Sejak kanak-kanak, Mamak tak pernah melarang aku dan Arfi (adikku) untuk merayakan kedatangan hujan dengan bermain di bawah guyurannya. Meluncur... seolah bermain ski di permukaan tanah yang becek-licin, sesekali kakiku atau Arfi berdarah tergores pecahan kaca. Usai bermain hujan, teh panas bikinan Mamak telah terhidang bersama gorengan pisang, ubi kayu atau biskuit-kabin merek UNIBIS (bukan badan PBB).
Aku telah mengalami hujan sebelum lagu Gerimis milik KLA Project hadir di belantara gita Nusantara. Namun, sejak tembang yang menggambarkan murungnya perseteruan antar-kekasih tersebut lahir, benakku selalu melantunkannya saat hujan hadir, tak peduli deras atau gerimis. Sore ini, di hari ke-77 Tahun 2018, aku nongkrong di Bumi Aceh Café. Langit yang sejak jam 4 tadi mengabarkan mendung akhirnya menghadirkan hujan di luar sana. Hujan yang tak sedang jadi persoalan sebab aku tengah bernaung di bawah atap bangunan 2 lantai.
Menjelang maghrib, 2 penyeduh kopi BAC bergabung denganku di meja lantai dasar, di hadapan mesin sangrai merek Kuban made in Turki. Lelaki pertama bernama Dale, aku tak pernah tau nama lengkapnya, entah Mendale atau Gareth Dale. Sementara, lelaki kedua bernama Yuzi, aku biasa memanggilnya Randy (kulafalkan Rendi) karena kemiripan tampangnya dengan pemain keyboad Nidji.
Kawan ngobrol sore tadi
Dale merespon mengenai acara camping di Ujung Nunang yang kabarnya dihadiri istri Gubernur Aceh, Kak Darwati A Gani. “Iyah… macam mana acara camping itu, ya…? Nggak ke kehujanan orang itu?” tanya Dale dengan nada simpati. Hujan di luar memang tampak menghunjamkan tirai air dari angkasa.
“Belum tentu…” jawabku. “Bisa jadi macam camping 100 tenda. Disini hujan deras, di sana cerah total,” jawabku. Secara tersirat aku menghadirkan peran Pawang Hujan yang keberadaannya kerap menjadi rahasia umum di Aceh dan Nusantara. Saat konser kedua Iwan Fals di Lapangan Blang Padang, peran Pawang Hujan sungguh terasa. Konser pertama Begawan Balada Nusantara terselenggara beberapa tahun usai tsunami. Seingatku, Bang Morenk Beladro yang sukses merayunya untuk 'ngamen' perdana di Tanoh Rencong.
Sepanjang konser berlangsung, larik gerimis sempat hadir sejenak, lalu sirna. Tak sampai 2 menit usai konser, air laksana tumpah dari langit.
“Ah… Abang ini masih percaya yang kek ‘gitu…” sambar Yuzi. “Masa’ Tuhan dilawan… nggak betul itu,” tambahnya mengukuhkan keyakinan pada Sang Khaliq.
“Beda, Ren… hujan itu ciptaan Tuhan, bukan Tuhan. Sama juga macam bukit; atas kepentingan tertentu, bukit bisa diratakan dengan backhoe dan bulldozer. Kenapa kita nggak pernah bilang orang yang kerok bukit melawan Tuhan?!” paparku.
“Betul juga itu, Bang…” jawabnya seperti tersadar.
“Nah… kupikir harus bisa kita bedakan antara melawan Tuhan dengan melawan ciptaan Tuhan,” tambahku lagi. Selanjutnya aku memaparkan gelap sebagai ciptaan Tuhan, manusia melawannya dengan cahaya obor, sentir, lampu teplok, strongkeng (petromax) hingga lampu bersumber tenaga listrik. Juga tentang jarak, ciptaan Tuhan lainnya, yang kita lawan dengan kendaraan dan teknologi telekomunikasi.
“Menurutku, kita terlalu percaya bahwa sains -yang katanya berasal dari peradaban barat itu- sepenuhnya mesti terbukti secara inderawi. Macam mana kalau ternyata ada sekelompok masyarakat yang memiliki pengetahuan rahasia dan membagikannya di kalangan terbatas secara tersembunyi?!” Kutambahkan lagi soal pengetahuan manusia meramu hujan buatan yang tak pernah dianggap musyrik. Juga penggunaan kontrasepsi dari kondom hingga spiral.
Kaki hujan di teras BAC
“Itu ‘kan beda, Bang…” tangkisnya. “Prosesnya jelas bisa kita lihat, caranya juga udah dijelaskan, kepentingannya juga untuk kebaikan orang banyak,” paparnya berkilah.
“Lho… apakah orang yang sedang bikin konser untuk menghibur orang banyak nggak dianggap kepentingan yang baik,” balasku. “Apakah keluarga yang menggelar resepsi perkawinan dan berharap tamunya tak kehujanan adalah tujuan yang buruk?!” tambahku. “Lantas, kalau ada proses manipulasi gejala alam yang kita tak paham caranya, itu pasti melibatkan iblis dan makhluk sejenis?!” cecarku.
