Berbicara tentang kopi Gayo sebenarnya bukan hanya seputar brand-nya yang sudah mendunia, tapi seharusnya juga tentang bagaimana pekerja di balik layar yang bekerja untuk menghasilkan kopi terbaik.
Ini mungkin sesuatu yang masih kurang diketahui masyarakat luas, bahwa, di balik kemasyhuran kopi Gayo yang sudah meroket di pasar internasional itu, ada orang-orang Gayo asli yang bekerja menyortir kopi yang nasibnya perlu diperhatikan.
Fakta ini saya temukan ketika mengikuti Festival Aceh Documentary Competition (ADC) 2013 di Gedung Sultan Selim II Banda Aceh. Pada ajang yang bertujuan untuk mencari sineas muda berbakat seluruh Aceh itu ada peserta dari Gayo yang membuat proposal film dokumenter berjudul "Perempuan Kopi". Mereka adalah Edi Sentosa dan Irwan. Dua mahasiswa Universitas Gajah Putih (UGP) saat itu. Mungkin sekarang keduanya sudah sarjana.
Film garapan Edi dan Irwan yang akhirnya keluar sebagai juara itu berkisah tentang seorang perempuan Gayo yang bekerja di salah satu tempat penyortiran kopi di Takengon. Ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan menyortir biji kopi terbaik untuk diekspor ke berbagai daerah di Indonesia bahkan mancanegara.
Ironisnya, ibu tersebut bekerja sambil menggendong anaknya yang berusia 6 tahun dan mengalami lumpuh. Dengan keadaan sedemikian rupa, ia tetap bekerja keras dengan upah yang tak sepadan jika dibandingkan dengan tenaganya yang terkuras.
Padahal, kopi yang disortir oleh tangan tangguh perempuan inilah yang kemudian dinikmati oleh orang kaya seluruh negeri.
Adapun nasibnya, ibu penyortir kopi terbaik itu tak kunjung membaik, setidaknya saat film dokumenter itu digarap. Semoga hari ini beliau sudah menerima upah yang semestinya dan sesuai dengan kerja kerasnya.
Maksud saya, selain menulis tentang kemegahan kopi Gayo, barangkali sesekali kita juga perlu menulis hal-hal di balik layar dan sangat tersentuh seperti kisah dalam film "Perempuan Kopi" tersebut. Mungkin di balik kemegahan kopi Gayo itu masih banyak "Perempuan Kopi" lainnya yang nasib dan kerja kerasnya perlu dipublikasi dan diperjuangkan.
Ini hanya hemat dan pendapat saya atas postingan Bang @aiqabrago.
Salam hangat. Salam literasi.