Buet aneuk muda tatueng keu aleh
Peunajoh leubeh bak ureung tuha.
Sore itu saya bersama rekan terpaksa mampir di sebuah warung sederhana dipinggir jalan, karena tidak ada pilihan ditambah desakan perut lapar maka dengan terpaksa menjatuhkan pilihan pada sebuah warung tua yang ternyata penjualnya juga tua dan dibantu oleh dua pelayannya yang juga sudah tua.
Serasa perasaan lapar menghilang melihat penjualnya yang sudah renta, namun karena terlanjur mampir terpaksa kami memesan mie Aceh lima porsi. Ketika kami cicipi mie yang kami pesan ternyata prasangka kami terbalik, rasa mie Aceh gubahan Pak Tua ternyata sangat enak dan menggugah selera, ibarat lagu lama yang di aransmen ulang, mie Pak Tua tersebut tak lapuk dimakan zaman.
Karena penasaran kami berterus terang tentang citarasa mie yang dibuatnya, Pak Tua tersebut membalas dengan sebuah pantun Aceh seperti cuplikan diatas :
Buet Aneuk muda tatueng keu aleh
Penajoh leubeh bak ureung tuha.
Yang artinya kira-kira kalau hasil buatan anak muda hanya bisa dijadikan hiasan dan pajangan belaka, tapi kalau buatan orang tua akan terasa enaknya dan penuh makna.
Ketika kami berkenalan lebih jauh ternyata Pak Tua yang mengarasnment mie kami bernama Abu Adi, duda beranak dua berumur lebih kurang 75 tahun (menurut pengakuannya), dan dia dibantu oleh dua orang temannya yang juga duda berumur lebih kurang sama dengan Abu Adi. Abu Adi mantan penyair Aceh yang sempat berjaya dimasanya lewat siaran radio lokal. Mereka bersepakat mendirikan warung untuk menghabiskan masa tuanya, Abu Adi dan dua temannya mengaku tidak mau memakan uang haram dan makanan 'subhat', mereka hanya mencari sesuap nasi dan selebihnya untuk disedekahkan sambil mengutip sebuah pantun ala sang penyair "sesuap nasi segenggam berlian".
Terimakasih Abu Adi, engkau telah menginspirasi kami.