Legalitas Pendidikan Dayah
Oleh @rizwanhajiali
Aceh disepakati oleh para ahli sejarah sebagai tempat pertama atau perintis pengembangan Islam di nusantara. Indikator historisnya adalah bertaburnya fakta sejarah tentang terbentuknya masyarakat Islam berikut kerajaan-kerajaan yang terbujur dari Pasai, Peureulak, Lamuri, Pedir hingga terakhir terkonsolidasi dalam Kesulatan Aceh Darussalam. Fakta historis ini bukan semata menunjukkan keterbukaan Aceh terhadap arus perdagangan dunia dari Cina, India, Timur Tengah, dan bahkan Eropa, tetapi menunjukkan perilaku akseptabilitas orang Aceh yang tinggi terhadap agama Islam dibandingkan dengan penduduk di kawasan nusantara lainnya.
Keberadaan dan perkembangan Islam di Aceh bukan hanya tampil sebagai agama yang mempersatukan seluruh Aceh yang pada awalnya terpolarisasi dalam kerajaan-kerajaan berdasarkan basis teritorial, tetapi pada akhirnya membentuk sebuah peradaban Islam yang hingga hari ini masih berbekas kuat. Hal ini membenarkan pandangan H.A. R Gibbs dalam bukunya “Wither Islam” yang menyatakan, “Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization” (Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban yang sempurna).
Seperti tercatat dalam sejarah pemukiman muslim pertama muncul di Aceh, yaitu di Samudera Pasai yang didirikan abad ke 13 M. Setelah kerajaan Islam ini berdiri, perkembangan masyarakat muslim pun berkembang luas, hingga ke kawasan nusantara lainnya. Perkembangan Islam di Aceh kemudian dikonsolidasikan di bawah Kesultanan Aceh yang mempercepat proses Islamisasi kepulauan nusantara lebih era sebelumnya.
Masyarakat Aceh adalah masyarakat dengan karakter agamis yang kental di mana dayah memiliki peran yang sangat vital dalam pemancaran Islam dan penguatan keimanan masyarakat Aceh, serta membangun peradaban Aceh. Karakter agamis masyarakat Aceh sudah tentu tidak akan terawat sekiranya tidak terdapat lembaga pendidikan Islam seperti dayah. Pasang surut perang dan konflik politik membuat masyarakat kehilangan identitas, sekiranya dayah-dayah di Aceh juga hancur dalam perang dan konflik, potensi bagi terjadinya kehancuran iman sangat terbuka.
Saluran perkembangan Islam di nusantara di samping saluran perdagangan, perkawinan, kesenian, tasawuf dan politik, yang paling memberi bekas adalah saluruan pendidikan. Islamisasi nusantara dilakukan melalui pondok pesantren atau dayah oleh para ulama. Saluran ini mempercepat perluasan Islam karena setelah belajar dari pesantren, para pemuda Islam kelar berdakwah atau pulang ke kampung masing-masing untuk mengajarkan Islam.
Dengan rangkaian fakta sejarah yang telah disalin oleh para ahli sejarah sudah cukup menjelaskan bahwa salah satu sarana terpenting proses Islamisasi tetap berlangsung hingga hari ini adalah karena masih terselenggarakannya pendidikan Islam di berbagai pelosok di nusantara. Di Aceh, penyelenggaran pendidikan Islam telah dibangun ratusan tahun silam lewat dayah-dayah. Konon, kata dayah berakar dari kata zawiyah, yaitu sudut-sudut mesjid yang dipergunakan sebagai tempat belajar oleh para sahabat pada masa Nabi Muhammad SAW (Hasbi Amiruddin, 1994). Seiring dengan pengucapan lokal, kata ini kemudian menjadi kata dayah, yaitu tempat pendidikan agama dilakukan.
Saifuddin Dhuhri (2014) mencatat bahwa dayah di Aceh berkembang dalam beberapa fase yang dimulai dari Dayah (atau Zawiyah) Cot Kala sebagai salah satu pemancar Islamisasi di Aceh. Dalam kajiannya selain membuka diskusi dengan meletakkan Zawiyah Cot Kala sebagai fase pertama, Saifuddin juga melampirinya dengan fase kedua yang menguraikan peran trategis dayah sebagai penyangga peradaban di Aceh dengan preskripsi hubungan harmonis antara ulama dan umara. Sementara fase ketiga dijelaskan tentang posisi dayah yang tertekan di bawah kebijakan pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang menciptakan dayah menjadi lembaga apolitis dan mengisolasi dayah dari pengurusan hal-hal yang bersifat duniawi.
Zawiyah Cot Kala tumbuh pada abad 10 M dikenal sebagai dayah pertama di Asia Tenggara dengan fungsi utama memancarkan Islam serta merawat kepercayaan dan pengamalan Islam bagi masyarakat sekitar. Sebab itu, dayah lebih fokus memberi pengajaran di bidang tauhid, fiqh dan tashawuf. Namun, setelah Kerajaan Peureulak berkembang, peran dayah Cor Kala pun semakin luas karena berperan memenuhi kebutuhan Kerajaan Pereulak yang semakin berkembang. Bahkan, sebagai bukti kuatnya peran dayah dalam Kerajaan Peureulak adalah diangkatnya Tengku Chiek Cot Kala yang telah memimpin Dayah Cot Kala lebih 10 tahun sebagai Raja Peureulak keenam dengan gelar Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdauat. Hal ini cukuplah menjadi bukti bahwa dayah di era Cot Kala memiliki peran penting mempengaruhi kehidupan agama masyarakat dan kehidupan politik di kerajaan Pereulak.
