Di Aceh dikenal dengan dengan kata Tunoeng yang mengambarkan bahwa masyarakat yang hidup didalamnya adalah mereka yang berbicara bahasa Aceh Tulen, mereka yang memang diakses dan mengakses, sebagai Contoh dari suatu masyarakat perdesaan di aceh yaitu Gunci (nama tempat) kalaulah hendak ingin berpergian kekota lhoksemawe, haruslah meangakases jalan kaki yang menyebrangi hutan dari kampung hinngga sampai di sawang , lalu mereka menaiki mobil pickup untuk dapat sampai ke krueng mane,setelah itu merekaharuslah menaiki bus hingga sampai ke kota lhoksemawe, waktu mereka yang hanya pergi ke kota lhoksewe lebihlah lama dibandingkan kita yang ingin bepergian ke Jakarta, pada saat itu kota adalah tempat budidaya bahasa Indonesia, sehingga masyarakat yang hidup di perkotaan tidaklah lagi ingin berbicara bahsa aslinya mereka, yaitu bahasa Aceh, bahkan anak-ankanya tidaklah mampu berbicara bahasa nenek moyang memreka sendiri, mereka lebih memilih bahasa Indonesia, Diaceh sangatlah banyak keberagaman bahasa seperti bahasa Aceh Takengo, bahsa Aceh orang batak, bahasa Aceh orang orang melaboh, bahasa aceh orang tapaktuan, bahasa Aceh orang Aceh tamiang, dan lain sebagainya.
Dalam bahasa Aceh dikenal dengan istilah “awak” dari istilah itu muncullah perbedaan yang di anggap negative, kata yang pertama dibangun adalah hati-hat, karena masing-masing dari mereka mengenalkan kekuatan daerahnya masing-masing, salah satu keunggulan dari kehebatan daerahnya adalah kehebatan menyantet, hampir beberapa Awak yang muncul merukan orang yang mengetahui dunia santet-menyantet.
Mengenai Asal-usul bahasa ada tiga teori, Pertama, aliran teologis yang dianggap manusia dapat berbahasa karena anugrah sang pencipta, yang telah diajarkan kepada nabiullah Adam, nenek moyang seluruh ummat. Kedua, aliran naturalis yang memandang bahwa kemampuan berbahasa yang merupakan bawaan alam, sebagimana kemampuan untuk melihat, mendengarkan maupun berjalan. Ketiga konvesionalis disebutkan bahwa bahasa adalah Hasil sosial. Dari ketiga teori ini adalah dari duanya ini termasuk kedalam tranah kajian sosial khususnya, Antropologi.
Menurut penelitaian adalah Fondasi dari suatui Budaya dan peradaban adalah Bahasa, dapat di artikan bahwa bagaimana nasib budaya dan perdaban tanpa adanya suatu Bahasa. Bahasa Aceh bukanlah merupakan bahasa nasional maupun bahasa Internasional, adapun aceh pada saat itu pernah menjadi pusat peradaban di Asia tenggara, kisaran pada abad ke-17. Keberaddan bahasa aceh pada saat ini telah menciptakan perdaban dikalangan masyarakat aceh tersendiri, oleh karena itu jika masyarakat aceh tidaklah lagi menguanakan basaha Aceh, dapat dipastikan bahwa budaya dan peradaban Aceh Akan hilang.
Di daerah Urban dapat dikatakan bahwa pengguanaan bahsa Aceh telah hampir punah, bahasa inipun tidaklah lagi digunakan sebagai bahasa resmi pada suatu pertemuan penting, yang disayangkan lagi di kawanan keluarga dan orang-orang terdekat tak menganal lagi bahasa Aceh sebagai bahasa Ibu. Mengenai hal ini tidaklah menjadi Aib, jika dikatakan bahwa suatu keluarga mengalami kematian, dalam hal ini orang memandang apabila terjadi suatu perubahan pada suatu keluarga. Salah satu yang menjadikan peran penting dalam mematikan bahasa Aceh, adalah keluarga, dan itu tidaklah lagi dapat dipungkiri, dan ini lah produksi rakyat Aceh dalam menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasanya sehari-hari. Pada saat ini anak-anak yang berbicara basahasa Aceh hanyalah anak yang kelahiran tahun 1970-an -1990, bahkan sebaliknya anak-anak diatas itu itu tidak lah lagi dan enggan menggunakan bahsa daerahnya masing-masing, maka dari itu dampak tidak lagi berbicara bahasa adalah hilangnya cara pandang pemikiran masyarakat, dan dapat menghilangkan jati diri mereka tersendiri.
Sort: Trending