Banyak orang sepakat, bahwa, senja memang terajut untuk hal-hal indah dan patut dikenang. Tapi tidak untuk Edo. Pria melankolik itu sudah lama bermusuhan dengan senja. Ia mengutuk segala rupa warna yang ada bersama wajah langit jelang malam itu. Hal itu bermula tiga tahun lalu. Ketika ayahnya menghembuskan nafas terakhir di senja yang terkutuk.
Sejak pagi semuanya baik-baik saja. Tak ada konflik hari itu. TNI dan GAM sepertinya sedang sepakat untuk tidak membikin gaduh di Gampong Buket Sigupai. Buket Sigupai adalah salah satu gampong/desa yang ada di pendalaman Aceh Utara. Desa ini masih begitu teduh dan jauh dari hiruk pikuk. Pohon besar dan binatang liar dengan mudah ditemukan di sana.
Semasa konflik desa tersebut menjadi tempat persembunyian GAM yang terus diburu oleh TNI. Segala jenis "tarian peluru" dan semua gaduh yang ditimbulkan oleh bom dan granat sangat biasa bagi masyarakat di sini. Pun demikian bagi Edo dan keluarganya. Perang sudah lama jinak bagi masyarakat Buket Sigupai.
Edo yang bernama asli Muhammad Rusli adalah seorang siswa SMP Gampong Buket Sigupai. Ia anak semata wayang dari keluarga Burhan dan Rukayyah. Ayahnya, Burhan, seorang pencari kayu bakar di belantara Aceh Utara. Adapun ibunya, adalah seorang ibu rumah tangga sama seperti kebanyakan perempuan di desa tersebut.
Edo anak yang baik. Meski gemar bermain bola, ia tak lupa membantu ayahnya mencari kayu bakar di belantara Aceh Utara. Rutinitas itulah yang akhirnya membangun hubungan erat antara Edo dan ayahnya. Mereka seringkali pulang ketika langit mulai menguning di sebelah barat.
Kadangkala mereka makan di tengah hutan dengan makanan seadanya seperti ubi dan ketela yang dipanggang di atas tungku kayu. Bagi mereka, itulah kemewahan yang sesungguhnya. Meski mereka tak jarang masuk hutan di antara peluru TNI dan GAM, semuanya masih dianggap baik-baik saja selama timah panas itu tak menyentuh badan.
Mereka berdua, sama seperti masyarakat Gampong Buket Sigupai lainnya sudah kebal dengan letupan peluru. Selama peluru belum menembus raga, meski perang meledak selaknatnya, semuanya dianggap sebagai bagian dari hidup yang memang telah disetting tuhan. Hingga suatu hari semuanya berubah. Ketika sebuah peluru akhirnya bersarang telak di dada Burhan, ayah Edo..
Hari itu tanggal 20 Oktober 2003. Satu batalyon TNI dari post Jeuleukat mengepung Gampong Buket Sigupai. Terhembus kabar terdapat komplotan GAM yang sedang kelaparan di belantara desa tersebut dengan keadaan kritis. Itu kesempatan terbaik bagi TNI melumpuhkan GAM yang tak bisa disia-siakan. Sejak subuh mobil pengangkut TNI lalu lalang di Gampong Buket Sigupai. Masyarakat sedikit cemas.
Hari itu Rakayyah sudah melarang suaminya pergi mencari kayu bakar ke hutan. Tetapi larangan tersebut tak diindahkan oleh suaminya. Pria kurus itu tetap bersikeras masuk hutan untuk mencari kayu bakar dan memetik ubi yang sudah siap dipanen. Edo tentu saja ikut dengannya. Hari itu Edo dan ayahnya berangkat ke hutan pukul 08.00 WIB. Sebelum masuk hutan mereka diperiksa oleh TNI yang sedang berjaga-jaga di batas desa.
Setelah lolos dari pemeriksaan, Edo dan ayahnya langsung bergegas masuk hutan. Hingga siang hari mereka melakukan rutinitas seperti biasanya di pengakuan rimba raya. Setelah salat dhuhur di atas rangkang di tengah hutan, dari jarak yang tak terlalu jauh terdengar suara kontak senjata. Benar saja, TNI sedang mengejar GAM yang terlihat di tengah hutan.
Mendengar suara senjata, Edo dan ayahnya segera merangkak ke bawah rangkang. Mereka menunduk ke tanah agar terhindar dari peluru yang sedang bersahutan di tengah rimba. Tapi tetap, pulang bukan pilihan. Mereka berdua memilih bertahan di tengah hutan entah sampai kapan. Kontak senjata terus berlanjut hingga setengah jam lebih. Belum ada TNI yang keluar dari hutan.
Setelah deru peluru tenang, Edo dan ayahnya keluar dari hutan. Mereka berdua bergegas pulang ke rumah. Hampir sepertiga jalan terlihat pasukan TNI sedang membariskan sekelompok laki-laki membelakangi jalan. Semua tangan laki-laki tersebut diikat dengan tali dan ditempel ke kepala. Mereka terduga GAM yang sedang diburu.
Laki-laki ujung timur berbaju coklat beberapa kali dihantam dengan gagang senjata Ak 47 di kepala dan ditendang di punggung hingga berteriak minta ampun. Beberapa perempuan menjerit dan menangis sejadi-jadinya meminta TNI berhenti memukul para laki-laki itu. Tetapi para prajurit itu rasanya sudah kerasukan setan dan terus memukul. Hari sudah senja dan sebuah fragmen jahanam terjadi.
Ketika salah satu laki-laki dalam barisan berusaha kabur, seorang TNI memekikkan senjata laras panjang seketika. Laki-laki bercelana pendek yang kabur tersebut berhasil lolos dari sergapan peluru. Tetapi tidak dengan Burhan. Tanpa diduga sebuah peluru nyasar menembus jantungnya. Darah Burhan dan air mata Edo tumpah ke tanah.
"Ayah long... Ayah long... (Ayahku... Ayahku...).. Edo menangis sehebatnya melihat sang ayah tumbang ke tanah. Tubuh yang selama ini begitu kuat menggendongnya kemana-mana akhirnya tersungkur oleh dua peluru laras panjang milik tentara biadab. Semua masyarakat larut dalam tangis di samping tubuh kaku Burhan.
Rukayyah sudah puluhan menit pingsan di pangkuan Edo. Senja itu begitu terkutuk untuk Edo dan keluarganya. Senja hari itu begitu pilu dan murka untuk masyarakat Gampong Buket Sigupai. Senja itu akan terus diingat oleh Edo sebagai senja terkutuk dan tak dimaafkan. Senja dan ayah akan terus menghidupi dendam di hati Edo entah sampai kapan. Mungkin sampai tuhan membuat Edo benar-benar lupa dan menyiapkan senja lain yang lebih indah..[]
Regards
Ini kisah nyata ya?
Posted using Partiko Android
Fiksi.. :)
Mantap karyanya, kalau dilanjutkan penulisannya bisa jadi buku ini
Posted using Partiko Android
Hehe.. Terima kasih. Semoga kedepannya bisa bikin buku macam ini. Salam :)
Amin
Posted using Partiko Android