Kekuatan intonasi suara Vina Panduwinata berada pada level yang sungguh feminin; manja, centil, genit, nakal dan menggoda. Syukurnya, semua sifat dalam teknik artikulasi vokalnya berada para dosis yang tepat. Tak ada kemuakan atau bosan mendengar olah vokalnya. Sejak lagu pertamanya yang kudengar, Wow, Bahas Cinta, Logika, Tamu istimewa, Surat Cinta, Kumpul Bocah, Cinta, Biru dan Burung Camar. Judul lagu yang kusebut belakangan menjadi julukannya di kemudian hari.
Merujuk pada konsep bermusik James Brown, The Godfather of Soul Music, setiap alat musik dan penyanyi harus berperan sebagai drum. Drum menjadi drum, terompet menjadi drum, gitar menjadi drum, bass menjadi dram, bahkan vokal mesti menjadi drum. Musik yang dimainkan dalam konsep ini akan memberi kesan menghentak. Memancing tubuh bergoyang, menari, mengudarakan tangan, membuat tangan bertepuk dan bahu naik turun.
Selain pada kebanyakan lagu Michael Jackson, aku menemukan inkubasi konsep James Brown pada lagu yang dilantunkan Vina Panduwinata. Musiknya menghentak, tapi bukan jenis hentak yang bikin jingkrak-jingkrak. Ceria secukupnya, seperti seorang perempuan yang mendapat Surat Cinta pertama dari sang kekasih. Atau, sepasang kekasih yang tak perlu berbicara karena mata mereka berdua telah mengungkap semua makna di hati dalam Bahasa Cinta.
Setelah kuingat lagi. Nyaris setiap lagu Vina ciptaan Oddie Agam Luntungan. Meski ada nama Agam, ia bukanlah orang Aceh. Fam Luntungan di belakang namanya menunjukkan keluarganya berasal dari Minahasa, meski terlahir di Medan, 19 Maret 1953. Musisi Indonesia yang seorang ini tumbuh di periode gemilang musik Indonesia, ’70-'90-an. Nama-Nama yang hingga hari masih bercokol sebagai musisi dan penyanyi gaek kebanyakan sezaman dengannya.
Tengok saja karya-karyanya yang pernah melibatkan nama-nama pesohor semacam Achmad Albar, Anggun C Sasmi, Dian Pramana Poetra, Deddy Dukun, Asti Asmodiwati, Malyda, Utha Likumahuwa, Rita Nasution, Andi Meriem Matalatta, Youngky Suwarno, Dewi Yull, Harvey Malaihollo dan Neno Warisman. Keterlibatan lagu-lagu Oddie Agam turut berkontribusi terhadap karir para penyanyi lawas yang kuabsen di atas.
Lagu yang racikannya tak lekang oleh zaman. Enak didengar sampai kapanpun sebab musiknya memang enak didengar dan berkualitas. Tanpa micin. Sebagai bangsa yang mudah lupa, ada baiknya meninjau kembali lagu-lagu karya Bang Oddie bukan sekedar sebagai kenangan semata, tapi sebagai pembanding untuk kualitas musik, musikalitas, lirik dan komposisi musik zaman now secara keseluruhan. Biar anak-anak yang 20 tahun lalu masih remaja senang, dan anak-anak zaman now bisa dengar musik dan padu dengan lirik.
Jangan kaget jika setelah mencermati lagu-lagu 3 dekade itu, kalian mendapati penurunan kualitas musik dan lirik. Jangan pula heran mengapa orang lebih suka tembang lawas era ‘70-’90. Musikalitas lagu-lagu macam Kahitna yang saat itu terkesan centil saja masih lebih asyik ketimbang band-band sekarang yang menyebut diri rocker. Setidaknya generasi ’70-‘90an tak mengecewakan Ismail Marzuki, komponis generasi pertama Indonesia yang sudah memberi standar minimum penulisan lagu berbahasa Indonesia, juga komposisinya yang tetap menawan hingga besok.
Tapi sudahlah. Musik itu soal selera. Mana bisa awak paksa orang paham soal selera. Paling tidak, postingan ini jadi selemah-lemahnya postingan untuk mengajak sesama penghuni Nusantara untuk mencermati lagi, betapa lagu-lagu di masa lalu ditulis dengan sentuhan jiwa, pengalaman batin, goresan kalbu dan rasa malu. Malu saat mengunjuk karya yang bisa merusak selera dan pikiran anak bangsa. Setidaknya, bagi yang mau paham, atau bersedia menguji pernyataanku ini, cobalah kaji kembali. Bandingkan karya-karya berlandas jiwa akan lebih membekas ketimbang produk yang dibuat sekedar memenuhi target kejar tayang. Seperti kejar-tayangnya tulisan ini.
Vina Panduwinata, salah satu diva terbesar Indonesia.