Fase kedua, dayah sudah lebih terlembaga dan tertata di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam. Gerakan pembasmian buta huruf dan buta ilmu karena minat yang besar dari Sultan Iskandar Muda terhada ilmu pengetahuan. Sejumlah lembaga untuk pengembangan ilmu pengetahuan dibentuk saat itu. Diantara adalah Balai Balai Setia Hukuma, Balai Setia Ulama, dan Balai Jamaah Himpunan Ulama. Demikian juga halnya lembaga pendidikan pun sudah terkelola dan terstruktur. Misalnya, sudah diperkenalkan tingkat pendidikan dari meunasah, rangkang, dayah, dayah tengku chiek, dan Jamiah Baiturrahman atau disebut Dayah Baiturrahman.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dayah pernah mengalami masa kegemilangan di periode pemerintahan yang penguasanya mencintai agama dan ilmu pengetahuan. Martabat dayah yang tinggi menjadi sayap pengembangan peradaban Islam di Kesultanan Aceh Darussalam. Kedatangan para ulama terkemuka ke Aceh salah satunya disebabkan adanya lembaga pendidikan Islam yang berkembang di Aceh sehingga menjadi tempat mencetak para ulama dan ahli pemerintahan saat itu.
Namun demikian, dayah juga pernah mengalami fase yang sulit sehingga menyebabkan perkembangan dayah tertekan dan mengalami kemunduran. Kolonialisme Belanda yang datang untuk menaklukkan Aceh direspon oleh Aceh dengan perlawanan militer. Seluruh kekuatan di Aceh disiapkan dalam kondisi perang melawan Belanda, termasuk dayah yang menjadi pusat penanaman semangat jihad melawan kaum kafir. Pada saat itu dayah menjadi tempat penggemblengan para mujahid, sehingga kurikulum dayah dan konsentrasi keilmuan pun bergeser sesuai situasi saat itu. Di beberapa tempat dayah diserang dan bahkan dibakar karena menjadi tempat perlawanan. Bahkan, pimpinan dayah yang memimpin jihad melawan Belanda banyak yang syahid.
Pengakuan Dayah
Setelah era kemerdekaan, peran dayah berkembang kembali. Tetapi rezim pemerintahan sekuler yang dibentuk pasca Indonesia merdeka membuat pendidikan Islam seperti pesantren, dayah dan madrasah termarginalkan. Ijazah dayah tidak diakui oleh pemerintah, sehingga banyak alumni dayah yang memiliki potensi sumber daya manusia peranannya terbatas di bidang sosial keagamaan, tidak dapat memasuki wilayah pemerintahan. Namun, seiring waktu, eksistensi dayah semakin berkembang dan diakui oleh pemerintah, sehingga saat ini ijazah dayah sudah diakui setara dengan ijazah dari lembaga pendidikan lain. Penyebaran alumni dayah di berbagai bidang pun semakin nyata.
Kelahiran Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi payung hukum awal bagi pelaksanaan pendidikan dayah secara formal di Aceh. Kendati tidak disebut secara eksplisit nomenklatur dayah dalam UU tersebut, tetapi dalam ayat 3 pasal 8 disebut bahwa “Daerah mengembangkan dan mengatur Lembaga Pendidikan Agama Islam bagi pemeluknya di berbagai jenis, jalur dan jenjang pendidikan.” Dengan adanya payung hukum itu, pemerintah secara resmi sudah berkewajiban untuk mengembangkan dayah, karena secara historis dan gramatis, tafsir terhadap lembaga pendidikan agama Islam tentu saja adalah dayah, baik dayah tradisional maupun dayah terpadu.
Keberadaan pendidikan dayah pun sudah legal menjadi pendidikan yang diakui karena sudah tertuang dalam Qanun Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Aceh. Hal ini secara resmi memberi posisi kepada dayah untuk menyelenggarakan pendidikannya sendiri.
Sementara dalam ayat 1 pasal 218 disebutkan bahwa “Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan mengenai penyelenggaraan pendidikan formal, pendidikan dayah dan pendidikan nonformal lain melalui penetapa kurikulum inti dan standar mutu bagi semua jenis dan jenjang pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan”. Dengan demikian, posisi pemerintah berada sebagai regulator dan juga penyedia anggaran dalam pelaksanaan pendidikan termasuk pendidikan dayah di Aceh. Disebutkannya “nomenklatur” dayah dalam UU Nomor 11/2006 menunjukkan semakin menguatkanya eksistensi dayah sebagai pilar pendidikan Islam di Aceh. Wallahu’a’lam bisshawab.
Alhamdulillah ... akhirnya tgk @rizwanhajiali mengaktifkan akun steemit nya ....
Alhamdulillah..steemit semakin hebat dengan hadir nya orang orang hebat di dalam nya, lage gure @rizwanhajiali
Mantap
Ya ahlan wa sahlan wa marhaban fi steemit almukarram, steemit akan lebih berwarna dengan kehadiran Tgk Wan
Walau masih ada perbedaan dalam pemberian bea siswa terhadap mahasiswa pendidikan dayah dari pemerintah.
Selamat datang Tgk @rizwanhajiali..
Tulisan bermartabat tentang zawiyah
Nyoe kana Tgk Wan. Long vote bacut ile. Sebagai pemanasan.
Congratulations @rizwanhajiali! You have received a personal award!
1 Year on Steemit
Click on the badge to view your Board of Honor.
Do not miss the last post from @steemitboard:
SteemitBoard World Cup Contest - Semi Finals - Day 1
Participate in the SteemitBoard World Cup Contest!
Collect World Cup badges and win free SBD
Support the Gold Sponsors of the contest: @good-karma and @lukestokes
Congratulations @rizwanhajiali! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!