Sumber: Instagram Bisma Yadhi Putra
"Saya percaya bahwa pengguna Steemit Indonesia memiliki kapasitas untuk melakukan hal tersebut. Menulis di berbagai media mainstream yang ada di Indonesia. Karena pengguna Steemit Indonesia adalah orang-orang cerdas dengan berbagai latarbelakang."
Minggu ini dua guru menulis saya membuat tulisan bersambung di media Serambi Indonesia. Pertama adalah Bisma Yadhi Putra. Beberapa hari lalu dia menulis kritik tentang para intelektual yang gemar mengkritik pemimpin yang jauh (pemimpin daerah lain) dan tidak pernah mengkritik pemimpin dekat (pemimpin daerah sendiri).
Tulisan yang diberi judul "Intelektual Rabun Dekat" itu mengupas habis tentang oknum-oknum intelektual yang memilih-milih mengkritik penguasa demi beberapa alasan. Para intelektual rabun dekat ini dengan gamblang berani mengkritik pemimpin di Jakarta misalnya. Mereka, para intelektual rabun dekat itu selalu menemukan "salah" pada pemimpin daerah lain yang kemudian dijadikan bahan kritikan di berbagai lini media.
Mereka melakukan ini demi menjaga citra sebagai intelektual. Bahwa setiap intelektual itu harus peka terhadap isu-isu sosial dan membela masyarakat luas. Namun, dalam tulisannya, Bisma Yadhi Putra melihat ada yang aneh dengan intelektual yang ada di daerah kita (baca: Aceh). Mereka sepertinya enggan mengkritik pemimpin di sekitar kita. Padahal kesenjangan sosial yang terjadi di Aceh sudah sangat parah. Lebih gawat dari daerah lain.
Di Aceh Utara misalnya, setiap tahun angka kemiskinan tumbuh subur seperti jamur di tanah lembab. Tapi para intelektual rabun dekat itu tak pernah mengkritik. Alasannya? Karena mereka takut jika mengkritik pemimpin yang berada dekat dengan mereka, maka nantinya para intelektual rabun dekat itu akan dipotong semua aksesnya oleh pemerintah, entah itu dicabut keistimewaannya, dikeluarkan dari tim khusus penulis pidato formal, tak diundang lagi sebagai pembicara dalam seminar-seminar, tak diajak lagi dalam proyek-proyek lahan basah lainnya.
Hal inilah yang membuat para intelektual rabun dekat itu takut bukan main mengkritik pemimpin di daerah sendiri. Para intelektual rabun dekat itu memilih untuk menutup mata atas semua kesenjangan sosial yang terjadi di sekitar daripada mengkritik agar semua keistimewaan yang selama ini diberikan oleh pemimpin yang mereka puji-puji itu tetap aman dan terjaga. Inilah yang dikupas oleh Bisma Yadhi Putra.
Sumber: Instagram Bisma Yadhi Putra
Selang beberapa hari, tulisan Bisma Yadhi Putra ini dilanjuti oleh guru saya yang lain yang juga guru Bisma Yadhi Putra, yaitu Teuku Kemal Fasya (TKF) @teukukemalfasya. Dalam tulisannya yang berjudul "Akademisi Lemah Lunglai", TKF memberedel habis para akademisi yang berada serumpun dengan orang-orang yang disebut intelektual rabun dekat oleh Bisma Yadhi Putra sebelumnya.
Jika Bisma Yadhi Putra menyebut intelektual rabun dekat sebagai orang-orang yang memilih-milih kritik, maka TKF menyebut para akademisi yang enggan mengkritik birokrasi sebagai akademisi lemah lunglai tak bertenaga. TKF mengerucutkan intelektual rabun dekat versi Bisma Yadhi Putra ke ranah akademik. Bahwa oknum-oknum akademisi juga punya genk sendiri di ranah pendidikan untuk bertindak dan melakukan kritikan.
Akademisi model ini sangat jarang menulis untuk masyarakat dan juga sangat jarang mengkritik kebijakan kampus yang penuh KKN. Mereka mengambil sikap ini demi mengamankan posisi di kampus agar tetap memiliki jabatan bagus dan terus hidup mewah. Inilah yang membuat nalar para akademisi tersebut lemah dan lunglai, sehingga TKF menulis artikel tersebut.
Setelah dua artikel yang saling bertautan itu, Bisma Yadhi Putra mengajak saya melanjutkan tulisannya dan TKF dengan tema "Intelektual Lemah Syahwat". Hahaha. Saya tertawa dan senang pertama kali mendengar ajakan itu. Tertawa karena judulnya keren dan antimainstream, dan senang karena Bisma Yadhi Putra membangunkan saya untuk menulis (lagi) di Serambi Indonesia.
Sudah sangat lama saya tak menulis di Serambi Indonesia karena beberapa alasan remeh-temeh. Tulisan terakhir saya adalah sebuah cerpen di Bulan Ramadhan. Dan itu artinya hampir setahun saya tidak menulis di Serambi Indonesia. Dan ajakan dari Bisma Yadhi Putra ini adalah cambukan bagi saya untuk lebih giat lagi dalam menulis, baik menulis di Steemit dan tentu saja di Serambi Indonesia.
Semoga kedepannya makin banyak pengguna Steemit Indonesia yang menulis gagasan di media-media mainstream macam Serambi Indonesia, Kompas, Media Indonesia dan juga media-media lain. Karena menulis tak melulu di Steemit. Terkadang kita juga perlu menulis di media lain agar tulisan-tulisan kita bisa dibaca oleh berbagai kalangan.
Dan saya percaya bahwa pengguna Steemit Indonesia memiliki kapasitas untuk melakukan hal tersebut. Menulis di berbagai media mainstream yang ada di Indonesia. Karena pengguna Steemit Indonesia adalah orang-orang cerdas dengan berbagai latarbelakang. Saya sangat percaya. Dan mari kita lakukan sekarang. Salam untuk untuk seluruh anggota Komunitas Steemit Indonesia. Salam literasi.
Regards
Judul Tulisannya luar biasa ya hehe
Intelektual rabun dekat
Kalo yg rabun jauh ada ndk ya ? 😁
Hahaha.. Pasti ada juga. Dan mungkin banyak.. 🤣
Enggak tau mau komen apa, tapi saya mau komen jd ya saya komen aja 😂
#kabur
Hahaha.. Meski demikian saya tetap mengucapkan terima kasih telah berkomentar.. 😂
Wah. Dua gurunya orang-orang (penulis) top di Aceh ya. Mantap kali!
Ini guru satu lagi.. Tabik keu Master Ichsan @lontuanisme.. 🙏
Padahal penulis disteemit bagus-bagus
Iyaa.. Semua pengguna Steemit Indonesia adalah penulis handal... :)