Yuzi a.k.a Randy cuma manggut-manggut. Tak ada bantahan lagi yang keluar dari mulutnya. Obrolan berlanjut mengenai kemungkinan rasionalitas hal-hal yang dianggap klenik. Teluh/santet, pelet/guna-guna, pengasihan dan telepati. Aku menemukan uraian sederhana mengenai kemampuan memindahkan benda padat ke dalam tubuh seseorang tanpa luka luar dalam buku Dialog dengan Jin Muslim karya Muhammad Isa Daud. Buku yang kupinjam dari Fahmi saat sama-sama menimba ilmu di SMU Negeri 1 Langsa tersebut berhasil membunuh kesombongan sains Eropa dalam benakku.
“Jadi kalau mengeruk bukit dianggap kegiatan pembangunan, kenapa menggeser atau menunda hujan mesti dianggap musyrik, ya Bang…” sambar Dale. “Mantap ‘kali kesimpulan kau hari ini, Le…” balasku. “Tapi mungkin juga kita terlanjur melihat pengerukan bukit yang menggunakan jasa Caterpillar dan Sakai tak menggunakan jasa jin atau makhluk di luar jangkauan panca-indra; sementara, menggeser lokasi atau menunda turunnya hujan menggunakan jasa sesama ciptaan Tuhan yang tak tampak wujudnya. Siapa tahu, sebetulnya ada komunikasi dengan mekanisme gelombang tertentu antara cabe yang ditusuk lidi atau underwear si Mbah Polan yang dicampakkan ke atap dengan komponen listrik di awan nimbostratus yang biasanya menjelma hujan,” uraiku.
Muhammad Isa Daud menggunakan ilustrasi mengenai siaran radio untuk menggambarkan proses teluh. Mekanisme interaksi antara stasiun pemancar dengan radio transistor berlangsung dengan mengubah materi awal berupa suara menjadi gelombang dengan frekwensi tertentu yang dipancarkan dalam radius tertentu; radio transistor menangkapnya setelah berada di frekwensi gelombang yang sesuai. Teluh bekerja dengan mekanisme yang sama. Bedanya, material yang diubah menjadi gelombang adalah benda padat. Hingga hari ini, mekanisme tersebut belum mampu diurai oleh sains modern. Namun, istilah yang menggambarkan peristiwa teluh telah ada dalam terminologi teleportase.
Menurutku, keangkuhan ilmu pengetahuan modern terhadap fakta yang kerap dianggap sihir lebih pada persoalan ketidaktahuan mereka mengenai proses. Metode deduksi tak mampu menerawang tatacara berlangsungnya peristiwa yang terlanjur dianggap sihir. Sains menyerah kalah hingga kesombongan tersebut terpaksa tunduk dengan menciptakan istilah kearifan lokal (local wisdom) untuk membuka diri mengenai betapa pengetahuan yang –mau tidak mau– harus disadari sebagai batas antara apa yang sudah diketahui sekaligus marka penanda atas hal belum diketahui manusia. Istilah metafisika juga kupandang sebagai bentuk pengakuan pengetahuan di luar sains yang katanya modern itu. Masih ada istilah supranatural yang menunjukkan fenomena di luar jangkauan inderawi yang dianggap natural sebagai bukti pendukung.
Semesta, pada tingkat dan interval tertentu, telah menjadi ranah kehadiran anomali bagi sains modern yang sudah terlalu angkuh; seolah mampu mengurai semua gejala. Menyudutkan pengetahuan masyarakat yang dianggap tradisional. Istilah primitif –yang bagiku terkesan dekat dengan primata– pun telah surut selangkah dengan menyandang terma baru, indigenous people. Bukti lain pengakuan sains modern terhadap kecerdasan setiap insan yang dahulu dianggap ke-kera-kera-an (primitive).
Nyimak. Tulisannya bagus sekali.
Terimakasih, sudah singgah dan berkomentar, Bang... Salam kenal...
As a follower of @followforupvotes this post has been randomly selected and upvoted! Enjoy your upvote and have a great day!
Berkelas....
Terimakasih sudah singgah, Ketua...
Sudah saya putuskan sejak malam ini, di samping @ihansunrise dan fiersa besari, nama Anda akan masuk list penulis favorit saya selanjutnya.
Tulisan yang tampaknya main-main tapi sebenarnya tidak. Terima kasih untuk tulisan yang kece badai, bang.
Oh iya, menurut saya, sepertinya kalimat enggan membagikannya secara terbatas agak rancu karena artinya senang dibagikan secara tak terbatas alias banyak orang yang tahu. Jadi rada kontradiksi dengan kata tersembunyi di depannya. Menurut pemahaman saya gitu sih bang.
