk dan menyesali kedatangan zaman now, rentang waktu kini tidak lagi memberi buah-buahan segar dari pohon yang pernah ditanam nenek moyang mereka. Pohon pinang tidak menelurkan lagi biji yang dapat dibelah. Pohon lada telah mati saat nenek melahirkan ibu mereka. Zaman now telah menggusur semua peninggalan zaman old. Dengan begitu, nenek moyang dengan mudah bisa dilupakan anak-anak mereka, penerus generasi now.
Gerakan mengutuk zaman now pun semakin ramai yang mendengungkan. Saban hari masyarakat membincangkannya di warung-warung kopi, laki dan perempuan, tua dan muda, mereka semua luap karena agitasi ingatan untuk kembali ke zaman old yang gemilang.
“Nenek Moyang Kita Penakluk Dunia !” koor mereka kompak. Masyarakat yang lelah pun setuju dan berlomba menulis ucapan itu di dinding jejaring yang dapat mengaitkan mereka tanpa bersua. Pesan berantai seperti kilatan meteor melesat menghantam ingatan-ingatan lain. Layaknya virus, orang-orang berduyun mengunjungi warung untuk menyampaikan pesan pemberontakan itu ke kerabat mereka. Warung-warung membludak, mobilisasi massa terjadi siang dan malam, berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan…
Akhirnya pesan-pesan telah tersampaikan… agitasi telah diteruskan… Pesta Pora harus tetap berjalan.
Oh zaman now ya....