Waduh... Sempritan Mbak soal kalimat yang rancu sepenuhnya tepat, tapi pilihan menjadikan aku penulis favorit koq bikin grogi, ya... Sebab, sesungguhnya selama ini aku menjadi pembaca dan pengagum rahasia Mbak Better tapi tak berani mengikrarkannya secara terbuka. Hehehehehehe...
Terimakasih atas kehadiran dan koreksinya, Mbak...
Sip... tak perlu grogi. Saya pun manusia biasa. Tulisan Anda punya khas cuma kurang terekspos aja. Kalo banyak yang baca, mungkin mereka akan berpendapat serupa dengan saya. 😊
Setuju kak @betterperson .
Awak dan @baimatjeh81 juga sama ..
Sama sama fans tulisan Wak @sangdiyus .
Cuman kami kan malu malu gitu...😍😁
Hahahahahaha...
Sutradara 4Sekawan memang paleng bisssaaa...
Super skali,,, 🙌
Terimakasih, Bro....
yang bisa di pindahkan, pindahkan teruss @sangdiyus, jangan beserak kali kan, bikin semak indra aja
Selamat memindahkan yang dipindahkan
BWAHAHAHAHAHAHA...
mamakku punya ritual khusus kalo lagi hajatan. Ambil dari sisi positif.
Jempooolll... Itu namanya kearifan lokal. Hahahahahaha...
kereen.., mungkin ini mampu menurunkan dosis angkuhnya klaim sains modern, termasuk dalam dunia kedokteran yang selalu memandang remeh bahkan kecenderungan menghina metode penyembuhan lain diluar keilmuan mereka. Memang, semesta taklah dapat diukur dengan kerdilnya kita !
salam potensi,
Betul. Di hadap semesta, kita cuma sebentuk kerapuhan...
Wahahahaha 🤣🤣
Btw aku pernah baca buku itu bang, punya bapakku. Tapi sayangnya belum habis kubaca
Tuntaskanlah, Bro... cukup asyik dibaca, asal tak terbawa ke aspek mistisnya.
Yang paling ku ingat bagian bagaimana rupa kami? Merinding aku bacanya 😂
mantap - mantap....
Aku teringat uraian Abang tentang kesalahpahaman terhadap kemenyan...
Ha ha ha
mungkin ada baiknya masalah syirik dan musyrik ini harus dibahas lebih dalam agar tidak ada kesalahpahaman atau salah persepsi tentang meminta bantuan kepada makhluk lain (dalam hal ini Jin, Syaitan, Iblis) untuk melaksanakan keinginan kita.
Namun aku sendiri tidak berani berkomentar lebih jauh karena belum punya cukup pengetahuan untuk membahas lebih jauh tentang Pawang Hujan ini Guru.
Tepat, Bang... Justru karena kita belum punya pengetahuan, kupikir lebih elok jika kita tak menghakimi keahlian seorang Pawang Hujan atau bentuk pengetahuan rahasia lain yang berkembang turun-temurun dalam tradisi masyarakat Nusantara.
Saya suka tulisannya...
Aku juga merasa suka kalau Kak Mariska suka tulisan ini... :)
Penggunaan kata "Primitif" itu sudah tidak layak lagi dingunakan di kalangan akademis bang, konsep "Traditional" lebih baik katanya.
Perasaan ku itu sama aja hahaha.
Hal yang perlu di perdebatkan debatkan renye bang 😀
Semua istilah yang bertujuan menganggap masyarakat di luar standard Dunia Barat sebagai kasta peradaban yang lebih rendah harus diganti. Menurutku istilah primitif sungguh menghina.
Menghina sekali bang.
Makanya penggunaan traditional lebih baik menurut bebrapa kalangan akademisi negeri Indonesia ini.
Masih nyimak, tapi aku belum dapat fill tulisannya. Sepertinya aku akan penasaran dengan tulisan berikutnya, biar dapat fill dalam membacanya.
Terimakasih sudah singgah meski belum menemukan kenikmatan. Aku akan berupaya keras pada tulisan-tulisan selanjutnya. Saran dari Puan Yelli akan selalu kurindukan. :)
Selamat @sangdiyus! Tulisanmu ini terpilih masuk dalam nominasi Kompilasi International @ocd #132. Silahkan cek link ini untuk melihat lebih lengkapnya : https://steemit.com/ocd/@ocd/ocd-international-daily-issue-132.
Jangan lupa untuk ikuti terus @ocd dan memilih @ocd-witness sebagai witness.
Syukurlah... Gembira hatiku membaca kabar baik dari Kakak. Terimakasih banyak atas rekomendasinya, Kak...
Titip salam untuk Macchiata, ya...
Waktu konser “Hikayat Rindu 3 Maestro” 21 April 2007 di Lhong Raya, aku juga pake pawang hujan, Yus :)
Mantap. Berarti Abang udah menghormati kearifan lokal, sains Para Endatu...
Bisa jadi buku ya ..
Mari kita goreng, Nyak...
Good
Thank you...